Saya mesti merubah total tulisan saya kali ini setelah mendengar berita meninggalnya Nelson
Mandela. Melalui perjuangannya sebelum, semasa dan sesudah menjadi Presiden Afrika Selatan,
beliau tidak saja menjadi pahlawan negara tersebut, namun juga berhasil menjadi tokoh dunia yang
menginspirasi gerakan perjuangan persamaan hak dan penyelesaian konflik dengan damai. Jadi saya
mesti menulis tentang dirinya sebagai penghormatan saya terhadap kebesaran aksinya.
Totalitas perjuangan Mandela di sepanjang hidupnya tidak saja terbatas pada penentangannya
terhadap kebijaksanaan apartheid yang menyebabkan dirinya dipenjara selama 27 tahun. Beliau juga
memperjuangkan transisi pemerintahan dan rekonsiliasi bangsa yang damai sehingga Afrika Selatan
tidak terjerumus pada perang saudara berkepanjangan dan kehancuran struktur ekonomi dan hukum
negara. Beliau tidak saja menyelamatkan negaranya, namun juga mampu mengangkat harkat dan martabat
bangsanya sehingga bisa menjadi teladan bagi negara lain. Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan (Afsel)
merupakan salah satu bukti konkretnya.
Gambaran perjuangan (terutama) kaum kulit hitam dalam menentang rezim apartheid di Afsel
masih terekam jelas bagi kita yang telah dewasa di awal tahun 90an. Pria, wanita dan anak-anak kulit
hitam turun ke jalan berdemonstrasi mengangkat suara menentang paham diskriminasi warna kulit disana.
Tidak jarang demonstrasi ini kemudian berujung pada semprotan air, serudukan mobil lapis baja dan
tembakan para polisi ke arah demonstran ini. Tidak sedikit yang jatuh jadi korban peristiwa-peristiwa ini.
Berunjuk-rasa akan memiliki keefektifan yang tinggi apabila aksi tersebut memiliki tujuan dan
sasaran yang jelas. Dalam kasus rezim apartheid di Afsel, tujuannya adalah menghapuskan apartheid di
bumi selatan Afrika dan sasarannya adalah pemerintahan apartheid yang saat itu bermarkas di Pretoria.
Demonstrasi yang dilakukan di bawah kepemimpinan Mandela berhasil memberikan tekanan kepada
pemerintah apartheid karena, salah satunya, mampu mengambil simpati negara-negara lain yang
kemudian mengucilkan pemerintahan tersebut.
Baru-baru ini para dokter di Indonesia melakukan unjuk rasa untuk mengeluarkan suara ketidak-
setujuan mereka terhadap kriminalisasi dokter. Aksi ini dipicu dari kasus seorang dokter kandungan dan
persalinan dimana pasiennya meninggal saat sedang ditanganinya dalam kondisi darurat. Mahkamah
Agung (MA) menjatuhkan hukuman pidana kepada sang dokter karena dianggap lalai sehingga
menyebabkan pasiennya kehilangan nyawa.
Keputusan MA ini dianggap membahayakan profesi kedokteran di Indonesia. Para dokter merasa
bahwa kematian sang pasien bukanlah hasil dari tindakan kriminal sang dokter. Oleh karena itu
dijatuhkannya hukuman pidana bagi dokter tersebut merupakan hal yang salah dan akan menyebabkan
para dokter enggan untuk mengambil tindakan-tindakan medis apabila dinilainya pasien tersebut lebih
mungkin tidak dapat disembuhkan. Para dokter merasa bahwa sumpah profesi mereka dibenturkan
dengan payung hukum yang (masih) semrawut di Indonesia.
Jadi para dokter ini atas dasar solidaritas sesama dokter melakukan aksi mogok kerja selama
sehari. Selama masa itu mereka tidak memberikan pelayanan kesehatan untuk menunjukkan bagaimana
repotnya masyarakat Indonesia tanpa ada pelayanan dokter. Menurut pandangan pribadi saya, aksi ini
seakan-akan mengeluarkan suara, “meng-kriminalisasi kami akan berujung pada kesengsaraan seluruh
rakyat Indonesia”.
Melihat pengalaman perjuangan Nelson Mandela, saya pribadi kurang setuju dengan aksi para
dokter tersebut dalam mengaspirasikan suara mereka. Tujuan dan sasaran mereka saya lihat tidak jelas,
jadi saya sangsi aksi yang para dokter lakukan ini akan memiliki dampak apa pun terhadap perubahan
kondisi perlindungan hukum bagi profesi mereka.
Tujuan unjuk rasa para dokter ini harusnya adalah merombak undang-undang pelayanan
kesehatan di Indonesia dimana profesi dokter memiliki payung hukum yang jelas. Berdasarkan tujuan ini
maka seharusnya aksi unjuk rasa para dokter ini bukannya berhenti melayani masyarakat secara
menyeluruh. Rakyat awam tidak tahu menahu masalah payung hukum profesi kedokteran ini. Mereka
[Type text]
hanya tahu kalau mereka sakit mereka harus pergi ke dokter.
Sasaran aksi unjuk rasa para dokter ini harusnya adalah DPR dan instansi pemerintah terkait.
Karena hanya melalui merekalah, terutama para anggota DPR sebagai badan legislasi, undang-undang
pelayanan kesehatan di Indonesia yang lebih baik dan lebih sempurna bisa dihasilkan. Rakyat jelata telah
mewakilkan suara mereka kepada para anggota DPR ini untuk mewujudkannya.
Apabila para dokter memang benar-benar memiliki solidaritas yang tinggi diantara mereka, saya
mengusulkan satu cara untuk memberikan tekanan kepada DPR dan instansi pemerintah terkait untuk
segera merombak undang-undang yang ada dan menghindarkan kasus yang sama terulang lagi. Yaitu,
para dokter di Indonesia tidak memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk apa pun kepada para
anggota DPR, pejabat pemerintah terkait dan keluarga mereka hingga DPR meloloskan undang-undang
baru yang melindungi profesi kedokteran.
Dengan cara tersebut maka sasaran unjuk rasa para dokter akan sangat jelas dan tekanan yang
diberikan pun akan jauh lebih terasa. Jangan berunjuk rasa dengan tidak melayani masyarakat awam yang
tidak tahu apa-apa. Kebanyakan dari mereka sudah hidup dalam kondisi sulit, jangan dipersulit lagi
kehidupan mereka dengan meniadakan akses pada pelayanan kesehatan. Bukankah salah satu butir
sumpah dokter berbunyi “sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan ke-dokteran
saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan”?
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari sosok Nelson Mandela. Salah satunya adalah cara
berjuang yang efektif untuk mencapai tujuan tanpa harus mengorbankan bangsa dan negara. Saya harap
para dokter Indonesia bisa mencapai tujuan perjuangannya in Mandela’s way. Selamat beristirahat
Madiba, thank you for inspiring us! (RO – Twitter: @iamwongkampung)