Catatan Redaksi:
Cerita ini bersumber dari sebuah Buku Cerita Rakyat yang dikirim oleh seorang yang bernama
Reyhan Chaniago lalu diringkas dan diedit oleh penulis untuk disajikan kepada para pembaca
Indonesia Media yang menyukai membaca berbagai dongeng untuk pengantar tidur.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban. “Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima
seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban. Maka terjadilah pertarungan sengit
antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan,
namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi
terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya
secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat,
Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi
menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit
kesakitan. Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi
melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa
kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam
tersebut dipendamnya dalam hati. Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban itu akhirnya terungkap
juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya bulan purnama menerangi perkampungan
sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan.
Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara
adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan
kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang. “Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap
Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri. “Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan
keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk
Limbatang. “Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran
menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.Namun, baru
saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari
Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan
wajah memerah. “Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas
menjadi suami Sani,” tambahnya. “Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau
perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang. “Ada,
Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu?
Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil
menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah. “Oooh, itu!” jawab
Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum. “Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang
dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang. “Tapi, Engku!
Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin
adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai. Semua yang ada dalam pertemuan
itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening
dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang. “Maaf, Anakku! Aku tidak membela
siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk
Limbatang. “Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng
mukaku di tengah keramaian?” “Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat
peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu
ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis
serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang. (sumber: Buku Cerita Rakyat/
dikirim oleh: Reyhan Chaniago/diringkas dan diedit oleh Eddy Djaja/IM) (bersambung)