KEBETULAN


Pagi itu ketika hendak berangkat dari hotel ke  Soekarno Hatta Internasional Airport, kami diberi tahu bahwa semua jalan menuju ke bandara tergenang banjir, tidak dapat dilalui mobil. Taxi sudah dipesan, jam berangkat pesawat tidak dapat dirubah, teman teman sedang menunggu kedatangan kami penuh dengan acara yang sudah lama dirancang.
Kewalahan tidak tahu bagaimana menghadapi masalah. Sementara hujan bertambah lebat seakan menantang sengaja mempersulit situasi. Hujan dan banjir agaknya selalu datang bersama di Jakarta bagaikan Siamese twin yang tak terpisahkan. Apa boleh buat, tidak ada jalan lain, kami mengambil keputusan drastik untuk berangkat, dengan attitude “Jalan dulu, nanti baru lihat bagaimana seterusnya.” Bagaimanapun lebih baik daripada tidak berbuat apa apa hanya mengharap hujan kembali ke langit dan menunggu banjir redah mengering.
Kebetulan sekali, taxi driver yang kami tumpangi sangat kreatif, ia berani mengambil keputusan sendiri. Jalan yang seharusnya menjurus ke kiri, demi mengelakan genangan air setinggi pintu mobil, ia membelok kekanan, dan seterusnya. Setelah membelok kiri kanan sekitar emat, lima kali, entah bagaimana, akhirnya sampai juga ke jalan tol yang menuju ke bandara. Ketika itu baru ia bilang bahwa perjalanan berliku liku yang diambil tadi seluruhnya melawan ketentuan arus lalu lintas, kalau ketangkap polisi, dendanya sangat berat. Mujurnya dalam perjalanan tidak bertemu dengan seorang polisi pun. Mungkin karena hujan lebat dan jalanan banjir, polisi juga tidak rajin berpatroli.
Kejadian di atas membuat orang berpikir, apakah hanya kebetulan kami dapat sopir taxi yang penuh akal, atau sebaliknya orang perlu banyak akal demi menghadap tantangan hidup. Lalu, apakah banjir yang berkepanjangan itu juga sebuah kejadian yang kebetulan atau akibat dari ulah manusia yang mencemarkan alam?
Seorang teman karib pernah bercerita mengenai perjalanan hidupnya. Ia dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Jawa Timur dari keluarga yang sudah belasan generasi menetap di daerah itu. Pada suatu ketika ia dikirim keluarganya meneruskan pelajaran ke Jakarta. Jauh dari sanak keluarga dan supervisi orangtua, teman ini yang ketika itu baru naik besar merasa seakan kuda lepas dari kandang, bergaul bebas dengan bermacam corak unsur masyarakat dan menyadap pengaruh suasana tanpa kemampuan membedakan antara baik dan buruk. Setelah lulus SMA, orangtuanya tidak mampu mengirimnya ke universitas. Tentunya, ini tidak menjadi masalah baginya, karena ia sama sekali tidak ada keinginan meneruskan pelajaran ke perguruan tinggi. Ia ingin  mencari pekerjaan, ingin cepat mendapat uang untuk berfoya foya dengan teman temannya, demi membeayai kegemaran yang baru diraih: merokok, minum minuman keras, berjudi dan melacur. Ia melamar ke beberapa pekerjaan, tapi hasilnya tidak memuaskan baginya, “Terlalu banyak peraturan, orang bekerja dibikin seperti robot, tidak boleh ini, tidak boleh itu,” keluhnya. Ia ingin mencari pekerjaan yang memberinya kemerdekaan bergerak semaunya.
Seorang temannya menyarankan ia bekerja sebagai pencatut karcis di sebuah bioskop di daerah Menteng. Ini berupa pekerjaan yang sangat menyenangkan baginya. Ia cukup berhasil menjalani profesi barunya. Tapi tidak lama ia bekerja sebagai pencatut karcis, terjadi sebuah pergolakan anak anak muda menyeru agar pengusaha bioskop tidak menayangkan film film hollywood yang mereka anggap bernada burjuis dan anti perjoangan kemerdekaan melawan kapitalisme dan kolonialisme. Dengan adanya protest sengit, jumlah penonton anjlok menurun, penghasilan dari mencatut karcis turut berkurang. Tanpa uang disaku, teman teman mulai menjauhinya.
Kebetulan sekali, dalam keadaan terkatung katung tanpa tujuan, seorang bekas teman sekolah memberitahu ada sebuah universitas yang baru dibuka, dan untuk sementara gratis tidak mengambil uang kuliah, karena belum banyak yang masuk mendaftar. Temannya menganjurkan ia mendaftarkan diri. Mulanya ia tidak tertarik, tapi ketika diberi tahu bahwa banyak gadis cantik yang belajar disitu ia berbalik ingin mendaftar dengan tujuan utama berpacaran. 
Namun hidup dalam lingkungan yang berlainan, gaya hidup dan pandangannya pun beranjak berobah. Pada akhirnya ia berhasil meraih titel SH. Profesinya telah berobah dari tukang catut karcis bioskop di Menteng menjadi seorang pengacara tenar bergabung dalam Badan Bantuan Hukum legal aid memberi bantuan hukum gratis kepada masyarakat kecil yang tidak mampu.
Apakah pengalaman hidup teman ini juga termasuk dalam kategori == kebetulan == yang kita bicarakan dalam tulisan singkat ini, atau proses kehidupan yang ditentukan oleh diri sendiri?
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *