Menurut karyawan, gaji tak sebanding risiko kerja. Bekerja di ketinggian 4.200 meter.
Sejak Kamis 15 September 2011 lalu, ribuan karyawan PT Freeport masih melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut peningkatan kesejahteraan dan upah yang sebanding dengan risiko kerja yang sangat tinggi. Menurut karyawan, apa yang mereka peroleh jauh dari memadai.
Bahkan, “dari seluruh perusahaan tambang di dunia ini, gaji karyawan Freeport yang paling rendah dan jauh dari standar, padahal tingkat risiko kerja sangat tinggi, yakni bekerja di ketinggian 4.200 meter, berkabut, curah hujan tinggi, suhu dingin yang sangat ekstrem, untuk menghasilkan emas, tembaga, perak dan tambang lainnya,” kata Frans Wonmaly, Pengurus PUK SPSI PT Freeport pimpinan Sudiro, Senin 3 Oktober 2011.
Ini data perbandingan tahun 2006, gaji pekerja tambang di Amerika Utara US$10-70 per jam, Amerika Selatan US$10-100 per jam dan Indonesia hanya US$0,98-2 per jam.
Tahun 2010 gaji pekerja tambang di Amerika Utara mencapai rata-rata US$66,432 per jam sedangkan Indonesia hanya US$4,421-7,356 perjam. “Jika dibandikan dengan perusahaan tambang lainnya di dunia, bedanya antara langit dan bumi, inilah yang kami tuntut kepada pihak manajemen perusahaan,” kata Frans.
Menurutnya, karyawan yang saaat ini melakukan aksi mogok menuntut peningkatan upah hingga US$30-50 per jam. “Kami hanya membawa target, penyesuaian upah minimum US$30 per jam,” singkatnya.
Mengenai pernyataan Presiden Direktur PT Freeport, Armando Mahler beberapa waktu lalu, bahwa, setiap karyawan akan kehilangan Rp570ribu perhari saat mogok, dibantah keras oleh Frans Wonmaly. “Saya sudah di grade 3 hanya menerima Rp7 juta setiap bulannya, kalau terima Rp 570 ribu hari, mestinya saya menerima kurang lebih Rp17,2 juta perbulannya,” ujarnya sambil menunjukkan buku perjanjian kerja sama.
Hingga saat ini, ucap dia, perundingan karyawan yang mogok dengan manajemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, perundingan yang dilaksanakan di Jakarta di mediasi Kementrian ESDM dan Menakertrans juga deadlock. “Perundingan buntu, manajemen tidak mau mengakomodir aspirasi karyawan,” tandasnya.
Pihak manajemen Freeport, kata dia, juga saat ini terus melakukan propaganda dengan mengirim sejumlah SMS kepada keluarga karyawan, yang meminta bekerja kembali serta mengumumankan melalui berbagai media lokal, agar karyawan kembali bekerja.
Frans mengatakan, karyawan akan terus melanjutkan aksi mogok kerja, hingga tuntutan mereka dipenuhi pihak perusahaan. “Mogok awal akan berlangsung hingga 16 Oktober mendatang, bila tidak ada juga kesepakatan maka akan dilanjutkan sebulan ke depan lagi,” paparnya.
Karyawan yang tergabung dalam PUK SPSI PT FI pimpinan Sudiro juga sudah menyiapkan langkah hukum, jika perundingan dengan manajemen Freeport tetap tidak menemukan titik terang. “Kami sudah siapkan pengacara, jika memang akhir dari semua aksi ini ke Pengadilan,” paparnya.
Sementara Juru Bicara PTFI, Ramdani Sirait menyatakan, Sepanjang hari Sabtu (1/10)-Minggu (2/10) sebanyak 1.217 karyawan PTFI dan Kontraktor telah kembali bekerja ke area dataran tinggi dengan menggunakan 23 bus karyawan. “Sampai dengan hari Minggu tercatat sebanyak 6.968 karyawan PTFI dan kontraktor telah diberangkatkan dengan total 140 bus karyawan untuk kembali bekerja di area dataran tinggi. Kegiatan produksi dan pengapalan konsentrat telah berjalan dengan kapasitas terbatas. Setiap hari, rata-rata lebih dari 5.000 karyawan telah aktif bekerja di area dataran tinggi,” kata dia.
“Manajemen PTFI menyampaikan apresiasi yang dalam dan tulus terhadap para karyawan yang tetap bekerja dan berkontribusi, dan memilih untuk tidak berpartisipasi dalam aksi mogok yang tidak sah ini.”