Waduh, 45% Pengusaha masih setor fee ke Polri untuk “Biaya Keamanan”


SURABAYA,  Pungutan liar (pungli) masih menjadi momok bagi dunia usaha. Banyak dana yang harus dikeluarkan pengusaha di luar biaya transaksi resmi (pajak atau retribusi). Pungli dilakukan banyak pihak, termasuk polisi dan TNI dengan dalih “biaya keamanan”. Praktik ekonomi biaya tinggi itu membuat daya saing industri lemah.

“Selain biaya transaksi resmi seperti pajak dan retribusi, pelaku usaha juga masih harus membayar biaya ke pihak-pihak lain di luar transaksi resmi untuk mengamankan bisnisnya. Istilahnya biaya keamanan,” ujar peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Sigit Murwito, di Hotel Majapahit, Surabaya, Kamis (16/6/2011).

Temuan itu adalah hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilakukan di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi dan melibatkan 12.391 pelaku usaha, baik skala UMKM maupun besar.

Sigit menuturkan, hampir semua dunia usaha memberikan biaya tambahan di luar biaya resmi. Pungli tersebut dilakukan secara terstruktur oleh oknum pegawai pemda, polisi, TNI, preman, ormas, hingga lainnya.

Dia menyebut, dari pelaku usaha yang diwawancarai, tercatat 45,4% di antaranya menyetor “biaya keamanan” kepada pihak kepolisian. Sekitar 16,9% pengusaha juga rutin memberi duit ke aparat TNI.

Tidak hanya ke polisi dan TNI, fee ini juga mengalir ke pegawai pemda. “Ada 18% pelaku usaha yang membayar biaya tambahan kepada pegawai pemda,” jelasnya.

Sebanyak 52,6% pelaku usaha juga menyetor biaya tambahan kepada organisasi massa (ormas) di tingkat lokal. Pungli tak berhenti di situ. Masih ada “preman-preman” di tingkat lokal yang memajaki pengusaha.

“Tercatat ada 14% pengusaha yang membayar biaya tambahan ke preman. Namun, pelaku usaha lebih keberatan membayar biaya keamanan kepada preman daripada kepada ormas. Sekitar 33,3% pengusaha merasa keberatan untuk menyetor biaya ke preman. Sebaliknya, meski tingkat pembayaran ke preman relatif lebih tinggi, hanya 5% pengusaha yang keberatan atas biaya tidak resmi itu,” kata Sigit.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Suahasil Nazara, menuturkan, biaya-biaya tak resmi alias pungli tersebut telah menghambat ekspansi dunia usaha. “Biaya tak resmi membuat ongkos produksi naik, harga jual produk juga naik. Itu membuat daya saing produk kita menjadi lebih rendah dan tak kompetitif,” kata Suahasil.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *