Surat Pembaca :Kebiadaban, Ketololan, dan Kepengecutan dalam Pengadilan Cikeusik


Pengadilan Negeri Serang pada 15 Agustus mengeluarkan vonis untuk Deden Sudjana. Tiga kata yang tepat untuk menggambarkan keputusan pengadilan adalah: biadab, tolol, dan pengecut. Yang tak ada adalah keadilan.

Sekarang bayangkan seandainya cerita di bawah ini menimpa Anda.

Suatu hari, rumah Anda akan diserang sepuluh pemuda beringas. Alasan mereka menyerang hanya satu: mereka ingin mengusir Anda dari rumah milik Anda karena mereka tidak suka dengan agama Anda. Seorang polisi mendatangi Anda dan meminta Anda untuk pindah saja dari rumah itu.

Anda berkeras untuk tidak pindah karena itu adalah hak milik Anda yang dilindungi hukum. Anda tidak mau mengikuti permintaan polisi, dan Anda justru meminta polisi melindungi Anda karena menurut Anda kewajiban polisi adalah melindungi warga. Polisi itu bilang: “Wah saya tidak sanggup. Anda saja deh yang pindah.”

Karena merasa bahwa Anda harus melindungi hak milik Anda, Anda memilih bertahan. Si polisi pun pergi dan hanya melihat dari kejauhan. Tak lama kemudian, benarlah gerombolan pemuda itu datang sambil berteriak-teriak mengusir Anda. Karena tahu akan diserang, Anda pun menyiapkan segala macam peralatan untuk melindungi Anda. Dan begitu seorang pemuda itu menginjak halaman rumah Anda sambil memaki-maki dan mengacungkan pisau, Anda pun memukul dia. Perkelahian terjadi. Tapi karena berlangsung tak seimbang, Anda pun terkapar. Untung Anda tak sampai mati karena gerombolan pemuda itu menghentikan pemukulan dan memilih menghancurkan barang-barang yang ada di rumah Anda.

Tentu saja ini jadi perkara hukum. Tapi, ternyata yang diajukan ke pengadilan bukan cuma para penyerang itu tapi juga Anda sendiri. Lho, kata Anda, kok saya juga dituntut? Begini, kata polisi dan jaksa, Anda dituduh bersalah karena dua hal: Anda tidak mau meninggalkan rumah walau sudah diminta polisi dan Anda memukul penyerang Anda.

Dengan alasan itu, Anda diajukan ke pengadilan. Dan hakim pun ternyata setuju dengan sang polisi dan jaksa. Anda dihukum sekian bulan penjara karena Anda dianggap melawan orang yang berusaha merampas hak milik Anda.

Apa kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan kelakuan para polisi, jaksa, dan hakim yang terlibat dalam pemerkaraan Anda dan keputusan menghukum Anda itu? Saya duga Anda akan menyebut rangkaian hal-hal buruk yang mencerminkan ketidakmasukakalan proses itu.

Dan inilah yang terjadi dengan pengadilan kasus Ahmadiyah di Cikeusik.

Mudah-mudahan Anda ingat bahwa pada Februari lalu, ada lebih dari seribu orang menyerbu rumah seorang jemaat Ahmadiyah di daerah itu. Mereka ingin mengusir si pemilik rumah dan para jemaat Ahmadiyah lainnya karena bagi mereka, Ahmadiyah adalah ajaran sesat. Dalam penyerbuan itu, tiga orang jemaat Ahmadiyah tewas mengenaskan dan lima lainnya luka parah.

Deden Sudjana adalah salah seorang jemaat Ahmadiyah yang memimpin perlawanan. Sebelum bentrok terjadi, polisi memang mengingatkan Deden dan kawan-kawan –berjumlah 17 orang– untuk melakukan evakuasi karena rumah akan diserbu. Deden menolak dan memilih bertahan. Saat menghadapi serangan, Deden sempat memukul salah seorang penyerbu, sebelum akhirnya Deden tak berdaya dikeroyok massa.

Pengadilan Negeri Serang ternyata tak hanya mengadili para penyerbu, tapi juga Deden. Ke-12 penyerang itu diadili atas dasar tuduhan pengeroyokan dan penganiayaan yang mengakibatkan pembunuhan, Deden diadili dengan tuduhan melawan perintah petugas dan penganiayaan.

Vonis yang dijatuhkan pun ternyata berpihak pada si penyerang. Sementara para penyerang ada yang hanya dihukum tiga bulan “dan maksimal enam bulan”, Deden dijatuhi hukuman enam bulan.

Keputusan 15 Agustus itu menunjukkan bahwa dalam bulan Ramadhan yang seharusnya suci, justru yang terjadi adalah ketidakadilan. Dan ketidakadilan itu berlangsung karena para polisi, jaksa, dan majelis hakim di Serang bersikap biadab, tolol, dan pengecut.

Dikatakan biadab karena dengan begitu segenap aparat hukum di Serang melindungi para penyerbu yang dengan dingin bahkan sambil bertakbir melakukan kekejian luar biasa, yakni mengeroyok dan memukuli sampai mati tiga jemaat Ahmadiyah. Polisi, jaksa, dan hakim seperti memberi surat izin bagi seluruh pembenci Ahmadiyah untuk membunuh lagi di kemudian hari. Polisi, jaksa, dan hakim seperti mengkampanyekan seruan untuk membantai mereka yang tidak sepaham dengan Anda. Bagi para polisi, jaksa, dan hakim tersebut, pembunuhan sadistis rupanya adalah kejahatan ringan selama itu dilakukan untuk membunuhi orang-orang sesat seperti jemaat Ahmadiyah.

Dikatakan tolol, karena logika pendakwaan dan pemvonisan Deden benar-benar menunjukkan ketumpulan berpikir. Apa tidak tolol namanya seorang polisi atau jaksa atau hakim yang menganggap tindakan seseorang untuk tidak meninggalkan rumah walau sudah diperingatkan polisi bahwa mereka akan diserbu sebagai tindakan `melawan perintah petugasa’?

Bila polisi memerintahkan Anda untuk tidak berjualan di jalur lambat jalan raya dan Anda tetap bertahan berjualan di sana, Anda mungkin bisa dianggap `melawan perintah petugasa’. Tapi kalau Anda berkeras mempertahankan hak milik Anda walau Anda sudah diberi tahu polisi bahwa akan ada gerombolan orang yang akan mengancam nyawa Anda, maka sikap bertahan Anda jelas-jelas bukanlah melawan perintah petugasa!

Terakhir, dikatakan pengecut karena bisa diduga para penegak hukum itu mengambil tindakan di bawah rasa takut. Para polisi sebenarnya wajib melayani dan melindungi warga. Tapi mereka sejak awal sudah memilih untuk meminggirkan diri ketika melihat rombongan penyerbu. Mereka bahkan tak berusaha menghalangi, baik dengan jalan dialog ataupun memberi tembakan peringatan, misalnya. Dan setelah kebrutalan itu terjadi, aparat penegak hukum itu alih-alih mengakui kelemahan, malah mengajukan Deden sebagai tersangka untuk menciptakan keseimbangan. Lebih pengecut lagi, di bawah tekanan kelompok-kelompok fasis yang secara berkelanjutan membikin kegaduhan di ruang sidang pengadilan, para penegak hukum itu menjatuhkan hukuman yang ringan bagi si penyerang serta yang tak masuk akal bagi si korban.

Pemerintah sendiri sampai saat ini tak berbunyi apa-apa. Dan di tengah kebisuan semacam ini, bisa diduga bahwa rangkaian kekerasan terhadap Ahmadiyah akan terus berlangsung. Minggu lalu dikabarkan di Makasar, Sulawesi Selatan, ratusan orang menyerang sebuah tempat shalat jemaat Ahmadiyah. Ini berlangsung di bulan Ramadhan, di depan polisi yang dikabarkan hanya berdiam diri. Seorang jemaat luka berat dan tiga aktivis hak asasi setempat dipukuli.

Keputusan Pengadilan Negeri Serang ini memang bukan keputusan final. Pihak pembela masih mengajukan banding. Namun kalau kualitas para hakim di Indonesia setara dengan mereka yang berada di Serang, jangan pernah berharap keadilan bisa ditegakkan di Indonesia.***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *