Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendesak DPR agar uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan secara transparan dengan parameter yang jelas. Hal itu agar hasil seleksi menghasilkan pimpinan yang berkualitas bukan sekadar hasil perhitungan politik.
“DPR sudah melakukan penilaian makalah. Parameternya apa, kita juga tidak tahu,” kata Jamil Mubarok mewakili KPP kepada wartawan di kawasan Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu (9/11).
Ia mengatakan, sebagai lembaga publik yang didanai APBN, pemilihan calon pimpinan KPK harus dilakukan secar transparan, profesional, akuntabel, dan partisipatif. Hanya dengan cara itu akan didapatkan pimpinan KPK yang terbaik.
Oleh karenanya, ia menilai penting bagi DPR untuk menentukan jenis dan tahapan seleksi. Termasuk parameter yang akan digunakan untuk menilai calon pimpinan KPK.
“Sekarang ini sudah berjalan dua bulan, tapi tidak ada kabarnya. Kriterianya bagaimana. Tiba-tiba kemarin ada seleksi makalah, lalu tenggelam lagi,” ujarnya.
Menurut dia, DPR harus bisa memilih calon pimpinan KPK sesuai yang dibutuhkan lembaga antikorupsi itu. Setidaknya calon pimpinan KPK harus mempunyai integritas, keberanian, kompetens,i dan independensi.
“Integritas itu yang paling wajib. Rekam jejaknya bagaimana, tingkah lakunya. Sebab integritas ini tidak bisa ditopang oleh pimpinan lainnya,” katanya.
Ia mengingatkan, DPR masih punya waktu untuk membenahi proses uji kelayakan dan kepatuhan yang akan dilanjutkan pada pertengahan November ini. Jika metode yang tidak jelas itu dilanjutkan, bisa dipastikan hasilnya tidak akan memuaskan.
Anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK Imam B. Prasodjo menjelaskan, sebenarnya DPR tidak perlu menggelar uji kelayakan dan kepatutan dengan metode yang rumit. Sebab Pansel sudah memberikan delapan nama yang sudah diurutkan berdasarkan penilaian dalam serangkaian seleksi.
Delapan nama hasil Pansel Capim KPK yang diserahkan kepada Presiden, adalah Bambang Widjojanto, Abdullah Hehamahua, Yunus Husein, Handoyo Sudrajat, Abraham Samad, Zulkarnain, Adnan Pandu Pradja, dan Aryanto Sutadi.
“DPR tinggal membaca data yang sudah kami serahkan kepada presiden. Lalu tinggal melakukan cross check pada data-data yang sudah dikumpulkan itu. Daripada membuat tes lagi seperti kemarin, membuat makalah tapi hanya sejam, yang menilai siapa juga tidak jelas,” tuturnya.
Ia menyayangkan adanya pendapat dari DPR yang tidak ingin memperhatikan ranking hasil penilaian Pansel. Sebab ranking itu menunjukkan nilai yang dikumpulkan setiap kandidat di setiap parameter yang dinilai. Ranking itu seharusnya justru untuk memudahkan DPR dalam melakukan uji kelayakan.
Pansel pun tidak akan berkeras dengan ranking, jika DPR bisa menunjukkan bukti yang jelas atas ketidaklayakan seorang calon. Tetapi yang penting, DPR tidak mengabaikan hasil seleksi oleh Pansel yang sudah dilakukan berjenjang dengan waktu yang cukup panjang.
“Dan supaya pertimbangannya tidak hanya sebatas pertimbangan politik saja. Kalau hanya pertimbangan politis saja, kita khawatir. Indikasi pertimbangan politis itu, uji kelayakan dan kepatutan ini dilakukan bertele-tele dan menolak kriteria yang sudah kita buat,” katanya.
Anggota Komisi III DPR Didi Irawadi Syamsuddin mengatakan, sampai saat ini DPR memang belum punya formula yang pasti untuk menguji capim KPK itu. Tetapi DPR sudah punya standar, misalnya rekam jejak dan komitmen yang menjadi beberapa tolak ukurnya.
“Bagaimana masukan masyarakat itu jadi pegangan. Berbagai hal, mencari data-data yang ada. Tiap anggota dewan punya cara masing-masing,” tuturnya.
Tetapi yang jelas, Fraksi Partai Demokrat mendukung keputusan pemerintah yang telah menyeleksi capim KPK. Hasil Pansel Capim KPK akan dijadikan pertimbangan, selama tidak ada hasil yang sangat berbeda dan bisa menjatuhkan calon.