Pahlawan Lautan yang Terancam Punah


Kima (Tridacna/ Giant Clam) adalah kerang terbesar (kerang raksasa) dari seluruh jenis kerang-kerangan. Ukuran besarnya dapat mencapai 1,5 meter dengan berat sekitar 250 kg. Fungsi Kima pada kehidupan ekosistim dilautan — yang pada akhirnya untuk kepentingan kehidupan di muka bumi — sangat luar biasa. Dengan sistim filter yang dimilikinya, maka setiap ekor Kima mampu membersihkan puluhan ton air laut setiap hari. Dari hasil pembersihannya tersebut kemudian menjadi penolong untuk pertumbuhan dan pewarnaan terumbu karang, ikan dan aneka biota laut lainnya. Selain itu, sel telur Kima yang jumlahnya jutaan ekor sekali bertelur, menjadi ‘’santapan lezat’’ bagi ikan, sehingga Kima juga diberi ‘’label’’ sebagai ‘’pabrik makanan gratis’’ di lautan.

Kelebihan lainnya, daging Kima dikenal berprotein tinggi, sehingga menjadi menu khusus dan mahal pada restoran terkenal di dunia. Warna daging Kima hidup pun sangat mempesona, sehingga menjadi buruan untuk menghuni aquarium pribadi para pesohor dan menjadi koleksi andalan pada wahana di jaringan usaha Underwater Seaworld.

Namun karena kelebihannya itu, Kima pun diburu dan diekploitasi berlebihan. Akibatnya, Kima diambang kepunahan, bahkan, disebagian besar negara berlaut hangat, beberapa species Kima, utamanya Tridacna Gigas dan Derasa, telah menghilang dari lautannya. Begitupun di Indonesia.

Adalah Konservasi Taman Laut Kima Toli-Toli (Toli-Toli Giant Clam Marine Park Conservation) di Kendari, Sulawesi Tenggara, yang mengusahakan penyelamatan Kima dari ancaman kepunahan melalui kegiatan konservasi. Kegiatan yang dilakukan dengan suka-rela plus dengan peralatan seadanya dan dana pribadi, oleh masyarakat setempat ini, telah menempatkan sedikitnya 750 ekor — tujuh — dari sembilan species Kima yang ada di dunia.  Dari catatan kami, konservasi  ini merupakan Konservasi Taman Laut Kima —di laut lepas –Pertama di Indonesia.

Eksploitasi berlebihan terhadap hasil laut, utamanya ikan untuk konsumsi, ikan hias, bebatuan laut; utamanya karang/batu hias, tumbuhan dasar laut dan terumbu karang, termasuk Kima / Giant Clam (Tridacna), sudah semakin mengkhawatirkan. Eksploitasi berlebihan ini bukan hanya dilakukan oleh nelayan, tetapi juga oleh pengusaha perikanan, untuk memenuhi kebutuhan pasar eksport.

Dengan kegiatan seperti diatas, — dimana kebutuhan pasar lebih besar dibanding volume produksi — maka kehancuran biota laut  telah di pelupuk mata. Terlebih dengan penggunaan potasium sianida dan bahan peledak untuk memperbanyak hasil tangkapan, telah  merusak, bahkan memusnahkan aneka biota laut, termasuk Kima.

Kima adalah biota laut yang merupakan kerang terbesar (kerang raksasa) dari seluruh jenis kerang-kerangan. Biota laut ini hidup dikawasan terumbu karang dan pasir di laut hangat, hingga kedalaman 20 meter. Dari data yang kami peroleh, besarnya Kima dapat mencapai ukuran 135-150 cm (Kima raksasa). Namun untuk mencapai ukuran tersebut, Kima memerlukan masa pertumbuhan hingga ratusan tahun.

Masa pertumbuhan Kima sangat lamban. Belum lagi, untuk dapat hidup, sejak dari sel telur hingga memiliki cangkang (Kima muda), Kima sangat rentan terhadap predator. Dari jutaan sel telur yang dihasilkan Kima dewasa, yang dapat hidup hingga memiliki cangkang hanya puluhan ekor saja. Sebagian besar sel telur tersebut menjadi santapan ikan. Dan setelah memiliki cangkang, Kima masih menjadi makanan empuk bagi kepiting, ikan karang dan gurita. Dengan perannya sebagai ‘’santapan’’ ini, maka Kima juga dikenal sebagai ‘’pabrik makanan gratis’’ di lautan.

Dari jenisnya di dunia, Kima memiliki sembilan species, yaitu Tridacna Gigas, T. Derasa, T. Squamosa, T. Maxima, T. Crocea, T. Tevoroa, T. Rosewate, Hippopus-Hippopus dan Hippopus Porcellanus. Species ini dibedakan berdasarkan cangkangnya; bersisik, lunak, tebal, tipis, besar  dan kecil.

Dari tebarannya, Kima hanya ditemukan di Samudera Hindia dan Pasifik Selatan (indo-pacific), namun tidak semua wilayah berlaut hangat tersebut memiliki Kima, atau telah hilang dari lautannya. Dari hasil penelusuran kami, di Asia, Kima hanya ditemukan di Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Korea, India, China bagian timur dan pantai utara Australia serta Papua New Ginie.

Thailand, Malaysia, Pilipina dan Australia adalah Negara yang paling konsentrasi dan berkelanjutan dalam menyelamatkan Kima. Di benua lain, ada Fiji, Solomon Island dan beberapa Negara lain. Indonesia tidak termasuk Negara yang memiliki kepedulian akan keselamatan Kima.

Thailand memiliki proyek khusus penyelamatan Kima di Koh Tao dan di Phuket. Proyek yang dipimpim langsung oleh Permaisuri Kerajaan Thailand, telah menempatkan sedikitnya 3.000 ekor Kima dengan ukuran maksimal 45 cm.

Pemerintah Autralia telah menempatkan paling sedikit 6.000 ekor Kima di Great Barrier Reef dan Pilipina menempatkan sedikitnya  20.000 ekor Kima di taman lautnya.. Malaysia pun memiliki proyek serupa di Semenajung Malaysia dan di Sabah. Sedang di Indonesia belum ada data yang mengarah pada adanya perhatian secara berkelanjutan terhadap biota laut ini, kecuali sebuah perusahaan swasta yang membudidayakan Kima untuk kepentingan bisnis di Bali. Fakultas Kelautan Unhas Makassar pernah melakukan penelitian bersama ADB, namun  kegiatan itu telah berakhir.

Dari sembilan species Kima yang ada di dunia, tujuh diantaranya dapat ditemukan di Indonesia, yaitu; Tridacna Gigas, T. Derasa, T. Squamosa, T. Maxima, T. Crocea, Hippopus-Hippopus dan Hippopus Pocellanus. Namun untuk Sumatra, Jawa dan sebagian Kalimantan, spesies Tridacna Gigas dan Derasa di duga telah punah.

Daging Kima dikenal memiliki protein yang tinggi, sehingga selain dikonsumsi oleh masyarakat, daging Kima juga menjadi salah satu komoditas ekspor ke berbagai Negara, utamanya Jepang, Hongkong, Taiwan dan Singapura, dan menjadi menu andalan di restoran tingkat dunia. Sedang cangkangnya, disamping dipergunakan untuk perhiasan, juga menjadi bahan baku untuk keramik.

Karena Kima hidup dapat mempertontonkan warna-warni yang meneduhkan pandangan mata, maka Kima pun banyak yang menghuni  akuarium pribadi para pesohor dan menjadi wahana andalah pada  jaringan usaha Underwater Seaworld. Dengan kegunaan tersebut, Kima pun  diburu dan diekploitasi berlebihan.

‘’Kini, Kima semakin jarang ditemukan’’ ujar Irwan Mustakin, salah seorang anggota tim konservasi taman laut Kima ini. ‘’Dari hasil survey dan penyelaman yang kami lakukan diberbagai pulau dan rab (puncak gunung laut-red) di kawasan utara timur laut Sultra dan Sulteng bagian barat, Kima hanya ditemukan pada dikedalaman 10 hingga 20 meter’’ papar Irwan. Yang lebih dangkal dari itu, yang kami temukan tinggal bangkai karena isinya telah diambil, jelasnya.

Jika tidak dilakukan konservasi dan rehabilitasi, plus pemberian pengarahan kepada masyarakat yang dipadu dengan penerapan sistem pengelolaan yang jelas, maka bukan hal yang mustahil, pada suatu masa, dimasa yang akan datang, negeri tercinta ini akan kehabisan Kima, ungkap Irwan. Lelaki setengah baya ini memang pernah bekerja dibeberapa perusahaan perikanan asing sebagai penyelam dan melakukan berbagai cara penangkapan ikan, termasuk dengan cara membom dan pembiusan, hingga keberbagai daerah, mulai dari Sulawesi, Maluku, Kalimantan hingga Nusa tenggara. ‘’Rab-rab di laut lepas sudah banyak yang rusak dan bebatuannya telah mati’’ tegasnya.

‘’Dan praktek seperti itu  masih berlangsung hingga saat ini’’ papar Jibran Bardin, anggota lain tim konservasi taman laut Kima  ini. Berbagai jenis Ikan, aneka biota laut, termasuk tumbuhan laut, karang/batu hias dan Kima masih tetap diekploitasi, dengan cara yang sama, jelasnya.

‘’Kalau begini terus, kami khawatir, generasi yang akan datang hanya akan belajar tentang biota laut, utamanya Kima, dari fosil belaka karena habitatnya telah dihancurkan’’ tutur Jibran.

Dengan keprihatinan ini, Irwan Mustakin dan Jibran Bardin,  bersama enam orang rekannya dari  Desa Nii Tanasa dan Toli-toli — secara suka rela dan dengan biaya sendiri, pun dengan fasilitas dan peralatan yang minim — melakukan konservasi aneka biota laut,  utamanya Kima. Mereka menyelam dan mengangkutnya, kemudian menempatkan dan menata serta memelihara secara alami pada kawasan Tubir (tebing laut) dan rab sepanjang enam kilometer, atau sekitar 30 ha di kawasan empat desa, yaitu: Desa Rapambinopaka, Nii Tanasa, Toli-Toli dan Wawobungi, dengan pusat konsentrasi pada lima Rab di Nii Tanasa – Toli-Toli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara.

Untuk menentukan lokasi konservasi, sejak Bulan Oktober 2009  mereka telah melakukan survey dan penyelaman — baik siang maupun malam — untuk mencari kawasan yang dahulunya menjadi habitat asli aneka biota laut, mulai dari tebing laut  Batu Gong hingga semenanjung Toronipa.

Dari survey tersebut, lokasi di Desa Nii-Tanasa dan Toli-Toli serta wilayah disekitarnya menjadi pilihan karena hanya daerah ini yang memiliki Rab dekat daratan (sekitar 10 menit dari bibir pantai) yang dahulunya menjadi habitat asli Kima. Selain itu, dkawasan ini masih memiliki bebatuan yang relatif masih terjaga dan masyarakatnya masih dapat diajak untuk turut berperan dalam menjaga dan melestarikan alam, khususnya laut.

Dari hasil penelitian yang mereka lakukan, ternyata, sebagian besar Kima, utamanya jenis Kima sisik, dapat hidup dengan baik pada terumbu karang yang sudah mati atau hancur, sehingga dengan kondisi ini, maka Kima tidak hanya dapat menjadi penyejuk mata karena aneka warna yang dipertontonkannya, tetapi sekaligus menjadi rehabilator bagi kawasan yang memiliki terumbu karang yang telah hancur, yang dengan sendirinya akan memperbaiki ekosistem dan mempercantik kondisi dasar laut. Pada tubuh Kima juga tumbuh terumbu karang — baik yang keras maupun yang lembut — pun bunga-bunga karang lainnya. Sehingga Kima dapat menjadi ‘’rumah’’ bagi ikan.

Terlebih, tambah Jibran, para ahli dari Konservasi Kima Koh Tao di Thailand, menyatakan bahwa Kima memiliki filter yang dapat menyaring kotoran air laut hingga menjadi bersih. ‘’Dari penjelasan mereka, setiap ekor Kima mampu memfilter berton-ton air laut perhari. Dan dari hasil pemfilteran itu kemudian menjadi penolong untuk pertumbuhan dan penjaga warna bagi karang, ikan dan biota laut lainnya’’ tuturnya. ‘’Mereka membuat proyek konservasi Kima untuk membersihkan lautan Thailand’’ jelasnya.

Dengan adanya konservasi ini, tambahnya, maka nantinya akan tercipta kawasan ekosistem biota laut  yang terpadu, dimana; Kima dan kerang-kerangan lainnya, tumbuhan laut, terumbu karang, aneka bintang laut, teripang, ikan hias, karang/batu hias dan lobster, berkembang biak secara alami didalamnya, dimana, dengan sendirinya, tempat ini akan menjadi laboratorium alam di bawah laut sebagai pusat konservasi dan rehabilitasi aneka biota laut, obyek wisata selam, sekaligus sebagai tempat pendidikan dan penelitian bagi para pelajar, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga Universitas.

Sebagai laboratorium alam bawah laut di laut lepas, maka secara ekonomi akan memberikan dampak  positif bagi masyarakat setempat, utamanya dalam mendorong peningkatan pendapatan — karena kedatangan para pelajar, peneliti dan wisatawan — akan berpengaruh baik pada perputaran ekonomi masyarakat secara makro.

‘’Dampak ini sekaligus menjadi bukti akan terciptanya kondisi saling mendukung antara alam dan kehidupan manusia, dimana akan  memberikan kesadaran betapa pentingnya menjaga dan memelihara alam, khususnya laut beserta biotanya, ungkap Jibran.

Langkah Strategis Penyelamatan.

Untuk menyelamatkan Kima dari kepunahan,  selain sistim hatchery (penangkaran di bak khusus) yang telah banyak dilakukan, cara yang paling tepat adalah dengan mengumpulkan, lalu mengelompokkan kembali Kima-Kima tersebut berdasarkan jenisnya di kawasan habitat asli Kima. Sehingga apa yang dilakukan oleh Irwan dan Jibran merupakan langkah tepat dan strategis. Sebab dengan mengumpulkan Kima-Kima tersebut, maka ketika terjadi pemijahan, maka Kima yang dapat selamat dari predator diharapkan akan lebih banyak, dibandingkan jika dibiarkan bertebaran dan melakukan pemijahan sendiri-sendiri. Selain itu, keselamatan Kima dari eksploitas manusia akan lebih terjamin.

Pengumpulan aneka species Kima, mulai dari ukuran 20 cm hingga Kima raksasa yang berukuran minimal 100 cm, serta aneka jenis biota laut lainnya  mereka lakukan dengan mengambil potensi alam tersebut dari berbagai rab di pulau-pulau, utamanya dari  kawasan kepulauan Menui, Labengki, Pulau Tiga, Pulau Dua, Salabangka dan Kepulauan Banggai. Daerah diatas berada di bagian timur Pulau Sulawesi dan merupakan daerah perbatasan sebelah utara barat laut Sulawesi Tenggara dan bagian barat daya Sulawesi Tengah. Jumlah Kima yang akan ditempatkan itu tidak ditentukan ‘’Hingga saat ini, Kima yang telah kami tempatkan sudah 750 ekor’’ jelas Jibran. Kima-kima itu terdiri atas tujuh spesis dari sembilan spesis yang ada di dunia’’ ungkapnya.

Lima ekor Kima pertama yang ditempatkan di lokasi konservasi  ini pada 1 Januari 2010, dengan ukuran panjang 30 hingga 60 cm bersama beberapa kerang lainnya, mereka angkut  dari Pasi Tangnga, sebuah rab raksasa di tengah samudera dikawasan Kepulauan Banggai pada Expedisi Pasi Tangnga Pertama yang mereka lakukan selama tujuh  hari, dari tanggal 26 Desember 2009 hingga 1 Januari 2010. Expedisi perdana dengan lima orang kru ini menempuh perjalanan laut selama 19 jam dengan kapal motor tradisional bertonasi tiga ton. Kapal motor inilah yang menjadi kendaraan operasional mereka hingga saat ini.

Expedisi pengumpulan Kima dan survey selanjutnya mereka lakukan ke kawasan  kepulauan Menui, rab Pulau Tiga,   ke kawasan  rab di Pulau Labengki, ke Rab (Passi Kima) di kawasan Pulau Dua Darat, dan selanjutnya, setiap minggu, antara empat hingga lima hari, mereka melakukan survey, penyelaman dan pengangkutan Kima.

‘’Dari sekian banyak expedisi penyelaman dan pengangkutan Kima dan aneka biota laut lainnya, kami semakin yakin bahwa target kami untuk menjadikan taman laut ini sebagai Pusat Konservasi dan Rahabilitas Kima dan aneka spesis biota laut, sebagai tempat Pendidikan, Penelitian dan Obyek Wisata Selam, dapat tercapai’’ papar Irwan.***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *