Surat dari Beijing: “Wei Qi”, Strategi Bijak China


Untuk memahami budaya China, harus mengunjungi daerah seperti Gansu, yang secara alami, kering dan dekat padang pasir yang sangat panas. Di sinilah para pedagang sutera dari Timur Tengah, bahkan Eropa, harus lewat, demikian juga Tembok Besar didirikan.

“What kind of game is China playing?”. Ini judul  artikel Asia Wall Street Journal edisi Juni 17-19, 2011. David Lai, profesor Army War College kepada pejabat tinggi militer di Amerika Serikat dan luar negeri, menyebut Wei qi atau Go adalah permainan yang dimainkan China.

Wei qi adalah permainan strategi yang ada sejak zaman Kung Fu Tse. David membandingkan permainan ini dengan catur yang merupakan  permainan strategi klasik Barat. Wei qi artinya encirclement game (permainan putaran) yang menekankan rencana jangka panjang ketimbang keuntungan yang didapat dari taktik cepat.

David mencontohkan soal Taiwan. RRC  melihat Taiwan penting bagi Amerika, tetapi yang mana dapat diganti demi posisi lebih baik. Sebaliknya bagi Amerika, Taiwan bukan bargaining chipi, tetapi sekutu dalam pelaksanaan demokrasi. Taiwan telah dibantu lebih dari 60 tahun secara diplomatik dan militer.

RRC melihat strategi Amerika secara menyeluruh untuk menjaga posisi pertahanannya di penjuru dunia. RRC menilai bahwa Amerika hanya melihat Taiwan dari segi sistem demokrasi yang dijalankan. Presiden Soeharto, yang dianggap memiliki strategi jitu, juga melihat persoalan secara keseluruhan, baru mengambil keputusan. Keputusan diambil tidak secara piece meal (satu per satu ) tetapi menyeluruh.

Sebagai contoh, karena ekonomi sulit dan kekurangan sandang, pangan, papan; untuk itu ada kebijakan keluarga berencana, transmigrasi, dan lain-lain. Dengan begitu, persoalan diatasi dengan melihat sebab dan akibat, atau secara menyeluruh. Di RRC pun ada kebijakan satu anak, perpindahan suku Han ke daerah-daerah minoritas, dan sebagainya.

Zhou Ji ( “Tales of Chinese Culture”) menulis tradisi sejarah China yang ribuan tahun usianya bersifat “imperial system” dalam politik, agrikultur dalam ekonomi, Kung Fu Tse dan Lao Tse dalam ideologi sosial. Di lain pihak, banyak juga yang menganggap doktrin Kung Fu Tse overwhelming (berlebihan), yang mengakibatkan tidak adanya kebebasan untuk pemikiran lebih terbuka.

Ini mengingatkan pada keluhan tentang penggunaan Pancasila di era Presiden Soeharto. Karena berlebihan, ada yang menganggap Pancasila digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan menyekap kebebasan mengeluarkan pendapat. Apakah di RRC dengan demikian ajaran Kung Fu Tse dihapuskan? Ternyata tidak, bahkan dibiarkan berkembang. Bagaimana dengan Pancasila di negara kita?

Gansu

Agar memahami budaya China, memang harus dikunjungi daerah seperti Gansu. Gansu dan Qinghai selama berabada-abad dipandang sebagai provinsi frontier. Daerah ini secara alami memang sukar karena kering dan dekat padang pasir yang sangat panas. Di sinilah para pedagang sutera dari Timur Tengah, bahkan Eropa, harus lewat, demikian juga Tembok Besar didirikan sampai di sini.

Walaupun kaya dari segi sejarah, keadaan alam yang cukup “kejam” menjadikan daerah ini sukar dihuni. Tetapi sangat menarik karena pemandangan alam yang sangat berbeda, dengan bukit-bukit gersang tanpa pepohonan, juga padang pasir di mana pun mata memandang. Pemandangan serupa saya lihat di Siria dan beberapa bagian di Iran. Juga penduduk dari suku minoritas ditemui di sini.

Karena terpencilnya daerah ini, banyak tahanan politik yang dibuang kemari. Serupa dengan Siberia di Rusia. Maiji Shan (“Corn Rick Mountain”) adalah bukit di mana patung Buddha banyak yang dibuat dari tanah liat. Karenanya lebih sukar untuk dipelihara, tetapi sebaliknya ukirannya tampak lebih mendetail dan sangat menarik.

Terletak 45 km dari kota Tianshui, Maiji Shan adalah satu peninggalan yang terpenting bagi penganut Buddha. Dalam mitos Buddha ada ibarat yang dinamakan “Sumeru”. Patung pertama diperkirakan dipahat akhir empat tahun Setelah Masehi dan diteruskan sampai zaman Dinasti Ching.

Saat ini hanya 200 gua dengan patung Buddha yang tertinggal. Untuk melihat gua-gua ini sangat sukar karena terletak di tebing bukit tajam. Beberapa dari patung ini sudah mengalami perbaikan dan kita memerlukan flash light untuk melihat patung-patung ini.

Tiap gua diberi nama seperti Calf Hall, Cave of Heaven, Thousand Buddha Corridor, dan sebagainya. Pahatan patung-patung ini proporsional dan terlihat ramping dengan karakteristik China tulen.

Sewaktu kami ke sana saya kagum melihat kekuatan fisik pengunjung lokal. Beberapa dari mereka nampak usianya sudah menjelang 80 tahunan tetapi jalannya masih cepat dan tegap. Kita tidak dapat kendaraan, harus menyewa kuda atau jalan menanjak bukit lebih dari 1 km.

Fisik para manula bangsa ini memang menakjubkan. Tidak hanya itu saja, tetapi juga semangat mereka untuk tetap berkunjung ke tempat peninggalan sejarah. Sayang kami tidak sempat mengunjungi Labrang Monestery, pusat Yellow Hat Sect (Gelungpa) yang terpenting di luar Tibet. Sebagai akibat dari “Cultural Revolution” biara ini di tutup sampai 1980. Dan jumlah biarawan  menurun dari 4.000 orang menjadi kurang dari 1.200.

Memang “Cultural Revolution” sering disalahkan sebagai perusak utama dari sejarah dan budaya negara ini. Namun satu hal yang harus kita amati, patung Mao tetap ada di Chengdu, foto dan musoleum Mao tetap dengan tegar ada di Tianmen Square di Beijing. Uang Rmb masih memakai  foto Mao. Bung Karno berkata bahwa agar negara berkembang diperlukan “Nation and character building”. Sama dengan di RRC yang sejarah pemerintahannya seperti gelombang besar.

Membangun negara secara fisik umumnya lebih mudah ketimbang membangun mental bangsanya. Masih banyak mental bangsa ini yang perlu perbaikan. Dalam buku Bo Yang, The Ugly Chinaman and the Crysis of Chinese Culture,  ia menggambarkan karakteristik bangsanya sebagai: “Crass, arrogant, noisy, uncivilized, uncooperative, boastful, dirty, unforgiving” (Kasar, arogan, berisik, tidak beradab, tidak kooperatif, sombong, kotor, tak kenal ampun).

Apakah karakter-kareakter  ini mengingatkan kita pada sifat manusia Indonesia? Tantangan berat ini memerlukan hati besar, dada lapang, dan jernih pikiran untuk dapat dijawab.

*Penulis buku A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Times Publishing International, Singapura, 2003 dan Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, Marshall Cavendish, Singapura, 2007.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *