Wayang Potehi Khas Tionghoa Jatim Diteliti untuk Simposium di Jepang


Michi Tomioka, peneliti dari Osaka City University, Jepang akan meneliti lebih mendalam mengenai wayang Potehi khas Tionghoa di Gudo, Jombang Jawa Timur (Jatim), khususnya pada sanggar Fu He An. Hasil penelitian, akan dipresentasikan pada simposium di beberapa universitas di Jepang, khususnya Tokyo dan Yokohama pada September 2014 mendatang. “Penelitian kami fokus pada kelangsungan seni budaya wayang Potehi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Taiwan. Lalu, penelitian berlanjut di Malaysia dan Singapura,” Michi Tomioka mengatakan kepada Redaksi.
 
Indonesia, khususnya beberapa kota besar di Jawa, ibaratnya ‘rumah kedua’ Michi. Kendatipun, ia merupakan warga negara asli Jepang, tetapi sangat mengenal berbagai tradisi khas Jawa. Ia belajar seni tari dan karawitan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Bahkan ia juga sukses menggelar tari upacara bertema Srimpi Anglirmendhung secara utuh (satu jam) di sebuah pura agama Shinto di kota Matsue, Shimane Jepang beberapa tahun yang lalu. Setiap pagelaran, ia tampil bersama beberapa penari asli dari Solo. “Kedatangan saya kali ini untuk satu penelitian yang belum banyak orang ketahui di seluruh dunia. Wayang Potehi yang paling bagus, dan tetap eksis dengan baik, ada di Taiwan. Pemerintahnya membangun identitas budaya Taiwan, salah satunya dengan pengembangan serta pelestarian Potehi.”
Sebelum tiba di Indonesia, Michi sudah terlebih dahulu mengadakan kontak dengan beberapa pengurus sanggar Fu He An, Gudo. Salah satu nara sumbernya, Ardia Purwoseputro yang aktif meneliti dan terlibat pada kegiatan perwayangan Potehi. Dari pengamatannya, ternyata generasi muda keturunan Tionghoa semakin tidak tertarik dengan Potehi. Selain itu, warga non-Tionghoa lebih banyak ketimbang Tionghoa di Jatim khususnya Jombang yang aktif pada kegiatan Potehi. “Tetapi saya belum tahu berapa perbandingannya (jumlah Tionghoa, non-Tionghoa) yang masih aktif (pagelaran Potehi). Tetapi hal ini juga tidak lepas dari pembauran Tionghoa dan non-Tionghoa melalui media, seperti Potehi. Selain itu, masyarakat klenteng di Jombang sepertinya menjadi sarana untuk proses pembauran.”
Selain Potehi, kegiatan olahraga menjadi media lain proses pembauran Tionghoa dan non-Tionghoa di klenteng. Hampir setiap hari, masyarakat bermain tennis atau bulu tangkis di dalam komplek klenteng di Gudo. Hal ini, secara berbarengan merekatkan masyarakat di Jombang untuk mempertahankan potehi. “Saya hanya dua hari di Jawa Timur. Setelah itu, saya balik ke Jakarta, dan terbang lagi ke Solo untuk urusan pribadi. Tetapi komunitas Tionghoa di Solo juga sangat khas dan massif. Mungkin saya bisa dapat informasi baru (di Solo) untuk materi penelitian.”
 
Semua hasil dan materi penelitian Potehi akan dipublikasikan dalam bentuk cetakan di Taiwan. Rencananya, buku berjudul “Puppet Theatre Potehi in Southeast Asia” akan terbit tahun depan di Taiwan. “Itu pasti terbit.” Sanggar Potehi di Taiwan biasanya menggelar pentas secara rutin di berbagai museum. Sponsor juga mendukung setiap ada pagelaran Potehi. Pada symposium di Tokyo, September mendatang, para pembicara masing-masing mewakili dari Indonesia, Taiwan, Malaysia dan Singapura. “Saya meneliti Potehi Malaysia selama ini dari berbagai dokumentasi saja. Saya juga kontak aktivis Potehi di Malaysia, tetapi tidak langsung berkunjung ke sana.”
 
Hal yang paling berbeda, ternyata Potehi di Malaysia sudah hampir terpuruk. Karena kegiatan pagelaran hampir tidak pernah ada. Selain itu, pengurus sanggar Potehi, khususnya di kota Penang (Malaysia) sudah berusia uzur. “Tidak ada regenerasi di Malaysia.”
 
Koleksi boneka Potehi juga sudah pada rusak. Sementara, tidak ada satupun pengurus yang memiliki keahlian untuk perbaikan. Bahkan, ketika ada seorang pengurus memperbaiki, kondisinya bukan lebih baik. “Boneka (Potehi) nya rusak, tidak ada yang bisa memperbaiki.”
 

Sehingga pengurus sangar di Penang, berencana mengadakan kerjasama dengan sanggar Fu He An. Pengurus Fu He An jauh lebih terampil dan ahli untuk mengoleksi dan memperbaiki boneka Potehi. Koleksi boneka Fu He An terus bertambah. Keberhasilan pelestarian Potehi oleh Fu He An, mungkin tidak lepas dari eksistensi masyarakat dan komunitas pembauran di klenteng. “Kalau boneka yang rusak di Malaysia, yang diperbaiki, bukan lebih bagus, tetapi semakin rusak. Karena untuk perbaikan, perlu keterampilan dan keahlian. Boneka Potehi khas, dan (pengurus) harus punya mindset terhadap kekhasan Potehi. Unsur musik tradisional Jawa juga mempengaruhi kelestarian Potehi.(setiawan)


keterangan foto: Michi Tomioka

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *