Tragedi Mei ’98, Jangan Lupakan Perkosaan


JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan meminta kepada negara untuk tidak melupakan peristiwa perkosaan massal yang terjadi terhadap sejumlah perempuan etnis tertentu dalam Tragedi Mei 1998. Komnas Perempuan meminta agar peristiwa kelam ini dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sejarah di sekolah.

“Karena memang tidak diletakkan di kurikulum, dia (pemerkosaan dalam Tragedi Mei) hilang begitu saja. Ada perempuan korban perkosaan hilang dalam (pelajaran) Sejarah? Tidak ada,” ujar komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat jumpa pers di Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (12/5/2010).

Menurut Andy, pengungkapan kasus ini terkatung-katung hingga sekarang. Bahkan, ada kecenderungan, Tragedi Mei 1998 mulai dilupakan orang. “Pengungkapan kasus ini belum terjadi hari ini, tapi jangan dilupakan. Dengan dimasukkan ke kurikulum, masih ada kemungkinan beberapa tahun lagi terungkap,” ucapnya.

Selanjutnya, Komnas juga mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkap kebenaran yang memuat upaya pemulihan korban dan proses peradilan bagi pelaku. “Dalam pemulihan, minimal negara membuat pengakuan benar adanya kekerasan seksual dalam tragedi tersebut dan meminta maaf karena telah lalai melindungi,” ujar komisioner Komnas Perempuan lain, Sri Nur Herawati.

Komnas Perempuan mendesak agar DPR serius mengawal amademen UU Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana demi membuka akses dan memenuhi keadilan bagi perempuan korban Tragedi Mei. “(Untuk membuktikan telah terjadi perkosaan) katanya harus ada jejak sperma pemerkosa. Tapi kalau sudah 12 tahun, bagaimana cara menemukan rekam sperma? Tanpa bukti-bukti ini, pengadilan Indonesia tidak mungkin menyelidiki,” tambah Andy.

Selendang Peringati Tragedi Mei 1998 – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) akan memasang selendang persahabatan yang diberikan Perhimpunan Perempuan Indonesia Tionghoa (PINTI) korban tragedi Mei 1998 di kantor Komnas Perempuan, Jakarta.

“Selendang diberikan kepada Komnas untuk diteruskan kepada para perempuan pembela HAM dan pemimpin komunitas,” ujar wakil ketua Perempuan Desti Murdijana, di Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (12/5/2010). Dua helai selendang persahabatan tersebut dililit membentuk angka 98 dan dikemas dalam bingkai emas.

Motif selendang persahabatan menggambarkan perpaduan budaya China, Arab, Jawa, India, dan Jepang. “Ini selendang perdamaian dengan motif yang dituliskan menyatakan kasih, persahabatan, semangat untuk bangkit dan pulih,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Kedua selendang berwarna coklat kemerahan itu merupakan hasil rancangan Hartati Ardiasa, anggota PINTI, organisasi yang terbentuk pasca Tragedi Mei 1998. “Ada motif burung phoenix yang menggambarkan ketulusan, burung garuda menggambarkan kekuasaan ketekunan, bukit bunga yang sedikit budaya Eropa, say it with flower, ada naga, khas China juga,” ujar Andy sambil menunjuk gambar-gambar kecil di selendang.

Hari ini, Komnas Perempuan memperingati tragedi Mei 1998 yang mengakibatkan perempuan sebagai korban pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya.

Ketika Korban Memilih Diam...Perempuan etnis Tionghoa korban kekerasan seksual dan pemerkosaan massal pada Mei 1988 masih bungkam, seolah tak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Meski begitu, mereka mendambakan realisasi komitmen negara dan masyarakat untuk pemulihan hak mereka.

“Kondisi sekarang, banyak sekali perempuan korban tragedi Mei eksodus ke luar negeri. Itu yang keluarganya mampu. Banyak korban yang pindah dari Jakarta atau Indonesia, minta identitas baru, tidak mau kembali ke Indonesia,” ujar komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Andy Yentriyani, saat jumpa pers di Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (12/5/2010).

Rata-rata dari mereka tidak mau diingatkan dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual yang mereka alami. Bahkan menurut Andy, perempuan korban Mei tidak mau berhubungan lagi dengan pendampingnya, karena dianggap mengingatkan mereka terhadap tragedi itu. Mereka juga memilih bungkam, karena menurut Andy, suara mereka seringkali tidak didengar. “Ketika banyak perempuan korban melakukan testimoni, banyak terjadi penolakan, orang banyak curiga, masa sih ada korban yang bisa menyatakan pangalamannya dengan tegar?” ujar Andy.

Kemudian, saat perempuan-perempuan itu kehilangan kemampuan berbicaranya, lanjut Andy, mereka malah disangka gila. “Saat korban kehilangan omongannya, kemampuan bahasa Indonesianya, nggak ada yang mau percaya karena dikira gila,” paparnya.

Bentuk-bentuk penolakan terhadap testimoni perempuan korban tragedi Mei 1998 itu menurut Andy, masih berbekas di diri korban hingga saat ini. “Mereka nggak yakin kalau sekarang mereka bersaksi. Apalagi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa itu pun berakar, jadi sulit bagi kita mendesak atau mengharapkan korban bisa maju untuk bertestimoni,” tuturnya.

Tragedi Mei 1998 membuat korban pemerkosaan dan kekerasan seksual kehilangan teman sosialnya sehingga merasa hidup sendiri. “Ada yang tidak mau diterima oleh suami dan anak anaknya,” tambah Andy.

Bahkan pendamping perempuan korban yang berasal dari aktivis masyarakat, guru, tetangga, atau teman korban itu pun, menurut Andy, ikut bungkam dan terasing dari pergaulan. “Banyak pendamping  kehilangan kepercayaan. Ada yang tidak mau terlibat lagi dalam aktivis sosial politik, ada yang tidak dapat berelasi baik dengan pasangan,” ujar Andy.

Untuk itulah, Komnas Perempuan mendesak agar pemerintah mengungkap kebenaran yang memuat upaya pemulihan bagi perempuan korban, dan proses peradilan bagi pelaku. “Menurut data tim gabungan pencari fakta, ada sekitar 85 orang perempuan korban kekerasan seksual dan pemerkosaan tragedi Mei,” imbuh Andy.

Minimal, presiden memberikan pernyataan yang mengakui adanya kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dialami perempuan dalam tragedi Mei 1998 dan meminta maaf atas kelalain negara melindungi perempuan.Komnas Perempuan memperingati Tragedi Mei 1998 yang mengoyak rasa kemanusiaan. Pada 13-15 Mei 1998, terjadi penjarahan dan pembakaran yang mengarah pada komunitas Tionghoa. Dalam tragedi yang akhirnya melengserkan rezim Soeharto itu juga terjadi pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan, terutama etnis Tionghoa.

Data Korban Kekerasan Seksual 1998 Diserahkan – Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono, Jumat (23/5), menyerahkan dokumen tentang kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji. Selanjutnya, jaksa akan mengevaluasi dan mempelajari bahan-bahan tersebut.

”Kan katanya banyak orang mati dibakar. Perkosaan juga ada di situ. Nanti kami pelajari. Kalau bener ada peristiwa, kami tindak lanjuti,” kata Hendarman di Kejaksaan Agung, Jumat. Meskipun demikian, Hendarman menegaskan, peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia pada kerusuhan Mei 1998 masih sebatas asumsi. Peristiwa itu baru dapat diakui ada setelah ada alat bukti. Alat bukti itu termasuk keterangan korban kekerasan seksual tersebut.

Dokumen yang diterima dari Meutia Hatta, menurut Hendarman, hanya berupa dokumen, tidak dilengkapi dengan kesaksian korban. Ia menyebutkan, alat bukti itu berupa saksi, surat, petunjuk, dan keterangan ahli. Dengan adanya alat bukti, dapat diketahui bahwa asumsi itu benar sehingga pelaku tindak kejahatan tersebut dapat diajukan ke pengadilan.

Romo Sandyawan, salah seorang relawan pendamping korban kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998, mengatakan, kesaksian dari korban sangat sulit diperoleh. ”Seandainya dipaksa, mungkin bisa, tapi sulit. Lagi pula, rasanya tidak etis menempatkan korban lagi untuk memberikan keterangan seperti itu,” kata Sandyawan, yang dihubungi Kompas, Jumat petang.

Sandyawan memuji langkah Meutia yang menyerahkan dokumen kejahatan seksual pada kerusuhan Mei 1998 itu kepada Jaksa Agung. Ini mengingat selama ini tidak ada langkah konkret pemerintah dalam menyelesaikan kasus tersebut. Namun, Sandyawan tetap pesimistis perkara itu dapat dituntaskan secara hukum.

Seperti diberitakan (Kompas, 19/5), Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kerusuhan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya menyebutkan, 10 tahun setelah kekerasan seksual dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998, tidak ada perubahan mendasar dalam sikap pemerintah tentang fakta telah terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998.

Pelapor khusus merekomendasikan, di antaranya, agar negara memperkuat rasa aman perempuan korban dengan menegaskan kembali terjadinya kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998 dan menindaklanjuti Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sementara itu, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan pemerintah menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia berat pada kerusuhan Mei 1998. Dalam catatan TGPF, 288 korban meninggal, 101 korban luka, dan 92 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. (idr/kompas)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *