19-26 Februari 2011
Kembali ke Dili setelah sekian tahun, membuka kembali kenangan saya. Pertama ke Dili adalah saat Ali Alatas (saat itu Menteri Luar Negeri era Presiden Habibie) mengumumkan bahwa rakyat Timor-Timur (saat itu) boleh menyelenggarakan referendum.
Saat itu saya datang sebagai konsultan pertanian bersama dengan seorang Norwegia dan seorang lagi dari Kupang. Kunjungan kedua adalah kira-kira enam bulan setelah pelaksanaan referendum. Baiklah saya ceritakan dulu pengalaman dua kunjungan sebelumnya, baru aku bagikan pengamatanku tentang Timor Leste dari kunjungan yang sekarang ini. Cerita tentang perjalananku yang terdahulu akan membantu memudahkan anda untuk mencerna pengamatan saya tentang Timor Leste saat ini.
Saya berangkat dari Jakarta dan transit di Denpasar pada tanggal 25 Januari 1999. Saat itu media masa sudah diwarnai dengan berita-berita tentang Timor Timur. Dari Denpasar saya menumpang Merpati. Sampai di Bandara Komoro, kami dijemput untuk langsung dibawa ke Hotel Turismo. Hotel Turismo terletak di tepi pantai. Bangunannya tua, bercat hijau dengan dinding berwarna putih.
Saat check-in di Turismo tersebut saya bertemu dengan seorang wartawan (kalau tidak salah bernama Nasir). Dia bertanya kepada saya karena saya memegang Lorong Midaq tulisan Naguib Mahfouz. Suka Najib ya? Demikian dia bertanya kepadaku. Selanjutnya kami bertukar kata. Nasir bilang dia sedang meliput perkembangan Timor Timur. Dan saya bilang saya sedang membantu salah satu donor untuk merumuskan program pertanian dan peternakan.
Tanggal 26 Januari saya habiskan waktu dengan rapat dan kunjungan ke desa-desa sekitar Dili. Kami kearah barat menuju Liquica dan naik kearah selatan menuju Ailiu, meski tidak sampai ke Kota Ailiu. Kesan saya dari diskusi dan kunjungan lapangan, tak banyak yang bisa dikembangkan.
Lembaga yang menerima saya meminta supaya bantuan donor tersebut diberikan dalam bentuk sapi dan traktor besar. Saya bilang: “tunjukkan tempat dimana tempat yang bisa dipakai untuk menanam pakan sehingga kalian bisa memelihara sapi tersebut. Tunjukkan juga lahan datar yang memungkinkan traktor besar tersebut digunakan.”
Mereka diam, karena memang sekitar Dili adalah perbukitan kering saja. Sore harinya saya coba untuk kontak tilpon dengan Jakarta untuk memberi update kepada donor yang mengirim saya. Tapi sayang sekali jaringan tilpon berdenging, sehingga kontak tilpon tersebut gagal.
Tanggal 27 Januari 1999 pagi. Saya baru saja selesai diskusi dengan dua teman konsultan membahas usulan lembaga yang minta sapi dan traktor besar. Di loby hotel TVRI sedang menyiarkan berita. Muncul Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang mengumumkan bahwa Timor Timur boleh menyelenggarakan referendum.
Suasana hotel biasa-biasa saja. Karena jam sudah menunjukkan 11.30 saya keluar mencari makan siang. Di depan hotel saya dapatkan taksi berwarna biru. Saya tanya kepada sopir taksi, dimana bisa mendapatkan ikan bakar. Dia membawa saya kearah kota. Kota tampak lengang. Namun, tiba-tiba di depan Hotel Mahkota taksi saya bertabrakan dengan mobil lain. Saat itu saya tidak sadar sedang terjadi perang antara pro integrasi yang berada di dalam hotel, dengan pro kemerdekaan yang berada di pantai.
Taksi saya terhenti di perempatan, sementara batu, panah, tombak dan peluru berseliweran di atasnya. Saya langsung tiarap di lantai taksi. Kami terjebak kira-kira 15 menit, setelah akhirnya bisa lolos. Saya memutuskan untuk kembali ke hotel saja dan batal mencari makan siang.
Tanggal 28 Januari 1999, saya dijemput oleh orang lembaga. Hari masih pagi. Jam 6.30 waktu Dili. Kali ini pimpinan lembaga yang menyetir mobil 4WD. Ada dua mobil yang datang menjemput kami di hotel. “Kita akan ke Maliana”, demikian pimpinan lembaga tersebut menjelaskan arah perjalanan kami. Kami memanjat bukit, melewati Ailiu dan menuju ke Maliana.
Kami berhenti di Kota Maliana. Kami makan siang di rumah makan Blitar, di samping Kantor Bupati. Di Maliana kami menemukan lokasi datar yang sangat luas dan sangat subur. Kini tahulah saya mengapa mereka meminta sapi dan traktor besar. Akhirnya kami menyepakati bahwa bantuan akan diberikan dalam bentuk pembangunan irigasi di wilayah tersebut, selain memberikan sapi dan traktor.
Awal Maret 2000 saya sedang berada di Atambua. Saya sedang mendiskusikan program pertanian dengan yayasan dibawah Keuskuban Atambua, saat tiba-tiba ada permintaan untuk melihat proyek irigasi di Maliana. Kami masuk ke Timor Lorosae (saat itu nama ini lebih dikenal) melalui Bobonaro dengan menggunakan mobil.
Sepanjang perjalanan sepi. Banyak bangunan dan rumah penduduk yang rusak. Ketika sampai di Kota Maliana, saya hampir menangis. Sebab kantor bupati yang dulu megah berdiri, kini rata dengan tanah. Bekas kebakaran masih ada disana. Restoran Blitar sudah tak ada lagi. Hanya anjing kurus yang memandangi mobil kami yang lewat dari tempat yang dulunya adalah Restoran Blitar. Saya sedikit terhibur karena irigasi di Maliana masih berfungsi dengan baik.
Kini, saya kembali ke Dili. Nama bandara tak lagi Komoro, melainkan menjadi Bandara Internasional Nicolao Lobato. Banyak pesawat dan helikopter bertanda UN (United Nation) di landasan. Polisi yang menjaga bandara pun masih polisi UN. Ada yang dari Turki, India, Singapore dan China.
Restoran China yang terletak di bandara (dulu saat saya pulang dari Dili dalam perjalanan pertama, saya makan di restoran ini dan membeli kaos-kaos kecil untuk anak saya) tidak ada lagi. Jika pada dua perjalanan sebelumnya tak diperlukan visa, kini saya harus apply Visa on arrival. Bayar USD 30.
Pantai Dili kelihatan lebih rapi. Warung-warung ikan bakar Makkasar tak terlihat lagi di tepi pantai. Di seberang jalan, menghadap panti kini dipenuhi dengan bangunan-bangunan kedutaan berbagai negara. Hotel Mahkota telah berganti nama menjadi Hotel Timor. Sementara Kantor Gubernur menjadi Istana Presiden, dimana bagian belakang menjadi Gedung Parlemen.
Tulisan-tulisan petunjuk tak lagi memakai Bahasa Indonesia, melainkan dalam Bahasa Portugis, Tetun dan Inggris. Namun toko-toko masih mempertahankan Bahasa Indonesia untuk menjelaskan apa yang dijual di dalamnya. Nah tentang bahasa ini ada yang menarik. Anak-anak berumur di bawah 15 tahun hampir semua tak bisa berbahasa Indonesia. Sebab di sekolah mereka belajar dengan Bahasa Portugis.
Para perempuan yang berumur di atas 15 tahun kemampuan Bahasa Indonesianya sudah sangat berkurang, sementara lelakinya masih fasih. Saya bertemu dengan seorang guru di Liquisa. Dia bilang bahwa pendidikan di Prima Escola (sekolah dasar) tidak bisa maksimal sebab semua buku ditulis dalam Bahasa Porto, sementara 90% lebih gurunya tidak bisa berbahasa Porto.
Di Dili, restoran dan rumah makan Indonesia masih dengan mudah bisa didapatkan. Tentu saja restoran dan hotel bernuansa Amerika Latin mendominasi. Jadi anda bisa mendapatkan bakso, soto, gado-gado atau sop konro dengan mudah.
Warung-warung atau dalam istilah lokal lebih sering disebut kios masih mendominasi sektor informal, baik di Kota Dili maupun di luar Dili. Kios tersebut menjajakan kebutuhan sehari-hari. Hampir semua kios, di Dili maupun di luar Dili selalu menjual Sopi (alkohol dari nira) yang diwadahi dalam botol bekas air mineral.
Kopi adalah produk utama pertanian Timor Leste. Bahkan ekspor produk pertanian dari Timor Leste didominasi oleh kopi. Pada tahun 1973 misalnya, data statistik menunjukkan bahwa 90% ekspor produk pertanian adalah dari komoditas kopi. Saya yakin angka ini belum berubah banyak sampai sekarang.
Dari diskusi dengan seorang petani kopi organik di Ailiu, saya mendapatkan gambaran bahwa kopi bisa menyejahterakan mereka. Buktinya dengan hanya memelihara dua hektar kopi, mereka bisa menyekolahkan dua anaknya ke perguruan tinggi di Dili dan bisa membeli sepeda motor baru.
Kehidupan di Dili dan di Ailiu berbeda jauh. Jika di desa di pedalaman Ailiu saya bisa bertemu dengan Li Ning (atlet gim China yang terkenal itu), di Dili saya bertemu Yesus yang sedang menjajakan air mineral dalam botol.