Kursi Kosong yang Selalu Ada (3)


Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.

Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka “dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia.   Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.  Berikut tulisan ketiga dari enam tulisan yang disajikan disini.

Achnesia Felina Manganang, 43 tahun, anak keempat dari enam bersaudara pasangan Mario Ribeiro dan Victoria Vilena Ribeiro, pada 1977, dalam usia enam tahun, dibawa pergi dari kampungnya Los Palos, Timor Timur. Ia dibawa kopral Alex Manganang, tentara Indonesia dari kesatuan Batalion Artileri Medan 12 ke Ngawi, Jawa Timur.

Anis, begitu Achnesia disapa, mengaku cukup beruntung jika dibandingkan dengan anak Timor Timur lainnya yang dibawa ke Indonesia. “Itu karena saya tidak diculik ketika harus meninggalkan keluarga,” ujar Anis, yang kini tengah dalam masa pemulihan dari kanker payudara saat ditemui Tempo di apartemennya di kawasan Botnang, Stuttgart, Jerman, pertengahan bulan lalu. (Baca: Kisah Mengindonesikan Paksa Anak Timor Leste (1)

Dia mengatakan ibunya yang memperkenalkannya kepada Alex. Alex ingin mengangkat Anis sebagai anak karena istrinya tidak lagi bisa hamil. “Pak Alex baik hatinya. Setiap akhir pekan saya diajak ke barak, lalu kami jalan-jalan, mengobrol, dan dibelikan permen,” ujar Anis.

Saat berangkat ke Indonesia, Anis mengaku tak terlalu sedih. Dia melihat banyak anak seusianya di kapal terus-menerus menangis. Di Ngawi, nama Anis ditambah marga Alex. Nama panggilan Anis di Los Palos, yakni Ranceneno, tak lagi dipakai. Alex pernah mengirimkan foto Anis bersama keluarga barunya ke keluarga di Los Palos. Setelah itu orang tua angkat dan orang tua aslinya tak berkabar-kabaran lagi. “Itu mungkin yang pertama dan terakhir,” ujarnya.

Alex, yang berasal dari Sangihe-Talaud, selalu memberi hadiah ulang tahun atau membawa ikan sarden kalengan bekal tentara favorit Anis sejak di Timor Timur. Alex membiayai sekolahnya hingga lulus SMA. Ibu angkatnya pun membiayai kuliahnya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah, dengan menjual tanah warisan. Anis masuk jurusan teologi karena mempunyai idola pendeta.

Anis tidak ingat lagi nama kedua orang tuanya. Yang ia ingat hanya nama kakak sulungnya, Juviano dos Santos Ribeiro. Sang kakak itulah yang kemudian mencari keberadaan Anis. Sang kakak bekerja sebagai sekretaris Gubernur Mario Viegas Carrascalao pada 1990. Dengan koneksinya, dia mencari keberadaan Alex Manganang. Upayanya berhasil, tapi Alex meminta pertemuan ditunda sampai ujian SMA Anis selesai. Tapi, setelah itu, kembali putus kontak. Teman kampus Anis, Goerge, ternyata kenal dengan Juvianio. Dari situlah reuni kakak-adik itu bermula.

Akhirnya, Juviano datang ke Salatiga menemui Anis. Sore itu, Anis tampak bingung karena ia tak punya gambaran wajah sang kakak. Tiba-tiba, salah satu dari delapan tamu yang ada di depannya mendatangi dan langsung memeluk Anis.“Saya yakin itu kakak saya. Dia berkata saya mirip dengan kakak perempuan saya,” ujarnya. “Bahagia, bingung, kaget campur aduk. Punya kakak lagi setelah 16 tahun,” ujar Ketua Persatuan Kristen Indonesia (Perki) di Stuttgart ini. Kini Juviano telah menjadi konsuler pers, sosial, dan budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia Berlin, Jerman.

Pertemuan itu berlanjut dengan pertemuan keluarga besar. Pada 1993 mereka pergi ke Timor Leste. Mereka terbang ke Dili, tiba malam hari dan  meneruskan perjalanan lima jam naik bus ke Los Palos. Awalnya, mereka  ingin datang secara diam-diam, tapi kabar sudah telanjur menyebar. Setiba di Los Palos, keluarga sudah menunggu. Mereka bahkan menghadang bus yang membawa Anis. Begitu turun dari bus, semua berebutan memegang Anis. “Saya dipeluk dan dibopong sampai ke rumah. Bapak saya menjemput, tetapi ibu saya tidak,” ujarnya.

 

Saat Anis masuk ke rumah, ibunya hanya terpana, duduk tanpa bisa bicara apa-apa. Air matanya berlinangan. “Ketika saya duduk di sebelahnya, jari-jari saya dirabanya satu per satu.” (Baca: Identitas Ribuan Anak Timor Leste Diganti (2))

 

Ibu kandungnya bercerita, selama Anis belum ditemukan, dia selalu mengosongkan satu kursi dalam acara-acara keluarga. Kursi itu menyimbolkan harapan kelak Anis akan menduduki kursi itu. Mereka optimistis Anis bisa berkumpul lagi dengan keluarga besarnya.

Dian Yuliastuti | Purwani Diyah Prabandari (Jakarta) | Sri Pudyastuti Baumeister (Stuttgart)

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Kursi Kosong yang Selalu Ada (3)

  1. james
    March 19, 2014 at 11:38 pm

    hanya segelintir,sebagian kecil Orang Timor Leste yang masih beruntung diangkat sebagai anak, kebanyakan yang lainnya Tidak Seberuntung Anis malah kesengsaraan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *