“Gagal Golput”


Bagi warga negara Indonesia di luar negeri, apakah anda sudah mencoblos untuk pemilu

legislatif? Jujur saja saya tidak berencana untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif tahun ini, namun

kemudian saya berubah pikiran. Berikut cerita singkatnya.

Seperti kebanyakan orang-orang yang saya temui, anggap saja saya berencana untuk memilih

Jokowi sebagai Presiden RI periode 2014-2019 di pemilu presiden tanggal 9 Juli nanti. Saya menganggap

Jokowi lebih berkualitas dibandingkan dengan calon-calon presiden lainnya karena track-record-nya dan

bukti-bukti nyata dari hasil kerjanya selama menjadi pemimpin daerah (walikota di Solo dan gubernur di

DKI Jakarta). Ada calon-calon presiden lainnya yang berkualitas baik, namun yang pernah menduduki

posisi eksekutif dan hasil kerjanya dihargai oleh banyak pihak hanyalah Jokowi.

Partai yang mengusungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), mengetahui akan

nilai jual citra Jokowi dalam pemilu tahun ini. Oleh karenanya PDI-P menjadikan Jokowi sebagai tokoh

utama kampanyenya berdampingan dengan Megawati Soekarnoputri, sang ketua umum partai dan mantan

presiden RI. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi dikirim berkampanye hingga ke ujung Papua, tidak hanya

di Pulau Jawa saja dimana dirinya memiliki basis yang kuat.

Untuk pemilu legislatif tahun ini saya sempat berpikir untuk golput saja, yaitu dengan tidak

memberikan suara saya untuk caleg manapun, termasuk juga untuk caleg-caleg PDI-P. Di sekitar daerah

tempat tinggal saya di bilangan Jakarta Utara tersebar ratusan spanduk, bendera partai dan gambar tempel

dari caleg-caleg yang mendambakan suara-suara pilihan rakyat bagi diri mereka. Namun sayangnya tidak

ada satu pun dari mereka yang saya tahu memiliki kualitas yang menjanjikan untuk menjalankan tugasnya

sebagai anggota DPR yang mumpuni. Sekali lagi, demikian juga caleg-caleg PDI-P.

Namun kemudian saya pikir-pikir lagi. Melihat pengalaman Partai Demokrat yang menjadi partai

pemerintah selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, seringkali kemajuan bangsa Indonesia terhambat

karena dasar dari pemerintahan berasal dari koalisi partai politik. Konsesi-konsesi politik seringkali

terjadi akibat dari koalisi ini. Misalnya, partai-partai yang berkoalisi memperoleh jatah kursi di dalam

kabinet pemerintahan, sehingga posisi menteri bukan diduduki oleh seorang teknokrat tapi diduduki oleh

seorang politisi.

Rakyat Indonesia telah belajar banyak dari pengalaman memilih presiden sebelum-sebelumnya.

Rakyat tidak mau lagi terjebak dengan pencitraan atau permainan emosi massa terhadap capres-capres

tertentu tanpa melihat hasil kerja mereka sebelumnya. Rakyat tidak mau lagi terjebak dari ketampanan

wajah, kegagahan postur tubuh atau kemerduan suara salah seorang capres.

Jokowi memiliki pengalaman kerja yang cukup mengagumkan. Memang banyak pekerjaannya

di DKI Jakarta yang belum selesai, tetapi gaya kepemimpinannya yang merombak cara berpikir dan cara

bekerja lama yang tidak efisien dan penuh korupsi sangat dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia,

bukan saja penduduk Jakarta atau Solo. Gaya kepemimpinan inilah yang belum berhasil ditunjukkan

dalam kerja nyata oleh capres-capres lainnya, sementara gaya kepemimpinan ini sangat dibutuhkan oleh

negara yang sedang dalam kondisi darurat digerogoti korupsi.

Saya jadi sadar bahwa negara Indonesia saat ini membutuhkan suatu pemerintahan yang solid,

baik di eksekutif maupun legislatif, yang tidak bisa lagi membuang-buang waktu dan tenaga dalam

tatanan koalisi partai. Oleh karena itu sangat penting apabila dalam pemilu legislatif ini ada partai yang

menang secara dominan agar political bargaining dalam koalisi yang mungkin terbentuk nantinya tidak

akan mengganggu pembuatan keputusan dan undang-undang demi kepentingan bangsa dan negara. Jadi

tidak ada tarik-menarik kepentingan di dalamnya sehingga kepentingan partai di atas kepentingan bangsa

dan negara.

Dalam kondisi dimana nantinya ada partai yang menang suara dominan (misalnya di atas 40%)

maka partai tersebut hanya membutuhkan dukungan partai-partai gurem untuk memperoleh 51% suara

DPR. Anggap saja Jokowi jadi presiden dan PDI-P jadi partai politik yang dominan dalam pemilu

legislatif, maka mereka akan membentuk suatu pemerintahan yang solid. Artinya bila pemerintahan

[Type text]

mereka sukses maka kesuksesan itu dapat diatributkan pada program kerja mereka. Sebaliknya juga

apabila program pemerintahan gagal, maka merekalah yang sepenuhnya bertanggung-jawab atas segala

kegagalan tersebut. Tidak ada pihak yang bisa cuci tangan dan saling menyalahkan seperti kondisi politik

saat ini.

Apakah Jokowi pasti menjadi presiden? Apakah Jokowi pasti menjadi presiden yang sukses dan

produktif? Wallahualam. Apakah Jokowi pilihan saya? Apakah PDI-P partai politik yang saya coblos?

Hanya saya yang tahu.

Di awal tulisan ini saya meminta pembaca untuk menganggap saya memilih Jokowi. Mungkin

saja “jokowi” disini adalah kode sandi untuk Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Prabowo, Wiranto,

bahkan mungkin juga Rhoma Irama. Pokok pikiran yang ingin saya sampaikan adalah pentingnya

semua WNI untuk menggunakan hak suaranya di pemilu legislatif ini agar presiden yang terpilih tidak

menghadapi permasalahan yang sama dengan rezim sebelumnya. Suara anda akan menentukan ke bentuk

pemerintahan apa yang akan memimpin bangsa dan negara Indonesia menghadapi segala tantangannya

lima tahun mendatang.

Bagi WNI yang telah mencoblos dan jari kelingkingnya jadi berlumuran tinta, terima kasih

karena telah menggunakan hak suara anda! (RO – Twitter: @iamwongkampung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

218 thoughts on ““Gagal Golput”

Leave a Reply to Benny Tan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *