SETIAP kali saya tuntas menyimak buku berbobot seputar Tionghoa, selalu saja tebersit kesan keterlambatan di benak. Termasuk, ketika menyimak 311 halaman buku ini. Ya, buku hasil disertasi Pratiwo berjudul Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota ini paling 
Pratiwo membuktikan kebenaran premis itu dengan kerja tekun ”menyusuri” gang-gang dan arsitektur seratus lebih rumah Tionghoa di Semarang dan Lasem. Di negeri ini, fokus kajian arsitektur tradisional Tionghoa memang amat jarang diseriusi sekaligus melulu diimpit literatur ketionghoaan berbahasa Indonesia dari disiplin ilmu sosial-humaniora. Tak ayal, melalui puluhan sketsa hasil coretan tangan Pratiwo sendiri, menyimak buku ini seolah merupakan cara lain menikmati buku. Apalagi, meskipun berbahasa Inggris saat diajukan sebagai penelitian doktoral di RWTH Achen, Jerman, dengan judul The Transformation of Traditional Chinese Architecture, terjemahan Pratiwo ini enak dibaca dan mengalir.
Di ranah akademik, Pratiwo merupakan sosok dengan level kepakaran dan kecintaan tinggi terhadap arsitektur Tionghoa. Sebelum menggarap disertasi ini, dia merampungkan studi post-graduate di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, dengan mengusung tesis berjudul The Architecture of Lasem: A Typho-Morphological Approach for Redifining the Architecture of Lasem (1990). Beberapa tulisan di jurnal internasional dan penelitian-penelitiannya pun masih mengupas tema serupa, arsitektur Tionghoa, khususnya di Lasem. Bahkan, di akhir sebuah artikelnya yang bertajuk Menggugat Jalan Lewat Arsitektur Pembebasan, dia membubuhkan anotasi kecil begini: ”Dari Saya, yang Mencintai Lasem”.
Sulit disanggah, Lasem memang unik hingga seolah tak terceraikan dari arsitektur Tionghoa. 
Nah, baik di Lasem maupun Semarang, ilmu tata letak bangunan dan permukiman -biasa disebut hongshui- bersandar pada ide dasar kosmologi Tiongkok. ”Permukiman yang paling ideal, menurut hongshui, adalah dilatarbelakangi pegunungan atau perbukitan dan menghadap ke sungai atau laut,” tulis Pratiwo. ”Jika dihubungkan dengan simbol binatang kosmologis; sungai yang di depan rumah adalah burung merak merah yang membawa kemakmuran, di belakang rumah adalah kura-kura hitam, di sebelah kanan duduk macan putih yang membawa sial, dan di sebelah kiri adalah sang naga biru yang juga membawa keberuntungan,” urainya. Kosmologi ini dipercaya dapat menangkap ”Qi” atau napas hidup.
Gambar di sampul depan buku ini merupakan contoh sketsa permukiman yang menarasikan (problematika) penerapan ide kosmologi tersebut. Sketsa itu melukiskan bagian belakang rumah 
Selain itu, sketsa permukiman Tionghoa yang membelakangi Sungai Semarang tersebut membentangkan sejarah tergadainya arsitektur tradisional Tionghoa. Pada 1980-an, sebagai politik penanganan banjir, pejabat kota madya bermaksud ”menormalisasi” sungai, yakni melalui pelebaran, pengerukan, dan pembuatan sepasang jalan inspeksi di sepanjang sungai. Hasilnya, proyek itu memotong beberapa meter setiap 24 rumah Tionghoa di Jalan Petudungan dan Gang Warung. Rumah kuno yang seharusnya dikonversi malah dipotong. Kini, kalau Anda menyusuri Sungai Semarang; airnya tetap tak mengalir, jalan di kedua sisinya justru menjadi slum area, dan saban tahun banjir di kota itu tetap tak teratasi.
Tak berhenti sampai di situ, pada pertengahan 1980-an, gubernur Jawa Tengah mengeluarkan peraturan tentang pemakaian atap tradisional Jawa (baca: joglo) di setiap bangunan baru. Dia melarang pemakaian ornamen-ornamen Barat maupun Tionghoa, tanpa peduli itu di daerah pecinan dan pemiliknya seorang Tionghoa. Salah satu dampaknya, arsitektur rumah toko Tionghoa -yang merupakan ciri umum rumah-rumah di jalan utama di kota kabupaten- dipandang kumuh sehingga harus diruntuhkan dan diganti dengan arsitektur beton.
Menurut kesimpulan Pratiwo, sederet realitas itu amat kontradiktif tatkala dihadapkan pada sejarah transformasi permukiman dan rumah-rumah Tionghoa pada masa-masa sebelumnya yang menuruti akulturasi dengan karakter ekspresi seni yang tinggi.
Buku ini serius tapi menghibur. Ya, menghibur dahaga baca kita atas pustaka mengenai arsitektur 
Dengan kata lain, ketika Pratiwo menyusunnya berjejalan di hanya satu bab, tidakkah hal itu ungkapan lain buat periset-periset selanjutnya guna memperkaya dan menuntaskan kajian, setidaknya dalam fokus bahasan arsitektural yang serupa? Di titik itukah kini kita ditantang? (penulis adalah peminat sejarah bergiat di Komunitas Kembang Merak, Jogjakarta)
















Saya adalah penulis buku Permukiman Tionghoa. Sebagai kelanjutan buku ini adalah website baru http://www.klikbatavia.com. Website ini tertulis dalam bahasa Indonesia dan inggris tentang kota tua Jakarta. Didalamnya selain sejarah, arsitektur, planning juga ada novel yang berkisah roman disekitar kerusuhan 1740. Silahkan kunjungi website ini.