Menakar Janji Perubahan Capres dari Pilihan Cawapresnya


Tak lama setelah mencalonkan diri sebagai capres, Obama yang menjanjikan perubahan memilih Joe Biden (kelahiran 1942, kini 72 tahun). Banyak orang bertanya, mengapa Obama (kelahiran 1961) tak memilih cawapresnya yang lebih muda? Bukankah Joe Biden jauh lebih tua dari Obama?

Dalam suatu kesempatan, Obama menyampaikan bahwa yang ia usung bukanlah perubahan kecil-kecilan, melainkan “a fundamental change” yang membutuhkan negosiator berpengalaman. Lagi pula, orang sekarang relatif panjang umur dan sehat. Bahkan di banyak kampus di Amerika Serikat, usia pensiun guru besar sudah ditiadakan.

Pilihan pada Biden ternyata tepat. Satu per satu perlawanan yang dilakukan lawan-lawannya dari Partai Republik yang tak senang melihat prestasi Partai Demokrat berhasil ia patahkan secara sistematis, meski ia harus menghadapi pemblokiran anggaran yang memaksa kantor-kantor pemerintah tutup beberapa minggu. Cibiran juga tak kunjung habis, tetapi karya perubahan Obama berjalan terus.

Bagaimana Indonesia? Siapakah cawapres yang paling mampu menerjemahkan visi perubahan para capres yang sebentar lagi akan kita pilih? Akankah para capres masih memikirkan  janji-janji perubahan melalui pilihan terhadap calon wakilnya? Atau kembali pada janji-janji kosong sekadar bagi-bagi kekuasaan, memilih wakil yang lemah agar duduk manis di kursi jabatannya?

Perubahan butuh “booster

Sejatinya, perubahan itu masih sangat dibutuhkan agar negeri ini mampu memenuhi janji konstitusi menjadikan Indonesia adil dan makmur. Sejatinya pula, ia penuh tantangan, kesulitan, hambatan, dan perlawanan.

Saat konversi minyak tanah terhadap elpiji dilakukan misalnya, Anda lihat sendiri, rakyat marah luar biasa. Dan itu di-entertainhabis-habisan oleh media massa dan para politisi. Demikian pula saat warga yang tinggal di area Waduk Pluit akan digusur, luar biasa tantangannya. Itu baru perubahan kecil. Padahal, saat ini kita punya masalah lain yang jauh lebih besar.

Lebih dari 15,7 juta rumah tangga Indonesia saat ini belum memiliki rumah layak. Kendati kewirausahaan terus didengungkan, jangan lupa usaha yang tumbuh dominan sepuluh tahun terakhir ini adalah sektor informal yang jumlahnya melebihi 55 juta.

Di sisi lain, perekonomian kita masih sangat mengandalkan bahan mentah yang nilai tambahnya rendah dan harganya merosot terus. Infrastruktur, kendati mulai bergerak, masih kurang cepat. Rasa was-was masih menghantui pengusaha nasional menghadapi pasar bersama ASEAN tahun depan. Indonesia juga tengah menghadapi tekanan dari melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok.

Lebih dari itu, birokrasi kita masih membutuhkan reformasi yang berotot untuk menegakkan pelayanan, pariwisata belum mampu mengimbangi dominasi Malaysia dan Thailand yang begitu digemari di pasar dunia. Dan tentu saja, korupsi di kalangan elite dan politik tak kunjung habis, melainkan tambah terus.

Belum lagi masalah ketidakadilan, kualitas pendidikan yang belum mampu menghasilkan lulusan  yang siap pakai, dan masalah subsidi yang tidak tepat sasaran tetapi menghanyutkan.

Singkatnya, Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah yang membutuhkan perubahan besar-besaran. Saya katakan perubahan, karena uangnya ada, pasarnya kuat, SDM-nya berlimpah, tetapi hambatannya justru ada di dalam pemerintahan dan politik itu sendiri.

Saling mengunci, takut mengambil keputusan, saling memanfaatkan, dan mencari keuntungan, serta lemahnya koordinasi membuat bangsa ini terikat benang kusut yang dibuatnya sendiri.

Indonesia butuh pemimpin-pemimpin yang benar-benar mampu membawa negeri ini keluar dari perangkap-perangkap kenyamanannya yang bisa berakibat fatal. Pemimpin itu bukanlah sekadar pemberi janji kosong, namun benar-benar bekerja secara sistematis, bertahap, terukur, dan berani menghadapi serangan-serangan politik yang diembuskan lawan-lawannya. Dan lawan-lawan itu ada di antara para elite politik itu sendiri.

Maka dari itu, siapa yang dipilih para capres menjadi calon wakilnya dapat menjadi acuan bagi kita, apakah mereka benar-benar akan melaksanakan janji perubahan atau kembali kepada pola-pola lama: bagi-bagi kekuasaan.

Mereka yang membagi-bagi kekuasaan akan menempatkan pimpinan partai sebagai imbalan koalisi. Sedangkan yang memilih figur perubahan sudah pasti akan menempatkan seorang “booster” yang akan meningkatkan kualitas leadershipmenghadapi era baru yang dicatat Laura Stock (Execution is the Strategy, 2013) sebagai era yang penuh gejolak dan saling berketergantungan, menuntut kecepatan dan kegesitan, dengan validitas informasi.

Seorang yang menjalankan peran booster haruslah sosok yang berani tidak popular seperti yang dijalankan tokoh-tokoh seperti Jusuf Kalla pada era pemerintahan SBY. Penuh ketulusan kendati akan kehilangan jabatan. Namun, ia juga bekerja sistematis dan mampu menjadi negosiator yang mematikan langkah penentang.

Artinya, ia bukan sekadar melakukan perubahan, melainkan me-manage perubahan dengan hasil yang terukur. Booster seperti itu tak perlu dikhawatirkan pemimpin yang kuat karena ia bekerja untuk memperkuat gelombang perubahan, bukan untuk popularitas.

Tidaklah mengherankan kalau hasil-hasil survei belakangan ini menunjukkan rakyat rindu kehadiran tokoh segesit Jusuf Kalla. Tokoh seperti ini, sayangnya, tak punya daya tawar politik yang kuat sehingga dipandang sebelah mata oleh para elite partai. Tetapi, rakyat tak pernah melupakannya. Putus di politik, mereka segera dipakai badan-badan kemanusiaan, keagamaan, dan sosial. Artinya, mereka memang tak pernah tidur memikirkan dan berbuat untuk bangsa.

Kita tidak lupa, JK gigih mendamaikan bumi Aceh dan tanah Ambon, memimpin konversi minyak tanah ke LPG, mendorong pembangunan rumah-rumah susun sederhana untuk rakyat, dan membangun martabat bangsa di hadapan di depan mata Joe Biden, atau gertakannya yang membawa Perdana Menteri Malaysia memlilih cara berunding.

Bangsa ini rindu perubahan dalam arti yang sebenarnya. Pemimpin seperti itulah yang perlu dicari para capres untuk menunaikan janji perubahan yang hampir setiap hari kita dengar di televisi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *