Golkar Minta Dirut Garuda Diganti +”Kami Ingin Suara Pilot Didengar “


Ketua Fraksi Golkar di DPR, Setya Novanto

Partai Golkar meminta Menteri BUMN Mustafa Abubakar mencopot Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dari jabatannya. Satar dinilai tidak mampu, cakap, dan profesional dalam menjalankan tugasnya.

Aksi mogok pilot Garuda, Kamis (28/7) menunjukkan kegagalan Satar. Aksi itu pun berlanjut sampai Jumat (29/7) dengan adanya penundaan pemberangkatan Garuda ke beberapa daerah di Tanah Air.

“Dirut Garuda sudah tidak layak dipertahankan. Pemogokan pilot kemarin menunjukkan kegagalannya. Itu merugikan perusahaan dan penumpang,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto saat berada di Bandara Internasional Soekarno-Hata, Cengkareng, Jakarta Barat, Jumat (29/7) pagi. Novanto hendak ke Bali untuk kunjungan kerja (Kunker) bersama sejumlah anggota Komisi III lainnya.

Awalnya, anggota Komisi III DPR ini tidak terlalu percaya aksi mogok, Kamis kemarin berdampak banyak pada masyarakat. Tetapi akhirnya dia rasakan sendiri dampak dari pelayanan Garuda yang buruk.

Pada Jumat pagi, dia hendak terbang ke Bali untuk melakukan kunker. Jadwal penerbangan seharusnya pukul 06.40 WIB. Namun hinggga pukul 09.00 belum ada kepastian keberangkatan. Maka yang terjadi adalah penumpang ditelantarkan dan dibiarkan tanpa kepastian.

“Tadi pegawainya bilang berangkat 09.25 WIB, tetapi kemudian diundur pukul 10.00. Tidak lama setelah itu diberitahu lagi berangkat pukul 09.30 dengan pesawat Garuda tetapi serinya beda. Sampai pukul 09.30 juga tidak ada kepastian. Ini benar-benar kacau pelayanannya,” ujar Novanto kepada SP lewat sambungan telpon.

Dia coba menanyakan alasan penundaan itu. Seorang pegawai Garuda yang tidak mau disebut namanya mengemukakan tenaga para pramugara dan pramugari terlalu dipaksa bekerja di luar beban kerja yang seharusnya. Kondisi itu karena masih ada banyak karyawan yang melakukan mogok. Akibatnya pekerjaan yang ada tidak tertangani secara baik sehingga menimbulkan penundaan dan keterlambatan.
Bagi Novanto, pengakuan karyawan seperti itu menunjukkan manajemen Garuda memang tidak memperhatikan nasib karyawan. Karyawan diberi gaji sangat rendah yang membuat mereka berontak dengan melakukan aksi mogok.

“Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berjalan lama. Cara terbaik adalah ganti Dirut Garuda dan Dirut baru harus membenahi manajemen yang ada,” tegas Novanto yang juga Bendahara Umum Partai Golkar ini.

 

“Kami Ingin Suara Pilot Didengar “

Manajemen Garuda dan APG akan duduk bersama mencari solusi.

Para pilot PT Garuda Indonesia Tbk yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Garuda (APG) melakukan aksi mogok selama setengah hari pada Kamis 28 Juli 2011. Mereka memandang telah terjadi kekeliruan pengelolaan perusahaan di maskapai nasional tersebut.

APG menilai kebijakan penambahan jumlah pesawat tidak diimbangi dengan jumlah pilot yang memadai, sehingga manajemen merekrut pilot asing.

Penambahan itu juga dituding menyebabkan jadwal pilot abnormal, karena penerbangan mereka menjadi sangat padat. Kondisi tersebut dinilai APG dapat membahayakan keselamatan penerbangan karena kondisi pilot menjadi lebih mudah lelah.

Selain itu, manajemen Garuda diduga bersikap diskriminatif terkait sistem remunerasi antara pilot asing dan pilot domestik Garuda. Diskriminasi itu dinilai menyebabkan ketimpangan antara pilot asing dan domestik.

Aksi mogok akhirnya ditempuh APG, karena mereka kecewa dengan manajemen Garuda. Sebab, aspirasi yang disampaikan dalam beberapa kali pertemuan tidak mendapat respons positif.

Meski demikian, dengan difasilitasi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Mustafa Abubakar, aksi mogok pilot Garuda akhirnya berakhir sekitar pukul 13.00 WIB kemarin. Manajemen Garuda dan APG selanjutnya akan bertemu pada bulan puasa mendatang untuk mencari solusi terbaik.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai latar belakang aksi mogok dan harapan ke depan, wartawan VIVAnews.com, Ronito Kartika Suryani, mewawancarai Presiden APG, Kapten Stephanus Gerardus Rahadi di Pilot House yang berada di kawasan kantor Garuda Operation Center, Bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang, Kamis, 28 Juli 2011.

Bagi Stephanus, aksi mogok terbang itu merupakan langkah terakhir yang ditempuh pilot setelah sejumlah pertemuan yang diharapkan bisa menjadi perundingan dan ajang mendengarkan aspirasi gagal total.

Aksi tidak mau menerbangkan pesawat Garuda itu sebagai bentuk kekecewaan para pilot terhadap manajemen yang tidak bersedia mendengarkan aspirasi mereka sebelumnya.

Berikut kutipan wawancara tersebut:

Apa sebenarnya yang memotivasi APG mogok kerja?

Motivasi itu semuanya berawal dari kebijakan-kebijakan yang kurang tepat atau keliru, yang kami rasakan. Sebab, kami ini kan orang lapangan yang merasakan langsung.

Banyak kebijakan-kebijakan yang sangat mendesak kami, terutama mengenai peraturan-peraturan. Habis itu, masalah PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Itu terasa sekali sangat memenuhi kepanikan manajemen.

Kenapa panik? 
Karena ada kesalahan manajemen. Selama ini, membeli pesawat tapi tidak memperhitungkan armada dan sumber daya manusia itu sendiri. Seperti itu, manajemen panik, yang penting asal jalan.

Nah, ini menimbulkan keresahan di teman-teman. Contohnya yang tadi, penghasilan yang berbeda. Berbedanya itu bukan hanya dari nilai, tapi kalau mengacu kepada range of orderitu kan mestinya ada jenderal. Semuanya ini menyebabkan overlapping.

Mestinya hal ini bisa diantisipasi manajemen, supaya tidak ada yang tertahan. Nah, itu yang menyinggung kami sebagai anak bangsa, kenapa kami ini dibedakan dengan mereka yang berkulit putih.

Tapi, kalau bicara masalah gaji, manajemen yang diwakili Direktur Operasi Garuda Indonesia, Ari Sapari mengaku gaji pilot lokal per tahun lebih besar dibanding asing. Sampai ada ilustrasi simulasi penggajian penerbang pilot lokal dan asing? Bagaimana pendapat Anda?

Mestinya, kalau ada indikasi ini kan apple to apple. Yang ada, kebiasaannya kan gaji maksimum berbanding gaji maksimum. Nah, yang saya lihat kan, minimum dengan minimum.

Satu lagi, cross fungsi. Seorang copilot apapun ‘bentuknya’, seorang front officer, setinggi-tingginya dia tidak boleh melampaui pendapatan kaptennya dong…ya nggak?

Gaji seorang jenderal harus lebih tinggi dari seorang gaji letnan jenderal, setuju nggak? Karena pangkatnya. Karena seorang front officer dan kapten kan sama, karena tanggung jawabnya lebih besar, otomatis penerimaannya lebih besar.

Nah, ini yang terjadi. Tidak karena dia kulit putih, jadi lebih besar. Lebih dalam dari itu, suasana kerja juga sudah tidak bagus.

Suasana kerja seperti apa yang Anda maksud?
Bayangkan saja, kalau Anda punya rekan kerja yang baru masuk, tapi penghasilannya lebih besar, enak nggak kerja kayak gitu? Yang salah siapa dong? Manajemen dong. Nah, suasana itu ada di kokpit. Ya kan, yang setiap hari kita ketemu kerja, apa nggak bahayakayak gitu?

Kesepakatan awal, pemogokan hanya di Jakarta. Kenapa bisa sampai ke daerah, sudah ada kesepakatan awal atau memang bentuk solidaritas?

Nggak, memang semuanya berjalan sesuai dengan instruksi yang kami katakan. Memang kami harus down flight. Tetapi karena ada sesuatu hal, atas dasar kebesaran, kami harus mengubah taktik. Kalau tidak, perjuangannya akan sia-sia.

Kemudian, awalnya kan ancaman pemogokan pilot, kenapa menjadi pemogokan penerbangan?
Berubah atau tidak, itu urusan kami. Pada tanggal 28 Juli itu memang akan mogok semuanya.

Jika pascapemogokan masih tetap ada diskriminasi bagaimana?
Tadi dikatakan –dalam pertemuan dengan Menteri BUMN dan manajemen Garuda– itu nanti tidak ada, kami lupakan yang kemarin. Kami lihat ke depan. Saya tegaskan tidak ada diskriminasi, pecat-memecat, dan sebagainya.

Apa hasil kesepakatan pertemuan dengan Menteri BUMN dan manajemen Garuda?
Ada empat item. Pertama, masalah komunikasi, bukan kesepakatan tapi hal-hal yang akan dibicarakan. Yang ada, kesepakatan untuk berunding kembali. PKB (Perjanjian Kerja Bersama), PKWT asing, dan terakhir travel loans.

Kenapa Garuda Indonesia memakai pilot asing, apa SDM tidak memadai?
Berkali-kali saya bilang, tambahan armada mau nggak mau ambil pilot asing. Lalu, pilot asing maunya berlaku market price. Nah, ini yang harus ditata jangan sampai menyinggung yang lain-lain. Penataan harus sempurna mungkin. Jangan sampai overlapping. Intinya itu.

Sebenarnya, apakah pilot asing itu diperlukan Garuda?
Kalau segala sesuatunya bisa dikerjakan sendiri, kenapa harus dari asing.

Manajemen Garuda mengatakan, kalau tidak ada pilot asing akan susah untuk akselerasi naik jabatan?
Semua itu bisa diatur. Memang benar akan terjadi akselerasi. Tetapi, kalau itu bisa ditata dengan baik, itu bisa diindahkan. Pilot-pilot asing itu sebetulnya untuk hal-hal yang lebih mendasar. Kenapa nggak ditanya pilot Indonesia? Kenapa asing? Apa Indonesia nggak ada pilot? Sedangkan pilot-pilot Indonesia banyak, kenapa nggak dididik saja langsung.

Tanggapan DPR, ada ketidakseimbangan antara industri penerbangan dengan SDM. Apalagi, sifat pilot asing hanya sementara. Sembari asing bekerja, lokal belajar. Ketika kontrak asing habis, pilot lokal kembali untuk meningkatkan penerbangan. Apa pendapat Anda?
Ya, itu sih, it’s ok saja. Tapi, lebih pada penataan, harus ada pemerataan yang benar dan jangan sampai ada yang tersinggung. Sebab, kalau tidak, apalah artinya hidup di Indonesia ini. Hampa. Orang asing yang diturunkan atau orang Indonesia yang ditinggikan, memang harus ditata satu-satu. Asal jangan menyinggung.

Kalau tuntutannya mentok, tidak ada jalan keluar, apakah ada rencana mogok lagi?
Kami lihat nanti, saya nggak bisa bicara sekarang.

Kalau boleh tahu, apa harapan APG?
Harapannya, suara kami bisa didengar. Mari berunding dengan baik-baik, jangan berpikir menang atau kalah. Kita berpikir mencari solusi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *