JURNALISME HARAPAN MASA DEPAN


Jurnalisme sebagai harapan yang dapat membantu kesulitan yang dihadapi bangsa dan negara atau dengan kata lain saatnya media membantu kesulitan yang tengah dihadapi bangsa dan negara bahwa di masa depan tidak hanya ada mendung dan badai, tetapi masih ada seberkas sinar.
Kini kebebasan pers telah dinikmati lebih dari sepuluh tahun. Namun bersamaan dengan itu, kehidupan berbangsa dan bertanah air mendapatkan kemajuan yang tidak terlalu signifikan. Politik, terutama kehidupan berdemokrasi, merupakan satu-satunya yang meraih kemajuan yang paling pesat.

Bahkan, dalam beberapa kasus, demokrasi menyentuh liberalisme dan anarkisme, seperti kasus unjuk rasa pemekaran Provinsi Tapanuli di Sumatra Utara, yang berujung pada tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat.
Sayangnya, di tengah proses pergumulan antara kebebasan pers dan kesulitan kehidupan berbangsa dan bertanah air tidak tercipta kultur yang kondusif bagi terciptanya masa depan bangsa yang lebih baik. Media cenderung memanfaatkan iklim yang ada untuk membangun imperium bisnis tanpa peduli dengan kehidupan bangsa yang semakin buntu menghadapi masa depan.

Media lebih sibuk dengan bisnisnya ketimbang fungsi utama media lainnya. Dengan adanya kebebasan pers masyarakat pun ikut mengikuti perkembangan media yang tersedia sekarang sebagai contoh diambil masalah Prita. Kasus Prita Mulyasari (PM) menghentakkan masyarakat Indonesia.

Seorang ibu rumah tangga, warga negara Indonesia, dipenjarakan karena membagikan pengalaman buruknya di sebuah rumah sakit lewat email kepada sahabat-sahabatnya. Email yang beredar luas di dunia maya itu menghantarnya berurusan dengan perkara hukum. Ibu dua orang anak ini dijerat Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik, dengan ancaman maksimum 6 tahun penjara. Masifnya dukungan yang digalang komunitas maya melalui miling list, blog, situs jejaring sosial facebook, ditambah kerasnya desakan para politisi, akademisi dan liputan media massa, serta momentum kampanye capres dan cawapres, memaksa pihak berwajib mengeluarkan PM dari LP Wanita Tangerang, 3 Juni lalu.
MASA DEPAN JURNALISME ADA DI INTERNET
Untuk dapat memperjelas kepada kita bagaimana peran internet dalam perkembangan jurnalistik ada baiknya dilihat opini Bowden mengenai masa depan jurnalistik ada di internet.
Bowden seorang jurnalis menuntaskan semua karya yang berupa laporan jurnalistik karena “jasa” Internet. Sepuluh tahun lalu tatkala dia menulis 29 serial artikel untuk Philadelphia Inquirer yang lalu dibukukan menjadi `Black Hawk Down`, dia terlibat dalam beberapa diskusi mengenai bagaimana laporan bisa dimuat di situsnya www.philly.com. Di tim itu ada seorang perempuan jurnalis muda bernama Jennifer Musser yang diserahi menangani proyek Bowden.
Untuk menuntaskan kerja jurnalistiknya, selama beberapa tahun Bowden menyeleksi, mempelajari dan meneliti ratusan rekaman suara, catatan, dokumen, transkrip percakapan radio para prajurit AS, ribuan foto, puluhan rekaman video, dan sejenisnya. “Anda mau memasukkan itu semua?” tanya Jennifer. “Kalau bisa sih,” jawab Bowden.
Seperti biasa, Bowden menuliskan hasil laporan jurnalistiknya di kertas dengan tak mungkin memuatkan data-data audio dan rekaman video di koran. Bahkan, foto-foto pun mesti dipilih karena mustahil semua masuk cetak.
Jennifer, dengan edisi onlinenya, justru berbuat lain. Ia dan koleganya di edisi online mengemas semua bahan tulisan Bowden sehingga muat dalam situs web.
“Ia memuatkan teks, video, audio, dokumen, peta, ilustrasi dan rubrik tanya jawab online (Question and Asks/ Q&A) secara bersamaan di edisi online Inquirer. Itulah keunggulan media online dari media cetak. Ini jelas jurnalisme masa datang!” kata Bowden.
Sejak diterbitkan secara online, artikel serial Bowden diakses oleh siapa pun dan di mana pun, termasuk para pelaku yang terlibat langsung dalam Pertempuran Mogadishu yang terkenal itu.
“Aku mesti berterimakasih kepada Jennifer karena dengan `alat jurnalistik baru`nya, artikelku makin prima karena disunting langsung oleh para pelakunya sendiri,” kata Bowden.
Sepuluh tahun setelah itu hanya sedikit perubahan yang terjadi dan situs berita ciptaan Jennifer kukuh bertahan sebagai pelopor presentasi laporan jurnalistik via internet. Bowden pernah meyakini media massa non-internet tetap bertahan kendati diguncang banyak prahara, namun akhirnya ia percaya bahwa masa depan jurnalisme ada di dunia digital karena media digital jauh lebih lengkap dan menarik ketimbang media cetak.
Tapi, meski semua orang berkesempatan menggapai sukses dengan menerjuni dunia jurnalistik baru ini, jangan keburu mengklaim diri bisa mengalahkan lembaga-lembaga pers tradisional.
“Beribu eksperimen boleh dilakukan, tapi media tradisional tetap akan menguasai format media baru ini.

Situs-situs berita terbaik saat ini tetap ada dalam penguasaan lembaga pers tradisional. Meski masa depan berita ada di online, tak semua orang bisa sukses karena butuh dana banyak untuk sukses di internet,” kata Don Kimelman, mantan editor Inquirer yang kini menjadi direktur pelaksana pada Pew Charitable Trusts.
Metode berberita lewat internet memang lebih seksi dan lebih lengkap ketimbang media-media tradisional seperti koran, majalah, radio, dan televisi.
“Sesaat, sajian berita online tampak seperti berita televisi ketimbang berita suratkabar namun media online jelas lebih detail karena semua komponen ada. Teks (transkrip) ada, video ada, audio ada, juga foto. Semua tampil berbarengan,” kata Bowmen yang kini menjadi koresponden salah satu majalah susastra terbaik dunia, The Atlantic Monthly.
Memang, tak seperti televisi dan radio di mana pemirsa mesti memasang kuping dan mata rekat-rekat supaya tak ada informasi yang terlewatkan, para pengguna jurnalisme digital bisa memperoleh semua informasi tanpa merasa tersiksa berkonsentrasi. Mereka bahkan bisa mengomentari subjek berita sedalam dan sesering mereka mau.
Pembaca bisa ikut menceramahi baik para wartawan pembuat berita, para kolumnis, maupun sesama pengakses berita online.
Sementara di tevisi dan radio, pengguna hanya bisa menjadi pendengar dan pelihat. Lebih dari itu, berita digital tak dikunci oleh format durasi dan merdeka memilih rubrik sesukanya.
Yang mungkin revolusioner adalah akan segera berakhirnya era di mana wartawan mesti “ngepos”. Era ini akan digantikan para reporter dan editor online yang memperoleh informasi, konfirmasi, dan verifikasi fakta dari masyarakat biasa yang menjadi saksi dan pencocok berita yang hendak dimuat seperti dialami Bowden saat membuat buku “Black Hawk Down”.
“Aku memang ingin berita tetap ditulis di kertas dan dikirim ke pembaca setiap pagi, tapi tak mungkin semua itu abadi, apalagi dua suratkabar terbesar di AS (New York Times dan Washington Post) mendapat lebih banyak pelanggan justru dari online, bukan dari cetak,” kata Bowden.Bowden sendiri kini tidak saja menulis. Ia kini memiliki hobi baru, mengambil gambar video untuk sejumlah kasus yang dia angkat untuk ditulis.
JURNALISME MASA DEPAN TERFOKUS PADA PERKEMBANGAN TV
Opini mengenai jurnalisme masa depan terfokus pada perkembangan TV, hal tersebut diungkapkan mantan jurnalis dari Metro TV Meutya Hafid. Meutya mengatakan jurnalisme masa depan akan terpokus pada perkembangan televisi, namun bukan berarti media cetak seperti koran tidak bisa hidup, tetapi media televisi akan lebih cepat menyajikan berita-berita yang aktual, sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi media cetak untuk menyajikan berita dengan cepat. Untuk mengatasi masalah tersebut, ada media cetak yang terbit dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore. Artinya, jurnalis harus berkejaran dengan waktu, karena berita harus diterbitkan cepat, tidak bisa ditunda lagi dan berita harus aktual.
Jurnalis ke depan harus cepat, berani, komitmen dan jurnalis yang mampu berkomunikasi dengan baik, memiliki communication skiil. Komunikasi seorang jurnalis saat berhadapan dengan nara sumber harus luwes, tidak kaku, mulai dari menghadapi pejabat maupun masyarakat biasa baik dalam keadaan suka maupun duka, sehingga wartawan ke depan tidak hanya memikirkan konten juga perasaan narasumber. Dia menegaskan, seorang jurnalis atau wartawan dituntut untuk bertindak cepat, berani, memiliki komitmen dan yang paling penting harus memiliki communication skill, agar mampu berkomunikasi dengan baik untuk mendapatkan informasi dari narasumber. Menurut Meutya, jurnalisme masa depan akan terseleksi dengan sendirinya, karena masyarakat semakin cerdas untuk menentukan media mana yang layak untuk dikonsumsi. Sedangkan Jurnalis masa depan kuncinya adalah bekerja keras, menggunakan hati, senyum, sapa dan sopan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *