Toa Peringatan Banjir: Dulu Digagas, Kini Anies Kritik Sendiri


 Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengkritik penggunaan toa digunakan sebagai peringatan dini banjir di Jakarta. Bahkan, dia meminta jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk tidak lagi menyusun kegiatan pengadaan toa. Alasannya, alat tersebut tidak relevan digunakan sebagai sistem peringatan dini banjir di Jakarta.

Saat ini di Jakarta, terdapat 24 toa yang terpasang di 14 kelurahan. Alat tersebut diproyeksikan sebagai sarana menyampaikan informasi kepada warga akan potensi banjir. Toa tersebut dikatakan berasal dari Jepang sebagai barang hibah.

Sebelumnya, penggunaan toa sebagai early warning system (EWS) merupakan salah satu cara yang dipilih Anies untuk memberikan peringatan dini pada masyarakat Jakarta di awal tahun 2020. Bahkan, dia memerintahkan pihak kelurahan berkeliling di kelurahannya untuk memberikan peringatan dini terjadinya banjir kepada masyarakat menggunakan pengeras suara dan sirine.

“Jadi kelurahan, bukan ke RW, RT, tapi langsung ke masyarakat berkeliling dengan membawa toa (pengeras suara) untuk memberitahu semuanya, termasuk sirine,” kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta pada 8 Januari 2020.

Mantan Mendikbud itu menuturkan pihaknya menggunakan metode tersebut setelah melakukan peninjauan terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) yang digunakan sebelumnya oleh Pemprov DKI Jakarta.

Hal itu karena dalam SOP sebelumnya jika ingin memberi peringatan akan terjadinya bencana, harus berjenjang dari Pemprov ke masyarakat.

“Karena kemarin pada malam itu pemberitahuan diberitahu, tapi karena malam hari diberitahunya lewat HP, akhirnya sebagian tidak mendapatkan informasi,” ucap dia.

Anggarkan Rp 4 Miliar Beli Toa Peringatan Dini Banjir

4 miliar beli toa peringatan dini banjir rev1

Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) BPBD DKI, Muhammad Insyaf mengatakan, disaster warning system (DWS) atau alat peringatan dini bencana milik Pemprov DKI Jakarta menggunakan teknologi VHF digital radio atau frekuensi 60 MHz.

Dia menyebut proses pengoperasiannya saat sungai telah mengalami kenaikan tinggi muka air menjadi siaga tiga atau waspada.

“Maka petugas BPBD akan mengoperasikan DWS dengan menyampaikan informasi langsung dari Pusat Data dan Informasi BPBD,” katanya pada 17 Januari 2020.

Setelah itu, kata dia, petugas akan mengimbau masyarakat yang berada di wilayah rawan untuk lebih waspada adanya potensi banjir. Selain imbauan, Insyaf menyebut sirine di lokasi yang terpasang DWS juga akan berbunyi.

“Bentuk suara mengimbau masyarakat dan ada bunyi sirine juga,” ucapnya.

Insyaf menyebut alat DWS biasanya terpasang dengan jarak 500 meter dari sungai dan dapat menjangkau hingga jarak 300 meter. Saat ini, ucap dia, baru sebanyak 14 wilayah yang sudah terpasang DWS.

Untuk wilayah Jakarta Selatan di antaranya, yakni Kelurahan Ulujami, Petogogan, Cipulir, Pengadegan, Cilandak Timur, dan Pejaten Timur. Sedangkan di wilayah Jakarta Barat ada Kelurahan Rawa Buaya, Kapuk dan Kembangan Utara.

“Jakarta Timur di Kampung Melayu, Bicara Cina, Cawang, Cipinang Melayu dan Kebon Pala,” ujar dia.

Sementara itu, rencana enam DWS dipasang di enam kelurahan pada tahun 2020. Di antaranya yakni di Kelurahan Bukit Duri, Kebon Baru, Kedaung Kali Angke, Cengkareng Barat, Rawa Terate dan Marunda.

“Anggaran sesuai dengan yang ada di e-budgeting (Rp 4 miliar),” jelasnya.

Berdasarkan apbd.jakarta.go.id, pengadaan enam DWS terdiri dari enam set stasiun ekspansi peringatan dini bencana transmisi Vhf Radio dengan anggaran Rp 3,1 miliar. Enam set pole atau menara DWS dianggarkan Rp 353 juta.

Kemudian ada enam set modifikasi software untuk telementry dan warning console, Rp 416 juta, enam set coaxial arrester, Rp 14 juta, dan enam set 30W horn speaker buatan lokal, Rp 7 juta.

Lalu ada anggaran untuk enam set storage battery 20AH, 24V, Rp 70 juta serta enam set tiga element bagi antena sebesar Rp 90,392 juta.

Sudah Diingatkan DPRD DKI

dprd dki rev1

Ketua Fraksi PDIP DKI Jakarta Gembong Warsono menentang rencana Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta akan menambah alat peringatan dini banjir, yaitu Disaster Warning System (DWS) berupa alat pengeras suara di enam kelurahan. Untuk menyediakan alat pengeras suara tersebut, BPBD DKI menganggarkan dana sebesar Rp4,03 miliar.

Dia menilai pengadaan tersebut tidak mendesak. Menurut dia, yang seharusnya dilakukan BPBD saat ini, yakni menggandeng BMKG dalam upaya memberikan early warning sistem.

“Ya enggak penting, sangat tidak urgent. Seharusnya bukan cara itu yang dilakukan, harusnya bisa menggandeng BMKG, kan bisa kerjasama dengan BMKG,” ungkap dia saat dikonfirmasi, Kamis (16/1).

“Jadi ibu kota negara yang APBD-nya Rp87,94 triliun masa pakai Toa (pengeras suara). Kalau saya sih malah justru jangan pakai toa tapi make kentongan,” imbuhnya.

Kehadiran alat pengeras suara sebagai bagian dari Disaster Warning System (DWS), lanjut dia, tidak memberikan manfaat yang signifikan.

“Kalau Toa Rp4 Miliar, kalau kentongan kan cuma Rp100 ribu. Dari sisi kemanfaatan saya kira tidak terlalu signifikan,” jelas dia.

Kedua dari segi estetika, dia menilai kehadiran pengeras suara tidak elok. “Kedua, enggak elok saja di ibu kota negara, alarm banjir menggunakan Toa itu rasanya agak aneh saja,” jelas dia.

Dia justru mendorong BPBD agar memanfaatkan teknologi terkini untuk mendukung sistem peringatan dini banjir. Misalnya dengan lewat platform daring.

“Yang paling efektif itu memanfaatkan teknologi yang ada. Memaksimalkan teknologi yang ada bukan mengembalikan ke zaman batu. Ya alarm itu kan teknologi. Cuma bagaimana supaya tersebut terhubung,” terang dia.

“Jadi teknologi yang ada ini gimana dihubungkan dengan peringatan dini dari BMKG. Yang harus kita dorong kan ke sana supaya akurasinya benar-benar terjamin,” tandasnya.

Kini Anies Larang Penggunaan Toa Peringatan Dini Banjir

larang penggunaan toa peringatan dini banjir rev1

Kepada seluruh anak buahnya, Anies meminta agar saling berkoordinasi sebagai antisipasi banjir. Ada tiga aspek yang ditekankan Anies yaitu, antisipasi banjir, penanganan selama ada genangan dan setelah banjir surut.

Untuk aspek antisipasi, Anies menekankan ada koordinasi yang baik antar pihak terkait agar persiapan menghadapi banjir maksimal. Misalnya saja, saat mendapat informasi air di Katulampa, pihak Dinas Sumber Daya Air bersama wali kota, RT/ RW atau kelurahan setempat segera mengisolasi wilayah yang memiliki risiko tinggi banjir.

“Begitu dari atas ada kabar Katulampa siaga 1, maka sudah tahu RT mana, RW mana, jalan mana yang ditutup, itu sudah dilakukan, Puskesmas mana yang stand by di situ tenda mana yang dipasang di mana. Ini namanya early warning system,” ujar Anies.

Ia pun kemudian mengkritik toa yang telah terpasang di beberapa kelurahan bukanlah sebuah sistem peringatan dini.

Kemudian, saat banjir menggenang, Anies meminta sudah sepatutnya jajarannya berkoordinasi dengan PLN untuk segera mematikan listrik saat adanya peringatan dini banjir.

“Harusnya sudah tahu bukan sebelum kejadian bahwa RT A B C D R F G listriknya harus mati, itu kan harusnya dikerjakan sebelum basah. Jadi maksud saya kita benar-benar membuat sistem, ini adalah Toa belum sistem, saya cek ini kenapa kita pakai ini dan adanya cuma di 14 Kelurahan awalnya dari mana?” kata Anies sambil merujuk slide yang menampilkan gambar toa.( Mdk / Im )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Toa Peringatan Banjir: Dulu Digagas, Kini Anies Kritik Sendiri

  1. pengamat
    August 12, 2020 at 11:45 am

    Seharusnya toa dipakai sebelum terjadi banjir di musim hujan bulan september nanti. Suruh masyarakat gotong royong membersihkan kali dan saluran air pakai toa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *