Intoleransi Adalah Bukti Kebohongan


[JAKARTA] Sikap pemerintah yang menyangkal atau tidak mengakui adanya fenomena intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, merupakan salah satu bukti kebohongan. Intoleransi dengan pelanggaran kebebasan beragama sampai tindakan kekerasan atas nama agama jelas-jelas terjadi.

Hal itu dilontarkan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Baitul Muslimin Indonesia (BMI) MH Said Abdullah menjawab SP di Jakarta, Selasa (25/1) menanggapi pernyataan Setara Institute for Democracy and Peace yang menilai pemerintah tidak tegas, sehingga terjadi intoleransi. Menurut Said, pemerintah selalu menganggap setiap persoalan keagaman sebagai hal kecil, hanya masalah riak-riak saja.

Padahal, peristiwa yang muncul di Bekasi, Bogor, Bandung, Jawa Barat dan Tangerang, Banten serta beberapa tempat lainnya di Tanah Air, merupakan masalah serius bagi negara dan bangsa. Kasus demi kasus pelanggaran kebebasan beragama sampai kekerasan yang mengatasnamakan agama itu adalah sebuah persoalan pengabaian konstitusi.

Sebelumnya, Direktur Setara Intitute Hendardi menyebutkan, dalam tahun 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Dari 216 peristiwa itu, terjadi 286 bentuk tindakan kekerasan dan itu ditemukan di 20 provinsi.

Terdapat 5 provinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu, Jawa Barat (91) peristiwa, Jawa Timur (28) peristiwa, Jakarta (16) peristiwa, Sumatera Utara (15) peristiwa, dan Jawa Tengah (10) peristiwa. Sementara daerah lainnya adalah Sulawesi Selatan (9) peristiwa, Nusa Tenggara Barat (7), Lampung (8) Banten (6), Sumatera Barat, dan Riau masing-masing (5) peristiwa, Bangka Belitung (4), Aceh (3), Sumatera Selatan dan Bali (2), dan masing-masing (1) peristiwa terjadi di Yogyakarta, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Papua, Kalimantan Barat.

Menurut Hendardi, Institusi negara yang paling banyak melakukan tindakan pelanggaran adalah kepolisian (56), Bupati/ wali kota (19), camat (17), Satpol PP (13), Pengadilan (9), Kementerian Agama (7), TNI (7), dan Menteri Agama (6). Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah enam tindakan.

Said melanjutkan, sikap penyangkalan pemerintah bahwa tidak terjadi konflik agama, tidak lain karena pemerintah meremehkan persoalan. Padahal, pada aras bawah benar-benar terjadi ada konflik agama, dan mulai ada sekat-sekat antarkelompok di akar rumput seperti yang diresahkan para tokoh lintas agama.

Pemerintah Gagal
Anggota Komisi VIII DPR dari daerah pemilihan Madura, Jawa Timur itu menegaskan, meningkatnya kasus intoleransi dua tahun terakhir ini merupakan kegagalan pemerintah melakukan pembinaan keagamaan. Pemerintah kehilangan pegangan, karena lebih berorientasi ekonomi.

Untuk itu, kata Said, pemerintah harus menyelesaikan kasus-kasus intoleransi yang muncul dan secepatnya menuntaskan persoalan ini dengan tetap menempatkan kepentingan bersama di atas segala-galanya bagi setiap anak bangsa apa pun agamanya. Pemerintah harus berkomitmen menyelesaikan kasus intoleransi dan jangan menggunakan pendekatan mayoritas-minoritas, karena tidak dikenal dalam konstitusi Republik ini.

Dia menambahkan, pernyataan Menteri Agama yang ingin membubarkan Ahmadiyah adalah sebuah kesalahan fatal. Menteri Agama jangan sampai lupa bahwa dia adalah menteri agama untuk seluruh agama, bukan menteri agama Islam atau menterinya satu parpol.

“Sangat disesalkan jika pemerintah yang diwakili Menteri Agama tidak berpijak pada sendi konstitusi, tetapi justru sangat sektarian,” tegas Said.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *