Kerusuhan massal di Vietnam baru baru ini banyak disorot di
mass media, baik di layar tv newsreel, maupun di media cetak. Bagi
Singapura, yang menjadi titik prihatin adalah kabar mengenai
pembakaran bendera nasional Singapura oleh sekumpulan
demonstrans terjadi di satu dari dua industrial park yang dikelola oleh
Sembcorp Industries milik Singapura. Pembakaran bendera terjadi
Selasa 13 Mei 2014. Para demonstrans juga telah membakar tiga
pabbrik yang terdapat dalam dua industrial park tersebut,
mengakibatkan kematian dan luka luka parah. Angka kematian pada
waktu pemberitaan, belum sempat dikonformasikan.
Kejadian ini sempat mengejutkan bagi Singapura yang selama ini
selalu menganjurkan agar ASEAN mengambil status neutral dalam
melihat perkembangan tensi di kawasan perairan South China Sea
melibatkan Tiongkok, Jepang, Vietnam dan Filipina. Dengan harapan
terjadinya solusi damai. tidak berlanjut kearah kekerasan militer.
Singapura telah menyatakan protest keras kepada Vietnam atas insiden
pembakaran bendera nasional Singapura.
Ujung pangkal kerusuhan bermula dari konflik berpanjangan di
perairan South China Sea yang memperdebatkan hak daulat masing
masing negara berbatasan dengannya. Akhir akhir ini AS mulai
melibatkan pengaruhnya di kawasan South China Sea melalui rekan
rekan negara di kawasan. AS tidak merasa nyaman dengan
perkembangan pesat ekonomi Tiongkok, merasa terancam dengan
perkembangan Tiongkok di dunia global.
Situasi menjadi panas. Incident meletus ketika Tiongkok menjelar
oil rig kapal pengeruk minyak di kawasan perairan konflik pada tanggal
1 Mei 2014. Vietnam protest, menuntut Tiongkok menarik kembali oil rig
dan menanggapi aksi tersebut dengan mengirim kapal AL Vietnam ke
kawasan konflik. Tiongkok menolak. Suasana tambah memanas. Diikuti
dengan kerusuhan massal merusak, membakar dan menjarah harta
benda milik masyarakat Tionghoa yang sudah banyak generasi
bermukim di Vietnam. Kerusuhan terjadi di propinsi Ha Tinh di
pertengahan kawasan Vietnam. Ratusan buruh Vietnam menyerbu
pabrik Formosa Plastics Group steel plant, menyerang buruh Tiongkok
yang dikontrakan bekerja di pabrik itu. Berita ini disiarkan oleh pimpinan
pabrik milik perusahaan Taiwan tersebut yang menjadi sasaran
kerusuhan berat. Menurut seorang dokter yang bertugas hari itu, lima
buruh Vietnam dan enam belas buruh Tiongkok tercatat meninggal di
Rumah Sakit Ha Tinh akibat dari kerusuhan yang terjadi. Ternyata
penyerangan tersebut juga mendapat perlawanan dari pihak buruh
pabrik. Mereka memberikan perlawanan sengit, tidak langsung
menyerah, sekalipun jumlah angka tidak setimpal.
Dua hari setelah terjadi kerusuhan, Deputy Police Chief Bui Dinh
Quang dari propinsi Ha Tinh mengeluarkan pernyataan situasi telah
meredah dan dapat dikontrol. Sementara pejabat tinggi Vietnam Bui
Quang Vinh, Minister for Planning & Investment menyalahkan kaum
extremist, menuduh mereka menghasut dan mempelopori terjadinya
kerusuhan. Namun tidak menyebut nama perkumpulan atau interest
group yang membelakangi terjadinya kerusuhan. Menurutnya, dalam
seminggu, empat ratus pabrik telah mengalami kerusakan berat selama
terjadinya kerusuhan, dan aksi protest telah berembet hingga dua puluh
dua propinsi lainnya. Penguasa telah menahan lebih dari empat ratus
orang dianggap berkaitan dengan terjadinya kerusuhan.
Dari kejadian kejadian tersebut diatas, kita dihadapi dengan satu
realitas; dalam satu kerusuhan massal, umumnya di Asia Tenggara,
terlebih pula di kawasan nusantara, dimana terdapat banyak komunitas
Tionghoa, baik yang sudah menjadi warganegara setempat, maupun
yang masih berwarganegara Tiongkok, mereka selalu menjadi mangsa
kekerasan, termasuk penjarahan dan pembunuhan massal. Kenyataan
ini dapat diikuti dalam banyak catatan sejarah, termasuk buku
Tionghoa Dalam Pusaran Politik tulisan Benny G. Setiono. Dalam
buku setebal seribu halaman itu, dipaparkan kejadian kerusuhan massal
di Nusantara baik yang disengajakan oleh penguasa colonial atau yang
disulut oleh warga setempat, mulai dari abad ke XVI hingga awaL abad
XX dan masa Order Baru. Agaknya, inilah yang selalu menjadi buah
pikiran Benny; bagaimana mengelahkan, sedikitnya mengurangi
geseran yang terdapat dalam masyarakat antara etnis Tionghoa dan
etnis mainstream lainnya. Menurutnya, ini berupa maksud dan tujuan
utama perjoangan INTI, yakni menghilangkan kesenjangan antara
keduanya, terutama kesenjangan ekonomi dan pendidikan, melalui
berbagai aktivitas sosial.
Ada satu gejala yang tidak selalu dikemukakan di mass media.
Dalam keadaan hiruk pikuk terjadinya kerusuhan massal, yang diserang
tidak hanya bangsa Indonesia keturunan Tionghoa. Mereka tidak
membedakan apakah yang diserang itu warga Taiwan, warga
Singapura atau warga Malaysia. Dalam keadaan sengit semua yang
berparas ciri Tionghoa diserang tanpa sebelumnya menanyakan identity
yang diserang. Gejala ini sangat signifikan. Dalam keadaan darurat,
semua dianggap sama, semua menjadi sasaran kekerasan dan
pembunuhan. Semua dibacok, disembelih. Sedangkan dalam
masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa sendiri, masih gemar
membeda bedakan antara orang Peranakan dan orang Totok. Masih
mencari cari ketidak samaan; yang Peranakan tidak bisa bertutur dalam
Bahasa Tionghoa hanya dapat berbahasa Indonesia atau Jawa, yang
Totok lebih cenderung bisnis, tidak memperdulikan kesejahteraan rakyat
jelata. Kelainan ciri ini dijadikan tembok Berlin yang memecah belah
keduanya. Alangkah myopic pandangan ini! Kelainan akan selalu
terdapat, sama sekali tidak mengherankan, dalam sebuah keluarga
sekalipun sering terjadi, tapi yang perlu diterapkan adalah kepentingan
bersama. Mencari kebersamaan diantara keberlainan demi persatuan
hidup dalam keluarga besar nasion Indonesia. Disitu lah letaknya the
big picture.