PRESSE RELEASE DARI JERMAN


Frankfurt am Main, RF Jerman – 17 Agustus 2010

Menanggapi situasi konflik antar agama dan antar ormas di  Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini, kami — masyarakat Indonesia yang berdomisili di Republik Federal Jerman — sangat merasa prihatin. Untuk menjaga nama baik Republik Indonesia dimata dunia internasional dan dalam rasa concern terhadap perkembangan politik, ketentra-man dan kebersamaan hidup di tanah air, PERMIF (Persatuan Masyarakat Indonesia di Frankfurt am Main & Sekitarnya) telah menyelenggarakan Seminar “Pluralismus di Indonesia” (Toleransi dan kebebasan beragama dalam Al Quran, Al Kitab dan Veda, serta pengakuan terhadap eksistensi agama/kepercayaan lain) pada Hari Sabtu, tanggal 7 Agustus 2010.

Dari hasil rangkuman ceramah-ceramah dari narasumber berbagai agama, yang diberikan oleh: Bpk. Ketut Adnyana M. Sc. — Nyama Braya Bali , Stuttgart (Hindu) Bpk. Suratno MA, – Johann Goethe – Universität Frankfurt (Islam) Bpk. Dr. Martin Lukito Sinaga, – Lutheran World Federation, Geneva, Switzerland (Kristen) dan diskusi bersama, yang dihadiri oleh bangsa Indonesia dan bangsa Jerman sebagai peserta-peserta Seminar, yang mewakili berbagai ormas di Frankurt am Main dan sekitarnya, telah ditarik kesimpulan, bahwasanya:

1. Konflik yang terjadi di tanah air — Republik Indonesia – bukan merupakan konflik antar agama, oleh karena semua agama dan kepercayaan yang berlaku di Indonesia mengajarkan perdamaian, toleransi dan kebebasan beragama, misalnya saja:

A. Ajaran HINDU pada hakekatnya mengajarkan umatnya untuk mengakui perbedaan (RWA BHINEDA) dan untuk bertoleransi dengan cara mengamalkan TRI KAYA PARISUDHA (Kelurusan berpikir, berbicara dan bertindak) serta meyakini KARMA PHALA (hukum sebab akibat dari suatu perbuatan). Ketika berinteraksi keluar, umat Hindu di ajarkan untuk mengamalkan TRI HITA KARANA (menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan, Lingkungan alam, dan Sesama manusia). Dalam menerapkan ajaran agamanya di kehidupan masyarakat umat Hindu di tuntun untuk selalu fleksibel terhadap tempat, waktu, dan keadaan yang dikenal dengan DESA KALA PATRA. Hal diatas telah dipraktekkan dalam bertoleransi dengan seluruh manusia dari penjuru dunia dan keharmonisan kaum beragama sebangsa dan setanah air di Bali yang dikenal dengan NYAMA BRAYA.

B. Ajaran ISLAM mempunyai argument-argument yang tertera dalam Al Quran dan Sunnah yang sangat menjungjung tinggi nilai-nilai perbedaan dan basis bertoleransi:

· Al-Qur’an surat al-Hujurat; 13 menghimbau umat manusia yang berbeda latar belakangan ras, warna, bahasa dan agama agar hidup berdampingan dan saling berta’aruf. Surat yang lain yakni al-Baqarah: 256 tidak membolehkan adanya paksaan dalam perkara agama. Ayat ini menegaskan bahwa keimanan seseorang atas suatu agama didasarkan atas pilihan sadar, bukan karena tekanan pihak luar.

· Secara historis, sejarah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat juga mengajar-kan bagaimana menerapkan prinsip toleransi dan menjamin kebebasan beragama, baik dalam hubungan dengan sesama Muslim maupun non-Muslim. Piagam Madinah pada 1 Hijriah, yang memuat tata hubungan antara suku-suku di Madinah, merupakan upaya Nabi untuk mencari titik temu di antara mereka tanpa menghilangkan keberadaan setiap kelompok atau etnis yang berbeda-beda itu. Apa yang dilakukan Nabi kemudian menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat Perjanjian Aeliya di Yerusalem ketika Islam menguasai wilayah tersebut. Perjanjian ini berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap seluruh penduduk Yerusalem, termasuk yang non-Muslim.

· Masalah — furu` (cabang) adalah domain dimana sesama umat Islam boleh berbeda, namun masing-masing penganut pendapat harus saling toleran dan perbedaan domain tidak menggiring umat kepada perpecahan. Sementara keharusan betoleransi terhadap NON MUSLIM juga sangat jelas, yakni kepada setiap orang ataupun kelompok yang tidak MEMERANGI kaum Islam, terhadap mereka berlaku kewajiban untuk berbuat ADIL, dengan bersikap toleran dan bahkan melindungi mereka. Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana ketika NABI Muhamad SAW pada sekitar tahun 10 Hijriah (631 M) menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran sebanyak 60 orang, Nabi menerima tamunya itu dengan sangat baik dan bahkan mengizinkan mereka yang Non-Muslim untuk beribadah (melakukan kebaktian) di Masjid Nabawi. Dari kisah ini jelas, Nabi sangat menjujung tinggi sikap dan perilaku toleransi bahkan terhadap kaum non-Muslim. Dan karena dalam Islam, Nabi merupakan uswah hasanah (contoh terbaik), sudah semestinya kaum Muslim di Indonesia juga menerapkan sikap dan perilaku seperti yang di contohkan Nabi Muhammad SAW itu.

· Kalau terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat, al-Qur’an surat an-Nahl: 125 juga telah menjelaskan bahwa bagaimana etika kita dalam mengatasinya yakni ; dengan hikmah (kebijaksanaan), maw’idoh hasanah (nasihat yang baik) dan jadilhum billati hiya ahsan (berdebat/berdialog secara santun).

C. Ajaran KRISTEN, sangat jelas dan tidak bisa ditawar-tawar dalam bertoleransi adalah dalil keharusan, dalam kelengkapan INJIL, kepada umatnya bahwa hanya dengan mengasihi sesama manusia yang sama kepada dirinya sendiri, jadi adalah tidak kristen sejati kalau tidak mengikuti dalil-dalil keyakinan tersebut dan dalam kisah Rasul-Rasul diingatkan lagi, kalau kamu memberi tumpangan kepada orang lain yang tidak kau kenal, maka secara tidak diketahui, kita telah memberi tumpangan kepada MALAIKAT, sangat begitu tinggi penghargaan dan sikap toleran kepada orang lain yang berbeda.

2. Sejak amandemen kedua UUD 1945 (Pasal 28e UUD ´45) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, jaminan atas kebebasan beragama menempati tempat yang tinggi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak dasar manusia.

3. Makna Pluralisme di Indonesia sudah terkandung dalam Pancasila, yang merefleksikan dirinya dalam sila Ketuhanan YME, namun demikian sampai sekarang ini budaya pluralisme atau peradaban pluralisme masih saja belum bisa melekat dalam hati sanubari dan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pluralisme pada umumnya di Indonesia hanya dipandang sebagai adanya kemajemukan, tapi belum dihayati dalam hati nuraninya. Oleh karena pluralisme hanya ditanggapi sebagai adanya kemajemukan, maka persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tidak akan terselesaikan, karena disini orang hanya melihat adanya kemajemukan saja, sedangkan pada tataran individu manusia, yaitu dimensi intern individu manusia-manusianya belum dapat menerima adanya pluralisme itu. Karena disini orang hanya melihat pluralisme dari satu dimensi saja, yaitu dimensi luarnya saja. Agar supaya kita dapat secara konsekuen menjalankan pluralisme, yang perlu juga kita tekankan adalah, pluralisme harus diterima dan dihayati dalam hati sanubari kita masing-masing, artinya Pluralisme harus dihayati dan dimengerti dalam empat dimensi, yaitu dimensi dalam, luar, tunggal dan jamak.

Pluralisme, Egaliterisme dan Multikulturalisme adalah merupakan bentuk terbaik dari perkembangan masyarakat. Kita sebagai bangsa Indonesia perlu meng-adaptasi dan menghormati „perbedaan (misalnya antara laki-laki dan perempuan), sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa“ dan diselaraskan dengan kenyataan, bahwasanya semua manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Kita semua tahu bahwa masyarakat Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, artinya terdiri dari bemacam-macam sukubangsa dengan agama, kepercayaan, keyakinan yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya kesatuan bangsa secara hakiki sangat diperlukan untuk mempertahankan bentuk negara pancasila yang demokratis, jika kita memang secara jujur dan iklas mau mempertahankan berdirinya NKRI ini. Kesimpulan ini didukung oleh adanya kenyataan bahwa kultur kita pada umumnya masih dipengaruhi paham agama. Kalau tidak ada kerangka demokratis maka ia mudah terpengaruh pada isu primordial. Ini tercermin oleh adanya pertengkaran-pertengkaran yang bersifat agama, seperti misalnya apa yang terjadi misalnya di Poso, Aceh dan di Jawa Barat akhir-akhir ini. Dari adanya kenyataan seperti itu, maka tidaklah mengheran-kan, jika budaya bangsa Indonesia saat kini masih mendua dalam pembentukan manusia-manusia yang berjiwa pluralis. Jadi pluralisme di Indonesia yang nampak masih sangat lemah sebenarnya bukan karena disepelekan, tetapi pluralisme itu memang perlu lebih dalam lagi menjiwai bangsa Indonesia, meskipun sudah ada Pancasila.

Ketuhanan YME dicantumkan dalam baris yang paling atas. Selama ini negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok anti pluralis yang melanggar hukum. Negara seolah-olah membiarkannya, maka ini akan berbahaya, bagi kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia !

Kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ajarannya bagi warga Negara Indonesia merupakan kebebasan yang dijamin oleh UUD RI 1945. Dengan dasar tersebut, sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, Indonesia tetap dapat menerapkan demokrasi yang menjunjung prinsip-prinsip toleransi dan saling pemahaman. Maka dari itu gerakan pluralisme di Indonesia harus terus dikembangkan, baik secara formal maupun secara informal. Gerakan kaum moderat di Indonesia yang menghargai pluralisme dan HAM harus kita dukung.

„Parlemen Eropa telah mengakui, bahwasanya demokrasi di Indonesia dapat berkembang karena meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia bukan negara Islam. Untuk itu, ruang bagi semangat toleransi, tepa-selira dan saling menghargai lebih terbuka lebar. Hal tersebut tertuang melalui Pancasila yang mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial. Kunci lain adalah Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam moderat, Islam yang terbuka terhadap perbedaan. Islam di Indonesia dapat menyeimbangkan kepercayaan dan toleransi. Presiden Republik Indonesia telah menyerukan untuk mendorong semangat toleransi dan kerjasama antara agama dan kepercayaan. Pertama, para pemimpin dunia harus memperkuat berbagai dialog antara budaya, agama, dan peradaban yang telah terselenggara. Ke-dua, para pemimpin politik dan keagamaan harus secara lantang menentang tindakan diskriminasi dan intoleransi. Ke-tiga, kekuatan kelompok moderat harus terus disebarkan ke seluruh dunia, dengan toleransi dan moderasi hendaknya sudah dikenalkan kepada generasi penerus sejak dini. Ke-empat, modernisasi dan globalisasi harus dapat dinikmati oleh semua pihak” (Kutipan dari: debat terbuka bertema “Increasing Understanding between Islam and the West” yang diselenggarakan oleh Parlemen Eropa bekerjasama dengan International Council for Inter-Religious Cooperation (ICIRC) di kantor Parlemen Eropa, Brussel, 8 Juni 2010).

4. Setidaknya, terdapat tiga tantangan mendasar terkait masalah ini, tantangan struktural, sosial dan kultural.

Salah satu problem utama yang mesti dipecahkan di ranah struktural terletak di aparat Negara, terutama dalam kelemahan kemampuannya untuk menegakkan hukum dan belum ada usaha yang memadai oleh pemerintah dalam penegakan dan pelaksanaan hak-hak beragama dan berkeyakinan.

„Enforcement of Law“ harus ditegakkan! Oleh karena lemahnya penegakan hukum, konflik laten seperti yang terjadi akhir-akhir ini sangat berpeluang memicu tindak persekusi massa yang dilakukan berulang-ulang.

Keberadaan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat (Bakorpakem) perlu ditinjau kembali dan jangan justru diperkuat dan masih tertera secara eksplisit di UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Bakorpakem telah menentukan pelabelan agama resmi dan agama tidak resmi. Pelabelan itu merupakan kesalahan paradigma dan inkonsistensi terhadap amandemen UUD 1945. Seharusnya di negara demokratis tidak ada pelabelan agama dan kepercayaan resmi dan tidak resmi, oleh karena agama tidak membutuhkan pengakuan Negara. Paradigma yang membedakan antara agama resmi dan tidak resmi harus diubah. Negara tidak bisa menentukan keyakinan setiap warganya. (Manusia tidak berhak mewakili Tuhan untuk menghakimi dan memvonis posisi penganut agama lain di mata Tuhan, karena Tuhan sendiri tidak mengajarkannya begitu.)

Setidaknya, ada beberapa hal yang menurut kami bisa dilakukan untuk mengatasi problem di atas. Pertama, pemerintah dan aparat terkait harus kembali menjalankan fungsinya sesuai undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Mereka tak boleh lepas tangan dan terkesan tersandera dengan pressure massa. Kedua, dari sisi regulasi, perlu usaha-usaha untuk meninjau kembali peraturan yang selama ini sering dipakai sebagai bargaining aksi persekusi. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus aktif melakukan dan mendukung „judicial review“ terhadap semua Perda-Perda yang isinya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagai dasar hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mengusut tuntas para pelaku perusakan rumah ibadah. Keempat, terkait pencabutan IMB oleh pemerintah daerah setempat perlu dilakukan langkah-langkah hukum seperti berhasil dilakukan HKBP Cinere atas keputusan wali kota Depok. Kelima, perbaikan kualitas komunikasi antar agama dan masyarakat setempat (bukan dengan jalan kekerasan tapi dengan jalan dialog/musyawarah).

Secara sosial, kesejahteraan rakyat harus diperhatikan dan ditingkatkan, karena kemiskinan dan pengangguran akan menyebabkan juga social conflict di masyarakat. Peristiwa – peristiwa yang terjadi di tanah air belakangan ini menunjukkan ada gejala-gejala sosial yang biasanya muncul karena kemiskinan, yang dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan tertentu dengan membagikan uang atau adanya kekurang pahaman karena rendahnya pendidikan di kelompok masyarakat tertentu, atau ada benturan kepentingan politis di antara kelompok kepentingan.

Banyaknya migrant penduduk dari desa-desa ke kota-kota besar telah menyebabkan pengangguran, karena pendatang dari pedesaan kebanyakan pendidikannya rendah dan sukar untuk mencari pekerjaan. Sebagai akibat perbedaan kaya — miskin tumbuh rasa iri-hati dan kesenjangan sosial, yang ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu.

Secara kultural pendidikan dalam bidang kesadaran multikultural „Bhinneka Tunggal Ika“ dan jaminan menganut kebebasan bergama dan kepercayaan tiap warga negara Republik Indonesia, dari mulai SD sampai dengan perguruan tinggi harus di-intensif-kan.

5. Maka dari itu, kami — Masyarakat Indonesia di Republik Federal Jerman — menyerukan:

1. Pelihara toleransi antar agama, antar kesukuan di dalam masyarakat majemuk multikultural dan multireligius di Indonesia !

2. Jangan mempergunakan agama untuk kepentingan-kepentingan politik!

3. Harus bersikap tegas dalam melaksanakan „Enforcement of Law“ dan mencegah pelanggaran-pelanggaran hukum yang mengganggu kerukunan beragama di tanah air kita! Polri harus menghentikan aksi anarkis massa dan memberikan perlindungan penuh pada setiap kegiatan ibadah setiap agama/kepercayaan, yang dijamin kebebasannya oleh UUD 1945!

4. Melarang ormas-ormas radikal, yang mempergunakan agama, untuk kepentingan politik dan membubarkan ormas-ormas yang telah terbukti mengganggu ketentraman hidup antar agama dan kepercayaan.

Dirgahayu Republik Indonesia dalam Tahun ke-65 Kemerdekaan !

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *