BUNGA MAWAR NANJING ABADI


Pada tanggal 13 Desember 1937, jatuhlah kota Nanking ( sekarang Nanjing) setelah

pasukan Nasionalis Tiongkok selama tiga bulan mati-matian mempertahankannya dan

gagal dari serbuan agresor Jepang. Akibatnya, dibelakang benteng kota yang megah

itu terjadilah peristiwa kekejian yang mengerikan, dimana tentara Jepang melakukan

pembantaian masal rakyat jelata Tionghoa yang dituduh sebagai sisa pasukan Tiongkok

yang telah melucutkan senjata termasuk wanita dan kanak-kanak yang tak berdaya

dengan tanpa ampun, juga disertai kejahatan perkosaan dan perampokan yang merajarela

diseluruh kota. Hingga kini Jepang masih tetap bangkang memungkir dan menyangkal

kelakuan kebiadaban mereka, dan pada umumnya peristiwa holocaust ini juga terlupakan

oleh kalangan dunia mancanegara. Kejadian kriminal terhadap kemanusiaan oleh pasukan

Jepang yang berlangsung selama 109 hari dan menewaskan sedikit-dikitnya tigaratus ribu

bangsa Tionghoa dibekas ibu kota Tiongkok tersebut telah dikenal sebagai “The Rape of

Nanking”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Peta situs pembantaian masal di kota Nanjing, dari buku Iris Chang.

Ada banyak catatan yang mengabarkan perilaku kebiadaban pengrusakan sewaktu

pendudukan Jepang tersebut, tidak saja tertulis oleh prajurid Jepang yang bersangkutan

disana, juga diceritakan oleh orang-orang Tionghoa yang lolos dari penganiayaan, ada

juga dari catatan dokumen Yayasan Palang Merah maupun oleh beberapa orang Eropah

dan Amerika yang mengajikan perlindungan keselamatan rakyat Tiongkok dari kekejian

tersebut, yang kemudian mendirikan suatu zona keamanan international untuk pengungsi

di Nanking. Namun, berpuluhan tahun telah lewat dan musibah kekejian tersebut tetap

dibantah sebagai pemalsuan sejarah perang oleh para cendekiawan dalam masalah

Nanking di Jepang. Sampai pada tahun 1998 digalinya sebanyak 208 kerangka manusia

lanjut usia, wanita dan kanak-kanak yang terdapat tanda-tanda penyiksaan sebagai sebab

kematian, diketemukan pelur-peluru tentara Jepang ditubuh-tubuhnya, dan dari hasil

penyelidikan kepadatan tulang pinggul yang juga sesuai dengan masa sekitar 60 tahun

setelah dikebumikan, terkumpul diluas tanah sekitar 40 meter persegi didaerah Jiang-
dong-men. Walau penemuan itu hanya menandakan “tip of an iceberg” dari jumlah

korban disana, namun dengan fakta-fakta berwujud demikian membuktikan kebenaran

adanya kejadian pembantaian di Nanking.

Jiangdongmen (江东门) merupakan salah satu situs pembantaian didaerah kota Nanking

yang telah ditemukan dan digali sebagai bukti-bukti sejarah, disana sekarang telah

didirikan Museum Peringatan Korban Kekejian Pembantaian Agresor Jepang di Nanjing

atau 侵华日军南京大屠杀遇难同胞记念馆.

 

 

 

 

 

 

PEACE. Nanjing Massacre Memorial Hall.

Dibalik tindak ketidak perikemanusiaan Jepang timbul juga upaya kepahlawan para

humanis Barat yang kebetulan menetap dan kerja di Nanking pada saat itu, dan telah

menyaksikan kejadian disana sejak hari pertama yang naas itu.

Dalam catatan harian seorang usahawan Jerman John Heinrich Detlev Rabe yang

menyaksikan kengerian suasana pada tanggal 13 Desember 1937 di Nanking menuturkan

sebagai berikut: “Kami baru sadar betapa dahsyatnya kehancuran disini setelah meninjau

disekiling kota. Mayat-mayat terdampar disetiap 100 – 200 meter. Jenasah rakyat

jelata yang dipunggung mereka berlubang peluru. Semestinya tertembak dari belakang

sewaktu mereka melarikan diri. Satuan yang terdiri dari 10-20 serdadu Jepang berbaris

mengelilingi kota yang kerjanya merampok toko-toko…yang saya saksikan sendiri

meski café Herr Kiessling milik orang Jerman juga dirampok. Hotel Hempel dan seluruh

pertokoan disepanjang Jalan Chung Sheng dan Jalan Taiping semuanya terkena”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

John Rabe (23 Nov 1882 – 5 Jan 1950).

Rabe kemudian mengetuai perwakilan usahawan-usahawan Eropah dan Amerika

untuk tetap tinggal di Nanking dan mendirikan Zona Keamanan dimana beliau berhasil

mengamankan sedikit-dikitnya 200 ribu bangsa Tionghoa terhindar dari tindak

kebiadaban Jepang dimasa itu.

Dalam catatan harian Rabe ada beberapa kali penyebutan nama-nama bangsa Eropah

lain yang juga berupaya menghentikan kekejian Jepang sambil mengamankan ribuan

rakyat jelata Tionghoa di Nanking pada waktu itu. Diantaranya seorang bangsa Denmark,

Bernhard Arp Sindberg (19 Feb 1911-1983), yang sampai baru-baru ini telah terlupakan

dalam sejarah.

 

 

 

 

 

 

Bernhard Arp Sindberg, Saksi di Nanking 1937-1938.

Dane kelahiran kota Aarhus ini sejak usia muda adalah seorang petualangan. Pada tahun

1934, setelah melarikan diri dari tugas militer Legiun Asing digurun pasir Moroko, beliau

secara menyelundupkan diri didalam kapal pengangkut barang dan tiba di Shanghai,

dalam usia 26 tahun dengan tangan terborgol. Setelah berganti-ganti pekerjaan beberapa

kali, achirnya mendapat pekerjaan sebagai SatPam dipabrik semen Jiangnan di Nanjing

milik FL Smidth Denmark yang sedang dibangun, tugasnya untuk menjaga keamanan

mesin-mesin dari serbuan Jepang pada awal Desember 1937. Baru sebelas hari bertugas

kemudian Nanking jatuh ditangan Jepang. Beliau dan teman sejawat dipabrik seorang

Jerman Karl Gunther menyaksikan bersama kelakuan kerdil Jepang yang melebihi anjing

hutan terhadap rakyat tua-muda dan wanita maupun kanak-kanak dan bayi seantero kota

Nanking. Mereka berdua merasa berwajib untuk membantu sesama manusia yang tidak

berdaya. Melihat banyak pengungsi yang tetap dalam pengejaran serdadu Jepang meski

sudah berlindung disuatu vihara setempat di Qixia, maka ditampungnya sedikit-dikitnya

6000 jiwa dan dilindungi didalam wilayah pabrik semen yang dibawah pengawasan

mereka.

Meski mereka telah melayangkan bendera Dannebrog Denmark dan Swastika Jerman

didepan pabrik tetap berkali-kali dirongrong pasukan Jepang yang memaksa masuk dan

tetap menganiaya pengungsi yang dicurigakan sebagai bekas tentara Tiongkok. Hanya

saja lolos dari pemboman pesawat Jepang karena Sindberg melukiskan Dannebrog besar

diatap bangunan dan Gunther menggambar Swastika besar dilapangan pabrik semen

tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

Pengungsi dalam Kemah Kemanusiaan Sindberg dan Gunther.

(Foto oleh Sindberg).

Dari catatan dan foto-foto oleh serdadu Jepang mengabarkan bahwa bagaimana diantara

mereka bertanding memenggal kepala manusia, menggunakan manusia sebagai bulan-
bulanan latihan menembak, menembak seenaknya kesiapa saja baik yang diam atau yang

lari, menghujani kelompokan manusia yang panik dengan peluru senjata mesin maupun

dilempari granat, manusia hidup-hidup ditanam maupun dibakar mati, dan perkosaan

yang merajarela kemudian dibunuh supaya tidak dipakai oleh orang lain. Sindberg sendiri

mencatat bahwa salah seorang anak perempuan dari kamp perlindungannya ditahan

didalam gubuk kecil dan diperkosa gilir selama 38 hari, sehingga terkena tiga macam

penyakit kelamin dan perdarahan besar baru dibuang. Kegilaan kerdil Jepang terus

berlangsung berlarut-larut beberapa minggu. Meski atas nama warga negara sahabat

Jerman Rabe telah mengajukan surat-surat protes terhadap tindak yang melanggar asasi

kemanusiaan waktu perang, pengamukan agak mereda tetapi pembantaian menerus, pada

umumnya tidak di-gobres oleh pihak pimpinan militer Jepang, karena, dunia luar sama

sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi dibelakang benteng kota Nanking pada saat

itu.

Pernah Gunther mengangkut yang sakit dan yang luka ke rumah sakit dikota, namun

mendapat larangan dari pihak Jepang untuk diobati, menghadapi sikap ketidak

perikemanusiaan Jepang yang bangkang tersebut, mereka berdua tidak berputus asa,

segera mendirikan sendiri balai pengobatan sederhana dipabrik, dimana kebutuhan

makanan dan obat-obatan bisa dipenuhi oleh Yayasan Palang Merah. Mengambil

kesempatan itu, Sindberg yang sebelumnya juga berpengalaman sebagai pembantu

pers Inggris sewaktu masih di Shanghai, berhasil menyelundupkan keluar berkali-kali

berita dan gambar foto kejadian dikota Nanking untuk mendapatkan perhatian kalangan

internasional di Shanghai. Boleh dikatakan jasa upaya Sindberg ini menjadi katalis buat

kalangan internasional untuk mentarapkan tekanan politik yang memungkinkan untuk

Jepang segera menghentikan pengrusakan lebih lanjut di Nanking itu.

Selama 107-109 hari sudah penduduk Nanking hidup dan mati didalam kesengsaraan

neraka diatas bumi, tidak kurang dari 300 ribu rakyat Tionghoa dibunuh dan sedikit-
dikitnya 20 ribu wanita diperkosa, dan pengrusakan total dibekas ibu kota Tiongkok itu,

semuanya telah merupakan penghinaan mutlak terhadap Bangsa Tionghoa.

Apa sebabnya tingkah laku kekejian pasukan Jepang disana itu, walau rakyat jelata telah

menyerah, dan sisa tentara Tiongkok telah meninggalkan kota, sehingga Nanking telah

tidak lagi berdaya melawannya, hingga kini masih tidak jelas, mungkin sepanjang masa

juga tidak akan bisa mengertinya. Cuma bisa disebut dalam logat Jawa: asu nipon edhan.

Sindberg dan Gunther meneruskan pekerjaan kemanusiaan mereka dengan terus

menyukupi kebutuhan sadang pangan dan perawatan sakit bagi kaum pengungsi

dikemahnya, sehingga pihak Jepang merasa perbuatan mereka berdua telah tidak bisa

lagi dibiarkan untuk berlangsung lebih lama, dan memaksanya pabrik ditutup. Tiga

bulan kemudian Sindberg diusir ke Shanghai dan dinaikkan kapal untuk meninggalkan

Tiongkok dibulan April tahun 1938 itu. Walau jasa upaya menyelamatkan hanya

sebagian kecil rakyat Nanking yang ditangani sendiri dan cuma singkat waktunya disana,

tetapi tanpa siasat kecerdikannya yang memungkinkan penyebaran kabar keluar, bisa jadi

kekejian Jepang dan kehancuran Nanking akan berlangsung lebih lama dan lebih luas.

Kebaikan budi tersebut tidak terlupakan oleh rakyat Tionghoa dan pemerintah Tiongkok.

Setibanya Sindberg di Geneva segera dihormati dengan gelar “Friend of China” di Liga

Bangsa oleh perwakilan Tiongkok disana.

Gunther yang terus tinggal menetap di Nanking, menikah dan melanjutkan pembinaan

anak-anak piatu peninggalan kekejian Jepang, sampai beliau bertolak meninggalkan

Tiongkok dalam usia lanjut pada awal terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok, dan

kemudian berimigran ke Amerika.

Enampuluh tahun bersilang dan peristiwa Nanking telah terbenam dalam masa Tiongkok

yang bergolak seperti menghadapi perang melawan Jepang, perang saudara, perang

Korea, perang Vietnam, revolusi kebudayaan, ketegangan dengan Taiwan, masalah

perselisihan dan penggeseran pimpinan pusat, dan permulaan pembangunan ekonomi,

juga karena perbaikan kembali hubungan diplomatik dengan Jepang dan Amerika,

dengan demikian pemerintah Tiongkok segan mengkorek-korek masa lama yang meski

sangat pedih dalam hati itu. Sampai adanya pelajar-pelajar sejarah yang menggali dan

menemukan jalan cerita yang tertulis oleh orang-orang asing, seperti catatan harian

Rabe, dan dari sana menemukan nama orang Barat lainnya yang telah disebutkan

kepahlawanannya untuk menolong pengungsi Tionghoa, maka untuk pertama kalinya

kisah “Tionghoa merk Denmark” Sindberg muncul dalam buku dan surat kabar di

Tiongkok.

Pemerintah kemudian berkeputusan untuk mencari dimana Sindberg sekarang, maka

pada tahun 1996 di Denmark diadakan pameran peringatan 60 tahun kejadian Nanking,

bersama itu secara meluas disebarkan berita mengenai peninggalan jasa Sindberg di

Tiongkok pada tahun 1937-1938 dan mencari sanak familynya. Akibatnya, saudara

perempuan yang telah berusia 80 tahun Bitten Stenvig Andersen beserta putrinya

Marianne Stenvig Andersen dari Aarhus menampilkan diri dipameran. Mereka yang

mengaku sebagai family yang tertinggal membawa sebuah selendang sutra yang tersulam

nama-nama bekas pengungsi di Qixia Nanking sebagai bukti, selendang itu adalah

peninggalan Sindberg yang dihadiahkan kepadanya sewaktu mendapat penghargaan

di Geneva dulu kala, dan yang telah disimpannya sampai achir hayatnya di Amerika.

Selendang tersebut dan lain-lain peninggalan Sindberg sewaktu di Nanking sekarang

tersimpan dan dipamerkan di Museum Peringatan Korban Nanjing tersebut diatas.

Pada tahun 1938, Sindberg segera meninggalkan Geneva ke Amerika, karena pada saat

itu Swiss masih dalam kedaulatan Prancis yang mana bisa menghukum mati Sindberg

bila tertangkap disana sebagai buron pelarian serdadu bayaran sewaktu di Moroko. Di

Amerika beliau tetap berpetualangan, pernah masuk angkatan laut Amerika Serikat dalam

Perang Dunia II, kemudian menjabat kapten kapal laut dan berlayar seumur hidupnya.

Beliau tidak pernah berkeluarga. Pengalamannya yang singkat dan yang mengerikan

di Nanking telah mengesan lekat disanubarinya, juga sering menceritakan kisahnya

kepada keponakannya Marianne sewaktu di Texas. Beliau mengumpulkan semua

catatan dokumentasi dan foto-foto yang diambil di Nanking dan dijilid sebagai album

yang sekarang tersimpan disalah satu museum di Texas. Selendang sutra hadiah rakyat

Tionghoa adalah kenangan seumur hidupnya dari Nanking, merupakan warisan satu-
satunya yang diturunkan kepada Marianne sewaktu meninggal dunia di California dalam

usia 72, ditahun 1983.

Sindberg mungkin tanpa menyadari betapa besarnya peninggalan jasanya dalam sejarah

Tionghoa modern, walaupun hanya sekitar 6000 orang yang diamankan dibandingkan

jumlah korban sekitar 300 ribu di Nanking atau sedikit-dikitnya 35 juta Bangsa Tionghoa

yang berkorban selama 8 tahun perang pertahanan dengan Jepang (1937-1945).

Marianne Andersen dengan Rosa Eskelund seorang ahli bunga berhasil dengan

susah payah membiakkan sejenis bunga mawar yang berwarna kuning. Warna

kuning melambangkan keberanian dalam budaya Denmark, yang juga sesuai untuk

melambangkan sikap kenekadan, kekerasan kepala dan keanehan yang tersendirinya

Sindberg. Tahun 2006, berkenaan dengan memperingati 70 tahun kejadian di Nanking

dan 95 tahun kelahiran Sindberg, bibit-bibit bunga mawar kuning Sindberg tersebut

dibawa ke Nanjing dan ditanam dipekarangan Museum demi memperingati jiwa-jiwa

yang jatuh korban dalam kekejian Jepang “The Rape of Nanking”, dan bunga mawar

kuning tersebut diabadikan sebagai “Nanjing Forever – Sindberg Rose”.

.

Anjuran bacaan:

1. Iris Chang (1997): The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War

II. Basic Books, New York.

http://missaldrichenglish10.weebly.com/uploads/1/2/1/5/12156708/

the_rape_of_Nanking.pdf (free online book).

2. Dai Yuanzhi (2010): 1937-1938 A Dane in Bloodstained Nanjing – Testimony on

Humanity and Violence. Beijing Foreign Studies University.

Museum Peringatan Korban Nanjing:

侵华日军南京大屠杀遇难同胞记念馆

Nanjing Massacre Memorial Hall.

Buka sepanjang tahun dari pukul 8:00 sampai 17:30.

Masuk bebas.

Naik taxi ke: Nan-jing Da-tu-sha Ji-nian-guan,

Shui-xi-men Da-jie No. 418,

Tilpon: 25-8661-2230.

Naik bus: nomor 7,23,37,39,57,61,63,82,92, 312 ke Museum. (perlu diperiksa

kemungkinan perubahan)

Naik Metro line 2 turun di Yun-jin-lu Station exit kejurusan Shui-xi-men Da-jie Xi

(barat) kejurusan Museum.

Peperangan biar besar maupun kecil hanya membawa penderitaan sesama manusia

yang diluar skala magnitusnya. Biar pihak mana yang menang tidak akan juga luput dari

perasaan penyesalan yang diderita rakyatnya.

Anthony Hocktong Tjio, Diaspora Indonesia kelahiran Surabaya, Tanglang asal

Hokkian.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *