MISKIN DAN KAYA MENGINGINKAN REVOLUSI


Sejak dimulainya revolusi “Melati” di nisia, gelombang demokrasi seolah tak terbendung. Setelah menciptakan gelombang raksasa di tengah seonggok air tenang di Timur Tengah dan Afrika Utara, dengan berhasil menggulingkan Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun, dan kini sedang dalam proses pula untuk mengakhiri kekuasaan pemimpin eksentrik Libya, Muammar Khadafi.

Dua puluh tahun lalu, perubahan besar demokrasi yang terjadi di Eropa Timur telah mengguncang rakyat Tiongkok. Sebagai sesama kaum yang dijajah oleh rezim komunis, masyarakat Eropa Timur terutama Uni Soviet pada akhirnya lebih berani tampil ke depan untuk membuka jalan bagi akhir kekuasaan komunis. Lalu mengapa rakyat Tiongkok hingga kini masih tidak mampu? Masalah ini telah merongrong rakyat Tiongkok selama lebih dari 20 tahun!

Hari ini, perubahan raksasa di Timur Tengah dan Afrika Utara kembali merongrong rakyat Tiongkok. Karena tidak sedikit rakyat Tiongkok yang memiliki pandangan bahwa negara-negara Arab dan Afrika Utara adalah dunia yang terbelakang, adalah masyarakat tertutup di tengah padang pasir yang tak mampu mengikuti derap langkah modernisasi. Namun faktanya, orang-orang di sana telah menghancurkan pandangan masyarakat dunia dengan tindakan nyata: berani tampil untuk menentang kekuasaan otoriter, dan berhasil meraih kemenangan gemilang, baik di Tunisia maupun di Mesir. Keberhasilan di Libya pun tak lama lagi akan segera terwujud! Sementara di Iran, Jordania, Bahrain, Saudi Arabia, Libanon, Aljazair, dan lain-lain, juga telah bermunculan berbagai aksi unjuk rasa anti pemerintah.

Menghadapi perubahan di Timur Tengah, Partai Komunis Tiongkok (PKT) tetap saja seperti biasa, menekankan “kestabilan melebihi segalanya” (maksud sesungguhnya adalah otoriter melebihi segalanya). Sementara para penulis yang lebih condong kepada pihak pemerintah juga ikut membela dengan menyatakan bahwa terjadinya revolusi di Mesir adalah karena di sana sangat miskin dan terbelakang, sehingga rakyat yang tidak puas lalu turun ke jalan. Makna di balik pernyataan tersebut adalah perkembangan ekonomi RRT, standar kehidupan masyarakatnya telah meningkat dan rakyat merasa puas, sehingga tidak bakal terjadi Revolusi Melati di RRT.

Tentu, kemiskinan memang merupakan salah satu penyebabnya. Mesir yang berpopulasi 84 juta jiwa adalah negara terbesar di Timur Tengah, dan golongan pekerja produktifnya yang berusia 20 – 25 tahun, tingkat pengangguran mencapai 40%. Di antara seluruh pengangguran di negeri itu, 90% di antaranya adalah kaum muda.

Lalu berapakah tingkat pengangguran di RRT? Angka yang dirilis pemerintah selalu diragukan kebenarannya. Seperti angka pengangguran yang dirilis pemerintah RRT selama 3 musim pertama di tahun 2008, tingkat pengangguran hanya 4%, padahal di saat yang sama angka yang dirilis oleh Akademi Sosial Tiongkok adalah sebesar 9,7%. Perbedaan angka di antara keduanya sangat besar, lalu yang manakah yang benar? Para ekonom Taiwan memperkirakan, tingkat pengangguran di Tiongkok seharusnya sebesar 30%, dan perkiraan oleh Asia Development Bank sebesar 34,3%.

Tapi negara seperti Mesir, serta negara-negara Timur Tengah lainnya, sejak dulu hingga kini memang kondisinya miskin, lantas mengapa rakyat di sana tidak melakukan perlawanan sejak dulu?

Faktor yang menjadi penentu adalah televisi, internet, ponsel, jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan lain-lain, sehingga membuat masyarakat mengetahui begitu banyak informasi, dan tidak tertutup seperti dulu lagi. Melalui “politik internet”, mereka pun mengetahui masalah kebobrokan penguasa, dan begitu banyaknya ketidakadilan di tengah masyarakat!

Contoh, harta kekayaan pribadi mantan Presiden Mesir, Hosni Mubarak mencapai milyaran dolar AS. Laporan di internet menyebutkan, kekayaannya mungkin melampaui Bill Gates  (45 milyar dolar AS). Otokrasi dan royalnya Mubarak perihal menghamburkan uang sudah sangat dikenal.

Dalam artikel baru-baru ini di “Wall Street Journal” disebutkan bahwa setelah Revolusi Mesir berhasil menggulingkan Mubarak, masyarakat Mesir kini sedang beramai-ramai menghitung harta kekayaan sang mantan presiden. Mubarak, hampir sama dengan para penguasa dik-tator lainnya, seperti Mao Zedong di RRT, Chiang Kai Sek di Taiwan, maupun Saddam Husein di Irak, yang membuat patung dirinya di mana-mana, di berbagai jalan raya maupun gang kecil diberi nama dengan namanya, bahkan gerbang keluar masuk kereta api bawah tanah juga tidak luput. Menurut statistik, di Mesir terdapat 388 buah “sekolah Mubarak”, dan 160 buah sekolah lainnya menggunakan nama istrinya. Jangan ditanya lagi soal gedung pemerintahan, di setiap ruang kelas di semua sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta, semua memajang foto Mubarak.

Demikian juga halnya dengan di Tunisia.  Saat dubes AS menghadiri pesta keluarga menantu presiden negara pada 2009, ia menyaksikan sendiri kemewahan keluarga penguasa. Dibanding menu makanan rakyat Tunisia, banyak yang bahkan tidak lebih baik dari menu hewan piaraan keluarga presiden. Sang dubes kemudian menulis laporan diplomatik, yang membandingkan kemewahan keluarga bangsawan Tunisia dengan kehidupan rakyat jelata. Laporan yang diberi kode “Confidential” ini kemudian terungkap di “Wikileaks”, dan menjadi salah satu penyebab pemicu revolusi Tunisia.

Penyebab utama yang memicu  revolusi di Tunisia dan Mesir bukanlah kemiskinan, melainkan rasa ketidak-adilan. Bobroknya golongan kelas atas memicu ketidak-puasan dalam diri masyarakat. Sementara di RRT sekarang ini, ketidak-adilan sosial masyarakat, serta kebobrokan pejabat pemerintah bahkan lebih parah lagi. Kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya di RRT telah menempati posisi pertama di seluruh dunia.

Menurut data statistik pemerintah yang dirilis oleh Badan Statistik RRT, saat ini 10% orang kaya di RRT menguasai 45% kekayaan seluruh negara, sementara 10% orang yang paling miskin hanya memiliki kekayaan sebesar 1,4% saja. Yang lebih parah lagi, terjadinya kesenjangan si miskin dan si kaya ini diakibatkan oleh kekuasaan rezim komunis, yang awalnya mendengungkan paham keadilan sama rata.

Laporan dari Akademi Sosial RRT pada tahun 2006 mengatakan, dari jumlah 11.300 orang kaya yang memiliki harta kekayaan lebih dari 100 juta dolar AS, 9.700 orang di antaranya adalah keluarga para pejabat Partai Komunis Tiongkok (PKT), atau sekitar 86% dari total keseluruhan orang kaya di seluruh negeri! Pendapatan per tahun pejabat PKT di berbagai tingkat telah mencapai 8 hingga 25 kali lipat rata-rata pendapatan per kapita di kota setempat, atau setara dengan 25-85 kali lipat pendapatan per kapita penduduk petani di daerah setempat!

Akademi Sosial RRT pernah melakukan survei di 7 ibukota provinsi yakni di Guangdong, Shanghai, Zhejiang, Jiangsu, Fujian, Shandong, dan Liaoning. Didapati bahwa kekayaan rata-rata para penguasa partai komunis (staf setingkat divisi ke atas) mencapai lebih dari 8 juta Yuan RMB, yang berarti setiap pejabat PKT memiliki kekayaan mencapai jutaan dolar AS.

Dari segi kebobrokan di tingkat atas dan ketidak-adilan di tengah masyarakat, RRT sama sekali tidak kalah jika dibandingkan dengan Tunisia dan Mesir, bahkan mungkin lebih parah. Oleh karena itu dilihat dari kesenjangan sosial kaya dan miskin yang timbul akibat kekuasaan ini, membuat revolusi di RRT semakin memenuhi segala kriteria.

Sementara berbicara mengenai perkembangan ekonomi RRT, rezim komunis beranggapan bahwa masyarakat sekarang ini lebih makmur daripada dulu, sehingga tidak akan terjadi Revolusi Melati. Alasan ini sama sekali tidak dapat dijadikan pijakan yang kuat. Tingkat pengangguran di Tunisia (menurut Wikipedia) adalah sebesar 13,3%, di Mesir 9,4%, dan di Bahrain yang juga terdapat aksi unjuk rasa, tingkat penganggurannya bahkan hanya 3,7% (kurang dari setengah rata-rata di Eropa). Hal ini semakin menjelaskan bahwa kemiskinan bukanlah penyebab utama terjadi revolusi.

Bret Stephens, penulis rubrik khusus “Wall Street Journals” dalam artikel terbarunya yang berjudul “Aksi Protes Beijing dan Arab” mengatakan, negara kecil di Teluk Persia seperti Bahrain yang berpenduduk hanya 1,2 juta jiwa atau hanya 1/1000 dari RRT, dengan luas negara hanya 1/10.000 dari RRT, padahal rata-rata PDB Bahrain sudah mencapai 27,000 dolar AS, sekitar 10 kali lipat RRT. Tapi rakyat Bahrain yang telah makmur, tetap saja menuntut akhir-nya kekuasaan otokrasi. Karena mereka memahami, jika tidak ada pemilu, tidak ada hak memilih kehidupan politik, sama saja dengan budak, dan bukanlah orang yang bebas!

Dalam artikelnya, Stephens mengatakan, turunnya rakyat Bahrain ke jalan adalah karena “ketidak-adilan di tengah masyarakat yang terus meningkat, dan menjadi pemicu revolusi terhadap kaum borjuis.”

Apakah rakyat Libya melakukan hal itu karena masalah kemiskinan? Bukan juga. Pendapatan rata-rata per kapita Libya juga masih lebih tinggi daripada RRT. Di tahun 2009, PDB Libya telah mencapai 16.000 dolar AS (sama besarnya dengan Taiwan).

Oleh karena itu, baik di negara Timur Tengah maupun di Afrika Utara, negara miskin maupun negara kaya, orang miskin maupun orang kaya, semuanya bangkit untuk melakukan revolusi, bangkit demi menuntut demokrasi, menuntut kebebasan, dan berkeinginan untuk menjalani hidup sebagai orang yang memiliki kehormatan. Revolusi di Eropa Timur 20 tahun yang lalu, telah mempertanyakan kepada rakyat Tiongkok yang sejak dulu dikenal dengan jiwa patriotiknya. Kini dengan bergulirnya revolusi di Timur Tengah, semakin membuat hal ini (revolusi) tidak dapat dihindari lagi. Persis seperti syair dalam lagu peringatan peristiwa Tiananmen yang terkenal, “Wahai rakyat Tiongkok, berapa lama lagi engkau hendak bersabar, berapa lama lagi engkau hendak berdiam diri ?!”

Pada 6 Maret, menlu Jerman, Guido Westerwelle, di Berlin mengeluarkan pernyataan: “Kami telah berulang kali mengajukan permohonan kepada pemerintah RRT, hendaknya menyediakan ruang reportase yang bebas bagi jurnalis Jeman dan negara lainnya yang ditempatkan di Tiongkok. Sekarang, saya sekali lagi memohon kepada pemerintah RRT agar menjamin keamanan representator media asing. Melakukan pembatasan dan penghambatan terhadap pekerjaan peliputan oleh jurnalis yang terus berlanjut sama sekali tidak bisa diterima, pelakuan semacam itu juga merugikan kredibilitas Tiongkok di mata seluruh masyarakat dunia. ”

Seorang aktivis menyatakan, sejak seruan “Demonstrasi Melati” digulirkan, sudah lebih dari 100 disiden dan pembela HAM mengalami perlakuan kasar dan brutal  dalam penindasan berskala besar.

Bunga Melati Mekar 3 Kali, Rakyat Berkumpul di Shanghai

Diperkirakan oleh seorang jurnalis barat, yang tidak mau disebutkan namanya, terdapat hampir 100 orang yang memenuhi seruan dari organisator anonim tersebut untuk berkumpul di depan halaman bioskop Perdamaian-Shanghai, guna mengikuti gerakan “Demonstrasi Melati”. Pihak berwajib Shanghai sebelumnya sudah memperingatkan para jurnalis Barat agar tidak meliput di sekitar halaman bioskop tersebut. Minggu sebelumnya di tempat itu berkumpul beberapa ratus orang. Di Wang Fu Jing-Beijing dan perempatan Xidan dari Gedung Majelis Rakyat, polisi juga menempatkan sejumlah personil keamanan untuk mencegah rakyat mengadakan unjuk rasa.

AFP melansir pada 17 Februari, bahwa karena terinspirasi oleh gelombang demonstrasi rakyat di dunia Arab, pertama kali muncul seruan “Demonstrasi Melati” oleh seorang anonim di internet, menyerukan kepada warga kota pada setiap hari Minggu untuk mengadakan demonstrasi “jalan-jalan” di berbagai kota besar Tiongkok. Seruan itu semakin meningkatkan kekhawatiran rezim PKT dalam membendung emosi, dendam, dan kebencian rakyat Tiongkok, atas berbagai kejadian anti kekerasan, semakin menguatnya kesenjangan sosial yang sangat tajam, dan KKN yang terjadi di Tiongkok.

Berdasarkan penjelasan seorang netter, warga Tiongkok umumnya beranggapan, pemerintah menyadari penindasan gerakan 4 Juni kala itu (peristiwa Tian An Men 1989) bagaikan melakukan sebuah operasi medis besar terhadap pemerintah yang sedang sekarat. Kini “kelangsungan hidup” PKT telah diperpanjang hingga lebih dari 20 tahun. Padahal saat ini, taraf permasalahan sosial jauh lebih parah melampaui kondisi wilayah Timur Tengah dan sudah sulit keluar dari bencana.

Menurut kabar yang beredar, “Buku Himbauan kepada Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok” dan “Buku Himbauan kepada Kepolisian Rakyat Nasional” sedang disusun rumusannya. Buku itu menyerukan kepada para prajurit dan polisi yang mencintai negara dan rakyat, agar dengan tindakan nyata mendukung gerakan demokrasi patriotik ini, dan jangan lagi melewatkan peluang sejarah agung kebangkitan bangsa.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *