Laok Embok Embok adalah tema yang digelarkan
perkumpulan The Peranakan Association Singapore pada
malam dinner & dance Peranakan Ball 2013, Jumat 26 July
2013 bertempat di Concorde Hotel, 100 Orchard Road,
Singapore. Acara event diselenggarakan demi merayakan 113
tahun terbentuknya The Peranakan Association Singapore.
Malam perayaan berupa acara untuk mengumpul dana
demi keperluan beaya tahunan dan beaya mempromosikan
kebudayaan Peranakan. Sebagai non-profit heritage society,
organisasi masyarakat yang tidak berorientasi komersiel, The
Peranakan Association Singapore bergantung seluruhnya
kepada sumbangan donator dan sponsorship dari para
anggota termasuk masyarakat umum lainnya yang turut
menunjang usaha mempromosikan warisan budaya Peranakan.
Selaras dengan temanya, malam perayaan
memperkenalkan Peranakan cuisine yang cukup popular dan
banyak digemari oleh masyarakat Peranakan setempat
maupun masyarakat lainnya. Masakan berciri Peranakan
seperti Ayam Buah Keluak, Ayam Kapitan dan Babi Phong
Tey, tentunya tidak ketinggalan kue kue basah yang disebut
sebagai hidangan cuci mulut. Masakan disediakan oleh para
chef dari Hotel Concorde, dimana juga terdapat Restoran
Peranakan.
Sebagaimana biasanya perkumpulan orang orang
Peranakan, perayaan selalu diiringi dengan pentas singkat skit,
music dan tari tarian. Malam itu Band Evergreen
mendendangkan irama joget Malayu, nyanyian “Rasa Sayang”,
“Burung Kaka Tua”, “Bengawan Solo”, “Chan Mali Chan” dsb
yang kerap kali diubah kata katanya menjadi lebih meriah dan
humourous dengan bahasa patois campuran bahasa Melayu
dan Hokkien seiring suasana perayaan.
Kumpulan “The Peranakan Voices” tampil dengan baju
sarung kebaya Nyonya yang beraneka warna dan sekuntum
bunga merah di sanggul menyanyi di atas panggung, lalu turun
ke lantai turut berintigrasi dengan para tamu, dan menari
bersama sama. Selain itu, seorang penyanyi Romito
mengantarkan lagu lagu repertoire golden oldie yang terkenal
dari tahun tahun 60 dan 70an, seperti nyanyian Elvis Presley
“Now or Never”, “All Shook Up”, “Jail House Rock”. Juga
nyanyian Englebert Humperdinck seperti “The Last Waltz”,
“After The Lovin”, “Cuando Cuando”, “Love Is A Many
Splendoured Thing”, “Can’t Help Falling In Love With You”.
Tidak ketinggalan lagu lagu dari penyanyi romantis Latino si
ganteng Julio Iglesias yang banyak mencuri hati para wanita
seperti “Adios Pampa Mia”, “If You Go Away”, “La Paloma”,
“Amore” dll yang mudah diikuti para tamu, turut meriahkan
suasana perayaan malam itu.
Tamu malam itu tercatat sekitar empat ratus orang,
mayoritas terdiri dari masyarakat senior setempat dan dari
Negara sekitar seperti Malaysia dan Indonesia, bahkan ada
yang datang dari Australia. Rata rata middle-aged couples,
berusia enam puluh keatas. Tampak diantara mereka banyak
yang sudah berambut putih dan tidak lagi berperawakan
singset langsing, namun tetap bergairah, menari sambil
melayangkan tangan, menggoyang pinggul dan menyanyi
bersama tanpa segan. Mereka datang hanya berduaan
sebagai couple, tidak diantar oleh anak anak mereka yang
menggerutu tidak sabar ketika susah mencari tempat parkir,
tidak juga dengan serantaian cucu cucu yang lari berkeliaran
tak menentu, berteriak, merajuk minta perhatian.
Tidak. Mereka datang hanya berduaan saja. Tidak beda
dengan sepasang kekasih keluar dating makan malam pada
ujung minggu. Jalan bersama sambil bergandengan tangan
menuju ke meja masing masing mengikuti nomor yang sudah
ditentukan di tiket, diantar oleh seorang usher.
Era keemasan bagi komunitas Peranakan di Singapura,
Malaka dan Penang telah pudar dengan masuknya
pendudukan Jepang dan akhirnya Perang Dunia ke II di
Pasifik. Posisi unik yang ditempati oleh pejabat orang orang
Peranakan berfungsi sebagai orang tengah penghubung
antara Sultan Melayu dan pemerintah colonial Inggeris telah
diganti dengan membudayanya pendidikan bagi masyarakat
umum, dan lebih penting lagi dengan tumbuh dan beredarnya
perkembangan semangat nasionalisme setempat.
Pada masa permulaan kemerdekaan pada tahun tahun
pertengahan 60an, Singapore masih mencari cari apa yang
disebut sebagai national identity. Sekalipun mayoritas besar
penduduk adalah etnik Chinese, namun pemerintah tidak ingin
dianggap sebagai Tiongkok ketiga setelah Taiwan, seperti
yang dipersepsikan oleh sebagian pengamat politik yang tidak
bersahabat pada masa itu. Sementara tentunya tidak mungkin
mengambil alih budaya Melayu secara utuh begitu saja. Maka
pernah ada gejala yang membisik menganjur dipulihkan
kembali budaya Peranakan sebagai jalur tengah. Namun ini
juga terbukti tidak berhasil. Sejarah tidak mungkin dipulihkan.
Akhirnya dalam proses perkembangan Singapura telah
mendapatkan identity tersendiri, yakni komunitas cosmopolitan
berpandangan global, berdasarkan meritocratic policy.
Bagi saya, yang paling terkesan dalam acara perayaan
malam itu, bukan makanan sedap yang dihidangkan, bukan
lagu lagu oldies indah yang didendangkan, juga bukan
merindukan masa keemasan yang telah lalu, masa lalu biarkan
ia lalu, bagaikan tangkai patah tidak perlu dipaksa tumbuh.
Yang terkesan dalam ingatan adalah sebuah scenario
dimana sepasang suami isteri berusia 80an berdansa bersama
dengan santai, berpandangan mata sambil tersenyum manis
bahagia. Melihat demikian mesranya mereka berdua,
pasangan lain mundur teratur, akhirnya memberi ruang,
mengelilingi couple itu berdansa di tengah tengah bundaran
seakan dunia milik mereka berdua. Ketika music berhenti,
semua yang mengelilingi mereka bertepuk tangan dan
merangkulnya sebagai tanda kudos, merasa berterimakasih
telah menyaksikan selembar keindahan hidup yang
mengharukan. Inspirasi yang memulihkan keyakinan kepada
makna kemanusiaan diantara commercialization of youth
culture yang menyerang kehidupan masyarakan sehari hari.
Seakan hanya anak muda yang berhak merasa bahagia.
Sebuah persepsi yang menjebakkan.