Untuk Adik Kelasku, Gayus


Catatan Harian Seorang Mafia Pajak

Ada anekdot yang beredar saat reuni akbar Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN-Prodip) pada Oktober 2010.

Yakni, anekdot tentang pemberian award untuk sejumlah alumnus dengan berbagai kategori. Kategori tersukses jatuh kepada Hadi Purnomo, Ketua BPK (Badan PemeriksaKeuangan). Kategori karir tercepat diperuntukkan Haryono Umar, wakil ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kategori terkontroversial jatuh kepada M. Misbakhun, anggota DPR, inisiator hak angket Bank Century yang akhirnya jadi tersangka kasus yang sama.

Sedangkan kategori terpopuler dipegang Gayus Tambunan. Dia menyingkarkan Helmi Yahya yang jadi selebriti top. Gayus bahkan lebih populer daripada bosnya, M. Tjiptardjo, Dirjen Pajak yang juga alumnus STAN.

Memiliki sejumlah kesamaan dengan tokoh populer ternyata cukup menggelitik hati saya. Ada beberapa kesamaan saya dengan Gayus. Sama-sama alumnus STAN-Prodip yang lantas terjerembap mafia pajak dan berujung menghadapi proses hukum. Di usia yang sama, 30 tahun. Usia yang seharusnya kita mulai

untuk menapak puncak karir, tapi justru kami terperosok dalam. Saya tidak seberuntung Gayus, yang masih kaya walau hartanya Rp 100 miliar disita.

Tapi Gayus juga tidak seberuntung saya. Dia bersusah payah merintis karir diluar Jawa, sedangkan saya sejak awal ditempatkan di kota besar (Surabaya). Muda, berduit dan berkuasa. Itulah gambaran untuk kami, para mafia pajak ! Meski hanya pegawai rendahan, toh kami berperan besar atas urusan pajak
sejumlah perusahaan. Sebab, kami punya lobi. Bisa dibayangkan betapa kami
sering memandang kecil sebuah masalah. Sembrono dan ugal-ugalan.

Bahkan saat kami telah ditahan, saya ikut mencicipi fasilitas lebih ditahanan. Walau tidak seekslusif Tante Ayin (Artalyta Suryani) dan kawan kawan, fasilitas itu juga dinikmati pejabat tinggi, politisi, dan orang-orang kaya yang ditahan disana. Saya berbangga. Saya bisa selevel dengan mereka. Kebanggaan yang semu di tengah hujan cercaan. Tidak heran Gayus dengan enteng keluar masuk rutan. Toh, tahanan lain yang jabatannya jauh di atasnya melakukan hal serupa.

Saya yakin bahwa Gayus pun bangga melakukannya. Padahal, dia bukan mereka. Uang boleh sama, tapi mereka cerdik, berpengalaman dan punya network luas. Gayus boleh bernyanyi, tapi mereka sekejap tiarap, lalu tertawa lagi.

Dengan latar belakang kurang beruntung secara ekonomi dan broken home, Gayus telah berjuang untuk menjadi bernilai lebih. Tidak mudah bisa duduk jadi mahasiswa STAN. Tidak mudah juga bisa lulus. Sebab, berlaku sistem DO (dropout) yang ketat. Kampus dipenuhi mahasiswa dari golongan menengah kebawah. Kebanyakan di antara mereka berasal dari desa-desa. Kesedershanaan selalu tampak. Jangan heran jika ada seorang asisten dosen berangkat kekampus dengan naik sepeda mini yang juga cocok untuk anaknya.

Kampus juga menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan religiusitas. Masjid-masjid tidak hanya dipenuhi mahasiswa sejak azan Subuh berkumandang. Tempat itu juga dimakmurkan oleh berbagai kegiatan agama. Mulai mengajar TPA (taman pendidikan Alquran) hingga diskusi keagamaan, semuanya dimotori
mahasiswa STAN.

Lalu kenapa saya dan Gayus bisa lahir ? Lalu, mengapa kami bisa jadi pecinta kemewahan ? Pengaruh dimulai saat bertemu dengan para senior yang telah bekerja. Bertemu dengan rekan kerja dan atasan saat bekerja. Dengan gambling, mereka gambarkan tempat basah dan tempat kering. Dengan nyata, mereka jadi orang kaya baru. Semua terjadi begitu terbuka dan aman-aman saja. Hanya segelintir yang bisa bertahan dengan idealisme masing-masing. Sisanya lagi miskin karena tidak memperoleh kesempatan.

Saat lulus STAN pada tahun 2000, Gayus berjibaku di lahan kering Kalimantan. Setiap mudik ke Jakarta, dia dan rekan-rekan lain ngiler kala melihat teman-teman seangkatannya begitu makmur. Membeli mobil seperti membeli gorengan ayam. Jakarta adalah surga para mafia pajak. Perusahaan besar walau berkantor di daerah harus melaporkan pajak ke Jakarta. Besarnya putaran uang berbanding lurus dengan gemuknya gurita korupsi. Maka, saat bertugas di Jakarta, Gayus tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Gayus hanya mencontoh apa yang dilihat sehari-hari di kantornya. Dia beruntung. Puluhan miliar rupiah dia kumpulkan dalam sekejap. Keserakahan yang ada dalam diri manusia pada umumnya, tapi tidak manusiawi. Gayus pasti juga mendengar gosip yang pernah saya dengar. Yakni, sejumlah pejabat pajak
pernah diperiksa karena menerima aliran dana tidak wajar di rekeningnya dan
umumnya mereka aman-aman saja. Maka, wajar Gayus percaya diri.

Tapi, takdir bicara lain. Dia diadili lagi dengan tumpukan dakwaan, Seakan hanya dialah mafia pajak di negeri ini. Pada masa genderang perang melawan korupsi ditabuh siapa pun, termasuk para mafia hukum dan koruptor, wajar tekanan media menghantam. Wajar olok-olok sarkastis menghajar bukan hanya kami, tapi juga keluarga. Bahkan, anak-anak yang masih suci. Stres sehingga berujung linangan air mata. Kejengkelan muncul saat para bos, mafia-mafia besar justru nyaris tidak tersentuh hukum.

Gayus lantas bermanuver, bernyanyi. Banyak pihak ikut menabuh gendang untuk menggiringnya. Banyak pihak ikut bising mendengarnya. Saat nyanyian tidak lagi merdu, Gayus bagai pion yang digerakkan untuk menjepit raja para lawan. Gerakan pion hanyalah bagian kecil dari manuver untuk langkah utama, menuju skakmat! Orang tidak peduli jika pion akhirnya tersungkur dari papan catur.

Gayus, adik kelasku !

Hadapilah sidang dengan hati baja. Ketakutan adalah hal wajar. Maka, berjalanlah hingga ujung papan catur. Ubah dirimu. Berhentilah jadi pion. Walaupun, tidak mungkin jadi raja. Bahkan, keadilan mungkin tidak berpihak kepadamu. Mungkin para raja, menteri dan lainnya melenggang dengan tidak tersentuh hukum. Biarlah Tuhan yang menghukum mereka. Kelak ada hikmah dari semua masalah itu. Apa yang terjadi kepadamu bukanlah cobaan Tuhan. Sebab, itu berawal dari kesalahan kita.

Meskipun kini engkau merasa menjadi kambing hitam. Jika saya boleh memberikan nasihat, ceritakanlah kepada dunia setelanjang mungkin. Mengapa terjerembap dalam mafia pajak. Bagaimana caranya, metodenya, siapa saja teman-temannya. Dengan demikian, hal tersebut jadi bahan pembelajaran bagi
aparat hukum, adik-adik kelas kita sealmamater, serta pegawai-pegawai pajak
yang baru berkarir. Adakalanya kita terpeleset karena kebegoan kita. Tapi, juga selalu ada kesempatan untuk kembali bangkit.

*Alumnus STAN 1996. penulis buku Catatan Harian Seorang Mafia Pajak

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *