KEKERASAN AGAMA, PERILAKU DEHUMANISASI?
Sejumlah kasus tindak anarkis, kekerasan, dan main hakim sendiri, yang bertautan dan berlabel agama kembali mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita akhir-akhir ini.
Mulai dari penyegelan tempat ibadah hingga pengusiraan dan menghalangi kelompok keyakinan tertentu untuk menjalankan ibadah mereka. Yang terakhir adalah penikaman atas jemaat HKBP di Bekasi oleh sekelompok orang tertentu.
Saya sendiri sangat yakin bahwa tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama itu sebenarnya bukan murni karena alasan agama. Sebab, semua tokoh-tokoh agama kita selalu menegaskan bahwa tidak tidak pernah dibenarkan melakukan tindakan anarki, apalagi kalau tindakan tersebut dibalut semboyan gombal “atas nama dan demi membela Tuhan.”
Lantas, apa sebab munculnya perilaku anarki? Tentu saja banyak aspek yang bisa kita telisik. Di sini, saya hanya coba melihatnya dari mindset atau way of thingking kita sebagai manusia ketika berhadapan dan menangani sebuah persoalan.
Dalam ranah filosofis, tindakan kekerasan itu sebenarnya dampak ikutan dari pengabaian terhadap kemampuan untuk menilai. Kekuatan memberikan penilaian-tulis filsuf perempuan Hannah Arendt dalam eseinya berjudul Crisis on Cultural – bersandar pada persetujuan, pertimbangan dan komunikasi dengan orang lain.
Rumusan sederhananya kira-kira begini, penilaian dan tindakan kita harus mempertimbangkan penilaian dan tindakan orang lain. Kalau pun kita diberi ruang untuk bertindak tetapi ada ruang lain yang perlu dihormati, karena tindakan kita mendatangkan penilaian dari pihak lain. Dalam konteks perilaku anarkis, ketidakmampuan untuk menilai ini membuat pelaku kekerasan hanya mengacu pada kepentingan sendiri, acuh tak acuh terhadap apa yang menjadi kepentingan, pendapat, keyakinan dan cara hidup orang atau kelompok lain. Secara tidak langsung, nilai pluralitas dan perbedaan pun diacuhkan.
Distorsi kemampuan untuk menilai itu kemudian berdampak pada lemahnya budaya berpikir dari sudut pandang orang lain.
Hal ini membuat orang tidak menghiraukan dan mempertimbangkan apa yang dialami orang lain. Hati nurani menjadi tumpul, suara batin pun menjadi dingin. Dengan begitu, lemahnya kemampuan untuk menilai dan berpikir dari sudut pandang orang lain tersebut boleh dibilang menjadi wajah nyata dari proses dehumanisasi. Ya, tegasnya, merusak kemanusiaan. Ia melahirkan korban-korban yang juga manusia.
Kemampuan untuk menilai dan berpikir merupakan soko guru identitas manusia.
Orang baru benar-benar menjadi manusia ketika menggunakan kedua kemampuan tersebut dalam menjalin relasi serta membangun hidup yang aman dan damai bersama orang lain. Dengan alur nalar seperti itu, bisa kita katakan bahwa humanitas manusia terletak pada kemampuan untuk menilai dan berpikir dari sudut padang orang lain. Oleh karena itu, peretasan aksi anarki bisa diupayakan melalui pembinaan mentalitas yang bersifat humanis. Pupuklah kemampuan untuk melihat dan mempertimbangkan persoalan dari berbagai perspektif.
Cobalah secara imaginatif merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (sense of solidarity).
Kalau kita mau melakukan harapan-harapan positif tersebut, kita akan menjadi manusia yang memiliki kemampuan sosialitas yang tinggi dan menghargai nilai-nilai manusiawi yang beradab dan bermartabat. Alhasil, tindakan kekerasan, apalagi yang mengatasnamakan agama, akan pamit dari bumi pertiwi kita ini.