Bencana datang dan susah masuk daerah rawan. Robot ini bisa membantu.
Semua hal lumpuh saat bencana terjadi, termasuk sistem komunikasi. Padahal, untuk membangun jaringan komunikasi di area bencana sering kali makan waktu, dan itu berakibat fatal, menghambat kerja tim penyelamat untuk menyelamatkan banyak nyawa.
Namun, sistem terbaru berupa robot yang bisa terbang secara otonom kini sedang dikembangkan oleh Federal Institute of Technology in Lausanne (EPFL). Robot terbang ini bisa membentuk jaringan darurat nirkabel yang lebih cepat, lebih bisa diandalkan, dan lebih terjangkau.
Robot ini bagian dari Swarming Micro Air Vehicle Network (SMAVNET) atau proyek riset Laboratory of Intelligent Systems (LIS) EPFL yang bertujuan mempelajari kecerdasan binatang, meniru dan perilaku kolektif koloni binatang atau serangga. “Tujuannya, untuk menciptakan sebuah sistem yang dapat diterapkan dalam skrenario bencana,” kata ilmuwan riset LIS, Jean-Christophe Zufferey seperti dimuat CNN.
“Kami memulai penelitian di EPFL pada robot yang terispirasi biologi pada tahun 2001, mulai dari robot serangga yang bisa menghindar dari kemungkinan menubruk dinding atau tanah. Setelah sukses, kami melangkah maju dengan melakukan penelitian di luar ruangan.”
Lantas, hal itu mengawali pembuatan “flying wing” atau “sayap terbang” — satu dari 10 perangkat yang diterbangkan secara bersamaan — sebagai bagian dari proyek SMAVNET.
Sayap-sayap terbang itu dibuat dari busa plastik ringan bertenaga baterai lithium di motor belakangnya. Micro Air Vehicles (MAVs) — demikian ia dinamakan, diluncurkan seperti Frisbee. Lihat video demonstrasinya di sini.
Setelah mengudara, sistem autopilot akan mengontrol ketinggian, kecepatan, dan laju beloknya. Di saat yang sama MAVs menghindari tabrakan udara dengan berkomunikasi satu sama lain melalui sensor aliran optik.
Sensor yang dipasang di depan setiap MAV, memungkinkan untuk mendeteksi jarak antara obyek dan berubah arah jika mereka terlalu dekat satu sama lain. Inspirasinya berasal dari kerumunan semut yang berjalan beriringan dari sarang mereka ke sumber makanan. “Sensor mirip dengan yang ditemukan di sebuah mouse komputer – mereka benar-benar detektor optik bagus,” kata Zufferey.
Data final untuk proyek SMAVNET saat ini sedang dikumpulkan sebelum peneliti LIS memulai sebuah proyek tindak lanjut yang disebut “Swarmix”–Â yang akan mengeksplorasi bagaimana kawanan robot dapat digunakan untuk membantu penanganan di daerah bencana.
Idenya, kelompok MAVs yang diterbangkan bersamaan akan dilengkapi dengan modul nirkabel kecil untuk membentuk sebuah jaringan ad-hoc yang bisa digunakan tim penyelamat untuk berkomunikasi.
Robot terbang kecil memiliki keunggulan daripada perangkat jaringan di atas tanah. Setidaknya, medan pasca bencana yang sulit tak lagi jadi halangan. Alat ini juga tak tergantung sensor yang mahal atau peralatan lahar.
Namun, alat ini belum sempurna. Perlu sejumlah modifikasi. Masalah yang paling kentara adalah daya tahan – MAVs yang berukuran kecil hanya mampu bertahan di udara selama 30 sampai 60 menit. Energi surya sedang dipertimbangkan untuk memecahkan masalah ini.
Sebaliknya, ada keuntungan dari ukuran pesawat yang kecil — yang beratnya sekitar 420 gram, yakni tidak akan menyebabkan kerusakan jika menabrak sesuatu atau orang.
Tak hanya menyediakan jaringan komunikasi saat bencana, pesawat ini juga bisa digunakan dalam berbagai misi; foto udara, pemetaan 2D dan 3D, juga untuk pemantauan lingkungan.
Kapan produk ini bisa dipasarkan? Kata Zufferey, tunggu hingga dua sampai empat tahun mendatang.