Australia Korban Hubungan Buruk China-AS


AUSTRALIA sejak lama merupakan sekutu Amerika Serikat. Ikut dalam Perang Dunia II, Perang Korea, Perang Vietnam, Afghanistan dan Irak.

Pada April lalu, HMAS Parrmattta bersama kapal serbu amfibi USS America, kapal penjelajah USS Bunker Hill dan kapal perusak USS Barry mengadakan latihan bersama di Laut China Selatan. Kawasan di mana China sedang menambah fasilitas dan kekuatan militer.

Kehadiran kapal perang Australia tersebut menimbulkan tambahan kemarahan di pihak China. Sebelumnya Beijing  bereaksi keras terhadap sejumlah manuver Canberra dalam menyikapi wabah virus Covid-19.

Pemerintahan PM Scott Morrison pada Februari 2020 memperpanjang lagi selama dua minggu larangan ke Australia bagi mereka yang pernah melawat ke China.

Beijing menilai larangan itu bertentangan dengan seruan WHO yang berulangkali menyatakan tidak merekomendasikan pelarangan bagi mereka yang pernah berkunjung dan melakukan hubungan dagang dengan China.

Dalam pada itu, suatu publikasi yang diterbitkan Kelompok Intelijen Lima Mata yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Inggris dan Australia pada Mei 2020 menyebutkan China telah menghancurkan bukti-bukti baru wabah Covid-19.

Kelompok ini juga berperan dalam pengendalian perluasan pengaruh  Huawei. Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru sudah melarang operator menggunakan perangkat Huawei di jaringan 5G.

Membalas

Beijing dalam hitungan hari melakukan pembalasan dengan menunda impor  daging sapi dari empat perusahaan Australia dan menaikkan hingga 80% tarif impor barley atau jelai.

Sementara penghentian atau pembatasan impor atas bijih besi, anggur, batubara dan lainnya akan menyusul.

China juga berencana menghentikan perjalanan wisata,  pengiriman pelajar dan mahasiswa ke Australia.

Berdasarkan data, Australia mengekspor daging sapi ke China senilai US$3 miliar per tahun. Secara keseluruhan, 26 persen dari total ekspor Australia ditujukan ke China.

Tindakan Beijing menimbulkan kekhawatiran akan berhentinya sejumlah industri dan pengurangan tenaga kerja di Australia. Dalam konteks ini muncul pertanyaan, seberapa besar manfaat bila selalu mengikuti kebijaksanaan luar negeri Amerika Serikat?

Hubungan yang Didominasi Perdagangan

Australia meresmikan hubungan diplomatik dengan China pada 1972 dan setahun kemudian membuka Kedubes di Jalan Dongzhimenwai No 21, Distrik Chaoyang, Beijing.

Disusul dengan pembukaan kantor konsulat di Shanghai, Guangzhou, Chengdu, Shenyang and Hong Kong.
Austrade juga mendirikan sebelas kantor di berbagai provinsi, guna membantu pengusaha Australia memasuki pasar dan mempromosikan  Australia sebagai lahan investasi, pariwisata dan pendidikan.

Negara-negara bagian juga membuat perwakilan di berbagai kota utama perdagangan China.

Kedua negara  juga menciptakan kerjasama antar kota dan negara bagian dengan provinsi. Sedikitnya ada seratus kerjasama serupa itu.

Puncak kerjasama kedua negara terjadi pada 2014 saat PM Tonny Abbot dan Presiden Xi Jinping setuju melukiskan hubungan kedua negara sebagai kemitraan strategis yang komprehensif.

Setahun kemudian, 2 Desember 2015. kedua negara menyepakati perjanjian perdagangan bebas yang menjadi pendorong peningkatan hubungan dagang kedua pihak.

Setiap tahun sedikitnya 40.000 pemuda China belajar di berbagai lembaga pendidikan Australia. Hingga tahun 2019  jumlah mahasiswa China mencapai sekitar 203.000 orang.

Ia memberi berkah bagi keuangan universitas-universitas dan produsen produksi konsumsi. Masuk akal bila kemudian mereka ketar-ketir dengan ancaman Xi Jinping Cs.

China yang memerlukan bahan tambang melakukan investasi besar-besaran antara di sektor batubara dan bijih besi.

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, investasi China dalam penanaman modal langsung maupun tidak langsung di Australia pada 2019 berjumlah A$78.2 miliar.

Tahun sebelumnya A$68,2 miliar dan A$64 miliar tahun 2017. Investasi China menduduki tempat kesembilan dengan posisi pertama diduduki Amerika Serikat, Inggris, Belgia, Jepang, Hong Kong, Singapura, Belanda dan Luksemburg.

Pada periode 2017-2018, Australia mengekspor barang dan jasa ke China senilai A$123,3 miliar atau 30,8 persen dari total ekspor Australia.

Sedangkan impornya A$71,8 miliar atau 18 persen dari keseluruhan impor Australia. Ketergantungan yang sangat besar kepada China itu, menimbulkan kekhawatiran seandainya ekonomi domestik China memburuk. Atau apabila China marah lantaran Australia mengekor kebijaksanaan AS.

Menurut data Australian Tourism, pada tahun 2018 jumlah wisatawan China yang berkunjung mencapai 772.752 orang dengan lama menginap rata-rata 43 malam.

Total uang yang dibelanjakan berjumlah A$12 miliar. Disusul turis Selandia Baru 533.754 dengan total belanja A$2,6 miliar. Amerika Serikat 380.877 dengan total belanja A$4 miliar.

Secara umum, jumlah orang China yang berkunjung ke Australia setiap tahun (termasuk tahun 2019) berjumlah 1,4 juta jiwa. Mereka menghabiskan A$12 miliar, yang berarti lebih banyak dari pelawat negara-negara lain.

Sebetulnya Australia kerapkali  mengeritik perlakuan pemerintah China terhadap tahanan politik, minimnya kebebasan berbicara dan berpolitik, penerapan hukuman mati, tindak kekerasan suku minoritas di Xinjiang   (suku Uyghur ) dan Tibet.

Tetapi kritik itu disampaikan melalui dialog yang konstruktif, serta kedua negara sepakat bahwa masalah HAM tidak akan menganggu bidang-bidang perdagangan, pariwisata, pendidikan dan lainnya.

Tidak diketahui apakah pemerintah China juga menyatakan  keprihatinan atas nasib suku Aborigin.

Mengubah Hubungan Dengan AS

Sebagai sekutu dekat, maka relasi Beijing-Canberra sangat dipengaruhi hubungan Amerika Serikat-China. Bila hubungan kedua negara memburuk, maka relasi Canberra-Beijing turut memburuk.

Fenomena ini mulai mendapat perhatian sebab apakah Canberra harus selalu mengikuti langkah Washington, dalam menyikapi masalah di Laut China Selatan dan masalah Uyghur.

Presiden Trump pada Rabu, (7/6/2020) mensahkan UU yang memungkinkan AS menjatuhkan sanksi AS terhadap pemerintah China berkenaan dengan perlakuan terhadap suku Uyghur.

Perkembangan dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan, Beijing tak peduli lagi dengan bentuk hubungan masa lalu, yang dibuat bersekat-sekat.

Pemerintahan Xi Jinping telah mencampur adukkan peristiwa politik dengan aspek perdagangan, pendidikan dan pariwisata.

Bereaksi atas sikap chauvinis China, begitu julukan Barat. Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyatakan negaranya tidak bisa diintimidasi.

Adapun Menteri Perdagangan Simon Birmingham menyesalkan sikap negatif China atas permintaannya untuk mendiskusikan penyelesaian ketegangan kedua negara.

Pernyataan Morrison maupun Birmingham menunjukkan persepsi yang tidak berubah terhadap China. Padahal China hampir menyamai Amerika Serikat bahkan disebut-sebut unggul pada bidang tertentu.

Kondisi tersebut membuat Beijing berani melakukan revisi dalam hubungan dengan Australia dan juga negara lain.

Sebaliknya China secara psikologis masih dihantui perasaan terkepung seperti dalam Perang Dingin. Ini ditunjukkan dalam keprihatinannya akan persetujuan Australia pada Juli 1996, yang menyepakati perluasan latihan bersama, disusul beberapa waktu kemudian dengan penempatan sedikitnya 2.500 marinir AS di Barak Robertson, Darwin Australia Utara.

Pangkalan di Darwin secara bertahap akan ditambah hingga mampu menampung 4.500 serdadu marinir dan angkatan darat. Kedua negara sepakat menyediakan A$2 juta untuk membangun fasilitas perawatan pesawat, pendukung, bahan bakar, pendidikan dan latihan.

Peningkatan kekuatan tersebut, oleh kalangan militer Australia, disebut merupakan jawaban  terhadap klaim kedaulatan dan penambahan militer China di Laut China Selatan. Beijing juga tengah berupaya mendapatkan pijakan di pulau Manus, lepas pantai Papua Nugini dan Kepulauan Solomon.

Menhan AS William Perry, pada pemerintahan Presiden Clinton, menyatakan Jepang di utara dan Australia di selatan merupakan dua jangkar pengaturan strategi keamanan Amerika Serikat di Asia. Pernyataan Perry itu menunjukkan Australia menjadi bagian tidak terpisahkan dari strategi militer negaranya.

Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat juga terikat dengan perjanjian keamanan tiga negara (ANZUS) yang dibentuk pada 1951. Tetapi Selandia Baru mengurangi keterikatan dengan menetapkan wilayahnya bebas senjata nuklir dan tidak melulu mengikuti kebijaksanaan AS.

Tidak Punya Musuh

Australia letaknya terpencil, di ujung selatan dunia. Keterpencilan yang diatasi PM Bob Hawke, Januari 1989.  dengan menggagas Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) bersama Indonesia. PM berikutnya Paul Keating (1991-1996) bersama Presiden Soeharto dan Clinton merealisasikannya.

Australia punya musuh hanya karena mengikuti AS sebagai kampiun demokrasi dan kapitalis dunia. Bagaimana bila kemudian Trump berubah fikiran? Dia dikabarkan merestui pertemuan rahasia pejabat China-AS serta mengendurkan tekanan terhadap Huawei?

China tampaknya akan menerima bila Australia berbalik arah, tetapi ia akan mengingat semua sikap Australia sebelumnya. Seperti kata Sun Tzu,..sama seperti air yang tidak mempunyai bentuk tetap, dalam perangpun tidak ada peraturan dan ketentuan yang tetap.( SH / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *