Meski disadari bahwa Jokowi merupakan kader yang diusung PDIP menjadi calon Presiden dan bahkan selalu disebut sebagai “Petugas Partai”, namun tidak elok ketika Jokowi – JK telah terpilih dan menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden, masih dianggap sebagai “milik” parpol pengusung semata.
“Sejak Jokowi – JK dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI tanggal 20 Oktober 2014, sejak saat itu mereka adalah milik bangsa dan rakyat Indonesia karena mereka menerima mandat melalui pilihan rakyat (pemilu) dalam pilpres 2014.
Ketika mereka memperoleh mandat dari rakyat, sejak saat itu pula mereka menjadi “Petugas Rakyat” untuk jangka waktu 5 tahun,” demikian pakar hukum tata negara UKSW Umbu Rauta kepada SP, Rabu (8/4) pagi.
Umbu mengatakan, patut disadari bahwa terpilihnya pasangan Jokowi – JK saat Pilpres 2014 merupakan buah dari simpati dan kepercayaan rakyat (pemilih) terhadap figur Jokowi – JK.
Menurut Umbu, kemenangan PDIP dalam Pemilu Legislatif 2014 tidak sepenuhnya merupakan buah konsistensi sikap politik PDIP yang berada di luar pemerintahan SBY, namun dipengaruhi pula oleh faktor lain seperti: adanya persoalan internal yang dihadapi parpol lain – terkait pimpinan elitnya yang tersangkut masalah hukum (korupsi, dll) – , adanya dampak dari penunjukan Jokowi sebagai calon Pilres PDIP, dan juga kerja keras para calon anggota legislatif di seluruh Indonesia.
Diakui, karena Jokowi diusung dan bahkan dijadikan “Petugas Partai” oleh PDIP, tidak terlalu keliru jika publik mempersepsikan Presiden Jokowi selalu berada di bawah bayang-bayang Parpol pengusungnya, terutama PDIP (melalui Ketua Umumnya).
Bahwa Jokowi adalah capres yang diusung oleh PDIP merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, namun anggapan bahwa PDIP atau bahkan Megawati selalu membayangi pemerintahan Jokowi – JK merupakan sesuatu yang perlu dibuktikan kebenarannya.
“Agak sukar dan terlalu dini untuk melihat relevansi kinerja pemerintahan Jokowi – JK dengan penilaian publik terhadap PDIP selaku parpol pengusung. Hal ini disebabkan oleh jangka waktu pemerintahan Jokowi – JK relatif belum terlalu lama, sementara penyelenggaraan pemilu legislatif masih cukup jauh yaitu 2019,” ujarnya.
Dijelaskan, kecenderungan yang terjadi di negara ini, publik “cepat lupa”akan apa yang dilakukan elit bersama parpolnya. “Dosa atau cacat cela” yang dilakukan elit dari sebuah atau beberapa parpol, tidak selalu berbanding lurus dengan rendahnya simpati terhadap parpol. Demikian sebaliknya, “prestasi” tidak berbanding lurus dengan simpati yang tinggi.
Umbu menegaskan, faktor yang menyumbang tidak harmonisnya relasi PDIP dengan Jokowi boleh jadi disebabkan oleh faktor pertarungan kepentingan di internal PDIP atau bahwa faktor di lingkaran Presiden Jokowi yang diduga sebagai rival PDIP.
Faktor di internal PDIP, berkenaan dengan pertarungan di antara elit dan kader terkait posisi dan peran Jokowi, apakah tetap sebagai “milik” dan “petugas”PDIP atau menjadi “milik dan petugas” rakyat.
Sementara faktor eksternal berkenaan dengan adanya anggapan bahwa para elit yang ada di lingkaran kepresidenan dianggap oleh PDIP lebih dominan mempengaruhi “kebijakan” Presiden, padahal tidak memiliki kontribusi yang besar dalam Pilpres 2014.
Faktor eksternal lainnya yaitu patut pula diduga bahwa di antara parpol KIH saling berebut peran untuk mempengaruhi “kebijakan” Presiden Jokowi.
“Ke depan, perlu ada revolusi cara berpikir dan cara pandang. Di lingkungan Parpol pengusung dan pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden, revolusi dimaksud yaitu “menjaga jarak” dengan Presiden dan Wakil Presiden, oleh karena mereka bukan semata “milik” parpol pengusung, tetapi menjadi “milik” bangsa dan rakyat,” paparnya.
Adalah benar bahwa Jokowi adalah “Petugas Partai” saat dicalonkan, namun sejak terpilih dan dilantik menjadi Presiden, PDIP mesti menyadari dan berjiwa besar untuk menerima bahwa Jokowi adalah “Petugas Rakyat Indonesia”.
Dalam relasi yang demikian, menurutnya, PDIP tidak selalu mendukung apapun kebijakan Presiden, namun wajib mengkritisi manakala kebijakannya tidak populis.
Kritik yang dilakukan PDIP sebagai parpol pengusung akan menjadi “preseden” yang baik dalam relasi parpol dengan Presiden. Pada gilirannya, posisi PDIP yang menjadi mitra yang kritis terhadap Pemerintah akan berdampak pada tinggi rendahnya simpati rakyat saat pemilu yang akan datang.
dalam Kenyataan dan Kejadian selama ini adalah Setiap Presiden Indonesia itu takut selalu Terhadap Partai ataupun Bawahan disekelilingnya karena banyak Ancaman , apa bedanya dengan si Suharto ??? kan si Siharto juga dulu Menodongkan Pistol ke Soekarno di dalam kamarnya ditengah malam ? jadi tidak heran bilamana semua Presiden yang sedang Menjabat Terjegal di tengah jalan alias Mandeg dan Menjadi Lemot
setuju banget emangnya begitu