Beberapa waktu yang lalu, saya membaca berita Sekretaris Militer RI menyampaikan 32 daftar
nama calon ajudan Presiden kepada Presiden terpilih RI Jokowi. Membaca berita tersebut, dan
mendengar kata ajudan melayangkan ingatan saya ke masa yang paling berharga buat saya, masa
dimana saya belajar banyak hal serta mendapatkan kehormatan yang sangat besar dimana tidak semua
orang memiliki kesempatan tersebut. Masa itu adalah di saat saya mendapatkan kehormatan menjadi
ajudan Menteri Luar Negeri RI pada tahun 2002 – 2004.
Saya ingat saat mendampingi Menlu ke Mexico dalam rangka KTT APEC. Setelah menempuh
perjalanan yang panjang, saya tidak langsung tidur karena berkoordinasi dengan panitia, KBRI dan lain
sebagainya serta mempersiapkan kebutuhan Menlu. Saya tidur cukup larut malam itu. Karena kelelahan,
saya mendengar jam weker berbunyi pada pukul 6.30. karena masih mengantuk, saya hanya mematikan
weker dan tidur lagi dengan harapan bisa menambah 5 menit lagi.
Namun betapa terkejutnya saya saat terbangun. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi. Saya
loncat dari tempat tidur langsung mandi dan bersiap-siap. Otak saya berputar untuk mencari alasan
tepat menutupi kelalaian saya. Saya teringat adanya laundry yang dipesan pak Menteri. Saya hubungi
front desk dan minta laundry dibawa ke kamar saya. Dengan membawa laundry, saya mempunyai
alasan terlambat karena menunggu laundry tersebut. Dengan perasaan gugup saya masuk kamar menlu
dan mendapati kamar sudah kosong. Badan saya langsung lemas, keringat dingin mulai bercucuran di
kening saya.
Dengan langkah gontai, saya menuju ke lobby dan mendapat informasi Menlu sudah memimpin
rapat delegasi. Pikiran berkecamuk di benak saya. Saya sudah mempersiapkan diri untuk langsung
disuruh pulang, diberhentikan jadi ajudan bahkan penempatan di luar negeri saya akan ditangguhkan.
Bagaimana bisa saya seorang sipil menjadi ajudan. Saya diterima di Kementerian Luar Negeri
tahun 2000. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dinas luar negeri pada 2001 saya ditempatkan di
Biro Administrasi Menteri, Kementerian Luar Negeri. Pada saat itu, salah satu ajudan yang bertugas,
senior saya di Kemlu, mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tingkat madya. Atasan
saya menyampaikan bahwa saya adalah salah satu yang dicalonkan untuk menggantikan posisi ajudan
Menteri.
Sebagai seorang sipil, saya terus terang tidak mengetahui apa tugas dan tanggung jawab
seorang ajudan. Yang saya tahu saat itu, seorang ajudan adalah orang yang berdiri di belakang
atasannya, membawakan tas dan dokumen-dokumen lainnya. Sehingga ada sebuah joke bahwa ajudan
juga mendapat sebutan Plt. Plt bukan Pelaksana Tugas tetapi Pembawa Luggage dan tas.
Walaupun sudah disuruh untuk mempersiapkan diri, namun penunjukkan saya atau hari
pertama saya datang secara tiba-tiba. Rekan ajudan saya tiba-tiba mempunyai tugas di luar kantor yang
membuat saya secara tiba-tiba langsung disuruh bertugas. Sebelumnya saya belum pernah bertemu
langsung atau kenal secara pribadi dengan Menteri Luar Negeri. Sehingga dengan perasaan yang gugup,
bersama rekan saya, saya memasuki ruang kerja Menteri.
Sebagai seorang junior, yang baru kurang dari dua tahun masuk di Kementerian Luar Negeri,
saya memasuki ruang kerja Menteri. Dr. Hassan Wirajuda menyambut saya dengan rekan saya. Rekan
saya memperkenalkan nama saya dan menyampaikan bahwa saya mulai tugas saat itu. Seperti dalam
mimpi, Pak Hassan Wirajuda, seorang diplomat kawakan dan Menteri Luar Negeri, berdiri di depan saya
dan dengan senyum khasnya hanya menyampaikan sebuah kata kecil, welcome Fiki.
Sebuah pertemuan yang sangat singkat. Namun pertemuan tersebut merupakan awal sebuah
perjalanan dan pengalaman yang sangat berharga dan tidak terlupakan untuk saya. Saya langsung
diserahkan oleh rekan saya handphone dinas, handphone yang menerima semua komunikasi yang
dilakukan oleh Menlu. Untuk pertama kalinya, saya duduk di kursi depan mobil menteri, yang saat itu
adalah mobil Volvo dengan plat nomor B 17.
Malam itu saya mulai mendampingi Menlu kembali dari kantor ke kediaman Menteri. Pada
malam itu, Menlu menghadiri sebuah resepsi diplomatic di sebuah kedutaan besar Negara sahabat.
Mulai saat itu, saya menjadi bayangan Menlu. Ritme pekerjaan saya menjadi berubah. Saya dengan
rekan kerja saya secara bergantian menjadi ajudan yaitu 2-2-3. Artinya 2 hari menjadi ajudan 2 hari
cadangan dan 3 hari menjadi ajudan kembali secara bergantian. Sabtu dan Minggu pun kita secara
bergantian stand by di kediaman. Metode ini di luar saat kita bertugas mendampingi Menlu di luar
negeri atau luar kota.
Kegiatan sehari-hari saya jika sedang berdinas menjadi ajudan adalah saya sudah tiba di
kediaman sekitar pukul 6 pagi. Saya persiapkan semua dokumen dan mengecek semua kesiapan
khususnya kendaraan. Sekitar jam 7 pagi, saat Menlu sarapan dan siap-siap, saya ke kamar beliau,
menyampaikan kegiatan beliau. Dan sekitar pukul 8.30, kami berangkat ke kantor. Hari akan berakhir
saat kita sampai ke kediaman hingga beliau tidur. Biasanya saya tiba di rumah pukul 11 malam.
Kembali ke cerita sebelumnya, dalam keadaan yang galau, dengan memikirkan nasib saya, masa
depan saya, tiba-tiba petugas komunikasi dari KBRI membawa setumpuk dokumen untuk diserahkan
kepada Menlu. Saya memeriksa dokumen itu dan bagai dewa penyelamat, sebuah dokumen yang
memang sedang ditunggu Menlu terdapat di dalam tumpukan kertas tersebut. Sebuah ide timbul dan
kuambil dokumen itu dan meminta dokumen lainnya dihold oleh rekan petugas komunikasi tersebut.
Sebagaimana yang sudah kuduga, kulihat wajah Menlu agak marah melihat saya masuk ruangan.
Langsung saya mendekati beliau. Beliau langsung menanyakan saya, “kemana saja Fiki… rapat sudah
mulai kamu belum muncul”. Dengan suara berbisik namun tegas sambil menyerahkan dokumen saya
katakan kepada Menlu: “Izin Pak Menteri, Saya mohon maaf tadi saya tidak langsung ke kamar bapak,
karena saya menunggu dokumen dari New York yang sedang bapak tunggu. Siap…. Petunjuk.” Ucap saya
dengan nada menyakinkan padahal hati saya berdegup dengan cepat. Kelegaan timbul saat Menlu
mengatakan “Oh begitu… terima kasih…”. Sambil memberikan instruksi untuk tindak lanjut, saya
mendengar dan mencatat seluruh instruksi menteri. Saya keluar dengan perasaan lega karena berhasil
menutupi kelalaian saya dan sepanjang hari berjalan secara normal.
Masih banyak pengalaman yang ingin saya bagikan kepada pembaca. Lanjutan cerita dapat
ditunggu pada edisi berikutnya.
*Penulis adalah Konsul Penerangan Sosial Budaya pada KJRI Los Angeles, pernah menjadi Ajudan
Menteri Luar Negeri pada tahun 2002-2004. Tulisan merupakan pokok pikiran pribadi.