Richard Daulay
(Sekretaris Umum PGI 2004-2009)
“Yang mayoritas melindungi yang minoritas, yang minoritas menghormati yang mayoritas”, adalah sebuah kalimat pendek yang berbahaya. Kata-kata ini keluar spontan, bukan dibacakan dari naskah yang sudah dipersiapkan. Kita tahu, bahwa semua ucapan yang keluar secara spontan biasanya itulah yang tersurat dan tersirat dalam hati seseorang. Itulah nilai-nilai yang dianut dan dibatinkan seseorang. Sebagai warga negara yang mencintai kemajemukan Indonesia, dan yang telah turut berjuang untuk memeliharanya, saya terdorong memberikan kritik sehat, semoga berguna untuk kita semua.
Bahayanya pernyataan di atas adalah, karena kata-kata ini diucapkan oleh Hatta Rajasa, Calon Wakil Presiden RI dari koalisi partai Gerindra, dalam debat Capres/Cawapres Senin 9 Juni 2014. Debat publik yang merupakaan rangkaian kampanye Pilpres ini, bertujuan untuk menyampaikan visi, misi dan program tiap kandidat, kepada masyarakat Indonesia, dengan satu harapan supaya rakyat memilih yang bersangkutan menjadi Presiden/Wakil Presiden pada Pilpres 9 Juli 2014 nanti. Dari sekian banyak program, agenda dan janji yang dijual kedua kandidat dalam debat publik yang berlangsung hangat selama dua setengah jam itu, Cawapres Hatta Rajasa menjual sebuah program, bahwa andaikata Prabowo-Hatta terpilih menjadi Presiden, salah satu program yang akan diimplementasikan berkaitan dengan kehidupan beragama di Indonesia adalah ungkapan tadi: “Yang mayoritas melindungi yang minoritas, yang minoritas menghormati yang mayoritas”. Dengan kata lain, sekiranya Hatta Rajasa (dan tentu bersama pasangannya Prabowo Subyanto) terpilih menjadi pemimpin bangsa ini pada periode 2014-2019, maka konsep inilah yang akan mempengaruhi kebijakan-kebijakannya dalam hubungannya dengan kehidupan umat beragama yang majemuk di negeri ini. Kalau prinsip ini menjadi pegangan seorang pemimpin bangsa Indonesia, maka rusaklah fondasi-fondasi, pilar-pilar dan prinsip-prinsip pokok keindonesiaan: UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, yang dibangun dan diperjuangkan oleh para pendiri bangsa, dan yang kita-sama-sama pelihara 69 tahun ini.
Konsep Hatta Rajasa ini jelas berakar dari konsep “dhimmi” di dalam negara-negara Islam (dar al-Islam), di mana Islam yang mayoritas melindungi Kristen dan Yahudi yang minoritas, yang diberi status “yang dilindungi” atau “dhimmi”. Tetapi dengan berbagai syarat: harus membayar pajak, tidak bisa menjabat jabatan tinggi di militer, tidak bisa mengabarkan Injil atau mengembangkan agama, dll. Orang Kristen dan Yahudi yang dilindungi itu hidup dalam “ghetto” yaitu bagian tertentu dari sebuah kota yang diperuntukkan bagi warga negara “kelas dua” atas dasar agama, etnis dan status sosial lainnya. Status “dhimmi” yang demikianlah yang disandang oleh orang Kristen Koptik di Mesir, Kristen Ortodox di Iran dan di negara Timur Tengah lainnya. Karena umat Kristen dan Yahudi yang ada di negara-negara itu adalah sisa penaklukan (survivors) kekuatan Islam di negara-negara tersebut, maka antara yang menaklukkan dengan yang ditaklukkan dibuat perjanjian bahwa “Yang mayorits melindungi yang minoritas” dengan berbagai syarat itu tadi.
Kalimat “yang mayoritas melindungi yang minoritas” bertentangan dengan UUD 1945, yang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD itu ditegaskan bahwa (1) Tidak ada yang mayoritas dan tidak ada yang minoritas. Tidak satupun kata pun dalam UUD 1945 yang menyebutkan mayoritas dan atau minoritas agama; (2) Semua agama yang ada di Indonesia diposisikan dalam status hukum yang sama, tidak ada mayoritas dan tidak ada minoritas; (3) Tugas melindungi segenap bangsa Indonesia itu adalah tugas Pemerintah, sesuai perintah UUD 1945. Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 dan atau dalam Undang-undang mana pun yang mengatur bahwa “yang mayoritas”, melindungi “yang minoritas”.
Sejarah Indonesia sangat berbeda dengan sejarah negara-negara di Timur Tengah. Di Indonesia tidak ada agama yang menaklukkan, dan tidak ada agama yang ditaklukkan. Islam datang ke Indonesia bukan dengan kekuatan militer yang menaklukkan agama-agama lain, tetapi datang dengan cara-cara damai yang penuh dengan toleransi. Oleh karena itulah, walau sekitar 85% penduduk Indonesia beragama Islam tetapi Indonesi bukanlah negara Islam. Justru di sinilah terletak keunikan bangsa Indonesia, yang diapresiasi oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
UUD 1945 menegaskan bahwa semua agama yang ada di Indonesia sama kedudukannya dan dijamin kemerdekaannya. Karena itu penyataan Cawapres Hatta Rajasa itu bertentangan dengan hakekat UUD 1945. Pernyataan-pernyataan “mayoritas-minorits” yang berulang kali diucapkan oleh pasangan Prabowo-Hatta selama debat Capres/Cawapres berlangsung, sangat mengkhawatirkan umat beragama di Indonesia, mau dibawa ke mana negara Pancasila ini dengan ciri kemajemukan dan kerukunan umat beragama yang telah terbina sekian lama.
Ungkapan Cawapres Hatta Rajasa ini sama substansinya dengan kata-kata yang terkandung dalam Menifesto Gerindra tentang agama, yang antara lain berbunyi: “Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama”. Negara yang seperti apakah yang sanggup melakukan penjaminan kemurnian agama di dunia ini, kecuali negara agama. Negara demokrasi termasuk negara Pancasila seperti Indonesia, tidak memiliki hak untuk menentukan mana ajaran yang benar dan mana yang tidak benar di dalam agama-agama yang ada di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Hanya negara agamalah yang mempunyai lembaga keagamaan, seperti “mufti” yang bertugas untuk menentukan mana agama yang ajarannya benar dan mana agama yang ajarannya tidak benar. Indonesia jelas bukanlah negara agama, dan karenanya tidak ada hak negara untuk melakukan pemurnian agama, karena UUD 1945 memberikan kemerdekaan dan kebebasan yang sama kepada semua agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
Baik pernyataan cawapres Hatta Rajasa tentang “yang mayoritas melindungi yang minoritas” maupun manifesto Gerindra tentang “pemurnian agama”, sama-sama bernafaskan “negara Islam” yang berpotensi menggiring negara Indonesia bergeser dari landasannya, yang dengan susah-payah telah diletakkan melalui perjanjian luhur para pendiri bangsa yang membentuk negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Substansi Pancasila adalah keberagaman, yang tersirat dalam motto Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam ungkapan Bung Karno, bapak bangsa Indonesia yang menggali Pancasila, substansi Pancasila adalah gotong-royong. Bagi Bung Karno sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna setiap agama harus saling menghormati satu sama lain, lapang dada dan toleran, bukan Ketuhanan yang saling mengucilkan dan saling menyerang. Bukan juga Ketuhanan di mana yang mayoritas melindungi yang minoritas dan yang minoritas menghormati yang mayoritas. Pada pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila) yang sangat bersejarah itu, Bung Karno berkata: “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. … Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”
Harapan kita semua, kiranya pernyataan-pernyataan Capres/Cawapres yang menyimpang dari UUD 1945 tersebut di atas dapat dikoreksi dan dikembalikan kepada “spirit” Bung Karno, yang sama-sama kita banggakan itu, bahwa Indonesia adalah negara kita bersama, sebagai satu keluarga besar yang bernama Indonesia, di mana tidak ada warga negara kelas dua, tidak ada ghetto, dan tidak ada “yang mayoritas melindungi yang minoritas, dan yang minoritas menghormati yang mayoritas”.
Lalu, bagaimana dengan perlakuan kristen terdahulu di spanyol yang cuma memberi dua opsi, masuk kristen atau dibunuh. Bandingkanlah dengan kebaikan islam. UUD (udang-udang dasar) juga memaksa kaum islam untuk hidup berislam hanya di ghetto-ghetto (Mesjid dsb). Sampai sekarang kita juga tidak bahagia-bahagia dengan UUD anda
Lalu adakah solusi selain UUD anda!
problem Mayoritas dan Minoritas di Indonesia Tidak Akan Pernah Adil dan Selesai selamanya, itulah ulah Manusia !!!