Tionghoa, Dulu dan Sekarang_Bagian ke-2 Tamat


Catatan Redaksi: Penulis dalam kapasitasnya sebagai Reporter Koran Jawa Pos – bukan sebagai

Menteri BUMN/RI)

Sub_Judul: Tionghoa Bersambut, Bagaimana Yin Ni Hua Ren?

Zaman berubah. Bahkan, setelah kejatuhan Orde Baru, perubahan itu begitu drastisnya, sehingga terasa

terlalu tiba-tiba. Belum pernah orang Tionghoa mendapat posisi sosial-politik sehebat sekarang. Sampai

akhir Orde Baru pun, kita tidak akan menyangka bahwa kita bisa berubah sedemikian hebat. Memang

terlalu banyak orang Tionghoa yang jadi ”tumbal” untuk perubahan itu. Yakni, mereka yang menjadi

korban peristiwa Mei 1998 di Jakarta yang jadi awal ”zaman baru” bagi Tionghoa Indonesia itu.

Tapi, juga terlalu banyak untuk disebutkan jasa pejuang demokrasi seperti Amien Rais, Gus Dur, dan

seterusnya, yang meski secara khusus perjuangan dan pengorbanan mereka tidak dimaksudkan untuk

membela golongan Tionghoa, tapi hasil perjuangan itu secara otomatis ikut mengangkat posisi sosial-
politik masyarakat Tionghoa menjadi sejajar dengan suku apa pun di Indonesia.

Kini, pada zaman baru ini, penggolongan lama ”totok, peranakan, dan Hollands spreken” sama sekali

tidak relevan lagi. Bukan saja tidak relevan, bahkan memang sudah hilang dengan sendirinya. Kawin-
mawin antartiga golongan itu sudah tidak ada masalah sama sekali. Status sosial tiga golongan tersebut

juga sudah tidak bisa dibedakan. Jenis pekerjaan dan profesi di antara mereka juga sudah campur-baur.

Membedakan berdasar di mana sekolah anak-anak mereka juga sudah tidak berlaku. Berkat demokrasi,

pembedaan berdasar apa pun tidak relevan lagi. Bahkan, pembedaan model lama antara hua ren dan penti

Koran Jawa Pos

ren tidak boleh lagi. Tapi, bukan berarti tidak ada masalah. Misalnya, dalam zaman baru ini, bagaimana

harus mengidentifikasikan dan menyebut hua ren?

Saya pernah menghadiri satu seminar yang diadakan INTI di Jakarta. Dalam forum itu, antara lain,

disinggung soal bagaimana harus menyebut orang Tionghoa di Indonesia dalam bahasa Mandarin. Kalau

panggilan nonpribumi sudah tidak relevan dan seperti kelihatan antidemokrasi, lantas kata apa yang bisa

dipakai untuk menyebutnya dalam bahasa Mandarin? Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti

sepakat bahwa sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa sudah berarti ”orang dari

ras cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia”. Kata Tionghoa sudah sangat enak

bagi suku cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat

pas untuk pengganti sebutan ”nonpri” atau ”cina”.

Saya sebagai ”juawa ren” (meski xian zai wo de xin shi hua ren de xin) semula agak sulit memberi

penjelasan kepada pembaca mengapa menyebut ”cina” tidak baik? Apa salahnya? Luar biasa banyaknya

pertanyaan seperti itu. Terutama sejak Jawa Pos Group selalu menulis Tionghoa untuk mengganti kata

nonpri atau cina. Jawa Pos memang menjadi koran pertama di Indonesia yang secara sadar mengambil

kebijaksanaan tersebut. Memang ada yang mencela dan mencibir bahwa Jawa Pos tidak ilmiah. Juga tidak

mendasarkan kebijakan itu pada kenyataan yang hidup di masyarakat, yakni bahwa semua orang sudah

terbiasa menyebut kata ”cina”. Mengapa harus diubah-ubah?

Saya tidak bisa menjawab dengan alasan bahwa kata cina itu terasa ”menyudutkan” dan ”menghinakan”.

Eddy Lembong dari INTI

Mereka akan selalu bilang bahwa ”kami tidak merasa seperti itu”. Atau, mereka akan mengatakan ”Ah,

itu mengada-ada”. Bahkan, ada yang bilang, ”Kok kita tidak ada yang tahu ya bahwa sebutan cina itu

melecehkan”. Memang, kenyataannya sebenarnya seperti itu. Tapi, juga tidak mengada-ada bahwa

golongan Tionghoa merasa seperti itu. Setidaknya sebagian di antara mereka yang lama-lama menjadi

mayoritas di antara mereka. Yakni, sejak awal Orde Baru, sejak ada desain dari penguasa waktu itu

bahwa penyebutan kata ”cina” bukan lagi untuk identifikasi ras saja, tapi juga untuk ”menyudutkan” ras

tersebut. Yakni, untuk ”mencina-cinakan” mereka dalam konotasi yang semuanya jelek.

Tentu, tidak semua orang Tionghoa tahu itu. Bahkan, banyak orang Tionghoa yang mengatakan ketika

dipanggil ”cina” juga tidak merasa apa-apa. Lebih dari itu, kata Tionghoa berasal dari bahasa daerah di

Provinsi Fujian-Guangdong dan sekitarnya. Lalu, bagaimana dengan orang ”cina” yang dulunya berasal

dari luar wilayah itu? Tapi, adanya latar belakang pencina-cinaan itulah akhirnya yang membuat

umumnya orang Tionghoa dari mana pun asal-usulnya dulu ikut tahu dan merasakan penyudutan tersebut.

Lalu, bagaimana saya bisa menjelaskan kepada pembaca koran Jawa Pos Group agar bisa menerima

istilah Tionghoa sebagai pengganti ”cina”? Terutama bagaimana saya bisa meyakinkan para redaktur dan

wartawan di semua koran Jawa Pos Group (tentu tidak mudah karena kami memiliki sekitar 100 koran di

seluruh Indonesia) yang semula juga sulit diajak mengerti?

Untuk ini, saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI, khususnya Eddy Lembong

yang sangat cerdas itu. Entah bagaimana, Eddy Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam

ajaran Islam yang kalau diterjemahkan artinya begini: ”Panggillah seseorang itu dengan panggilan

yang mereka sendiri senang mendengarnya”. Ini dia. Saya dapat kuncinya. Saya dapat magasin berikut

pelurunya. Maka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ”cina” yang tidak suka kalau dipanggil

Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ”cina”. Dengan logika

itu, apa salahnya kita menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan yang

menyenangkan bagi yang dipanggil?

Mengapa kita harus memanggil ”si gendut” untuk orang gemuk atau ”si botak” terhadap orang yang tidak

berambut, meski kenyataannya demikian? Atau, kita memanggil dengan ”si kerbau” meski dia memang

terbukti bodoh? Kini, setelah lebih dari delapan tahun Jawa Pos Group menggunakan istilah Tionghoa,

rasanya sudah lebih biasa. Juga lebih diterima. Yang masih sulit adalah justru bagaimana orang Tionghoa

Indonesia sendiri menyebut dirinya dalam bahasa Mandarin? Apakah masih ”women zhong guo ren”?

Atau ”hua ren”? Atau ”Yin Ni Hua Ren”? Lalu, bagaimana orang Tionghoa menyebut Tiongkok dalam

pengertian RRC? Masihkah harus menyebutnya dengan ”guo nei”? (IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *