Pesta Pernikahan.


Belum lama ini, aku dua kali mendapat undangan untuk menghadiri pesta pernikahan. Kedua undangan tersebut kupenuhi. Yang pertama undangan menghadiri pesta pernikahan di salah satu Wisma yang cukup mewah di  Jl. Ahmad Yani di kota B, Wisma yang dimiliki oleh bekas panglima dari salah satu Kodam di Indonesia bagian timur.

Wisma ini hanya disewakan kalau ada acara pernikahan, acara ulang tahun, kalau ada rapat atau pertemuan dari berbagai instansi yang memerlukan tempat yang besar. Dari pengamatanku setelah melihat daftar para tamu yang datang, pernikahan antara dua mempelai yang hampir tidak berbeda usia maupun pendidikan ini, dihadiri oleh cukup banyak ”orang-orang penting”. Sebagai tamu yang diundang oleh pihak mempelai laki-laki, aku sempat juga menikmati satu kamar dari Wisma yang sudah dibayar sewanya oleh pihak yang mengundangku. ”Enak juga bisa tinggal di Wisma yang bagus dengan makanan yang cukup tersedia begini”, pikirku waktu itu.

Acara pernikahan kedua yang kuhadiri yang mempelai prianya bertitel SH (Sarjana Hukum) dan mempelai perempuannya bertitel S. STP (Sarjana Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) berlangsung di satu desa besar yang terletak di pinggiran kota L. Yang datang pada pesta ini sebagian besar  adalah   penduduk setempat. Sebelum acara resmi yang dilakukan pada malam hari, aku bersama para tetua di situ sudah diminta oleh juru masak untuk mencicipi dulu makanan yang akan dihidangkan pada malam itu. ”Lezat semua” kataku memuji makanan yang mereka suguhkan pada kami di siang hari itu.

Kata-kataku itu bukannya basa-basi, kenyataannya memang demikian. Rendang, sambal goreng, gado-gado, urap dan lain-lain lagi  semua lezat menurut ukuran lidahku, kecuali urap yang terasa terlalu banyak garam. Hanya saja pada pesta pernikahan yang kedua ini tidak dihidangkan pempek maupun tek wan makanan khas P, seperti yang dihidangkan pada pesta pernikahan yang pertama.

Baik pernikahan pertama maupun yang kedua yang sempat kuhadiri itu, susunan acaranya pada pokoknya sama saja. Sebelum  makan-makan dan  acara tari dan nyanyi yang diiringi dengan musik, didahului dengan upacara mendengarkan beberapa kata sambutan. Umumnya kata sambutan mereka itu tidak terlalu panjang kecuali satu yang agak membosankan  karena bertele-tele. Kuikuti dengan teliti isi kata sambutan mereka sejak dari kata pembukaan dari panitia, sambutan dari wakil mempelai laki-laki, sambutan dari wakil mempelai perempuan, sambutan dari wakil pemerintah setempat, sambutan dari wakil yang bertanggung jawab di bidang keagamaan dan terakhir kata sambutan dari wakil para undangan.

Setelah selesai acara mendengarkan sekian banyak kata sambutan, masih ada pembacaan al qur´an oleh seorang perempuan dan dua orang laki-laki secara berturut-turut dan kemudian ditutup dengan pembacaan do´a oleh salah seorang tokoh keagamaan. Do´a selamat, minta didatangkan rezeki dan menolak balak yang  berselang seling bahasa Indonesia dan bahasa Arab  yang disampaikan oleh tokoh keagamaan itu cukup panjang. Para hadirin tanpa kecuali menengadahkan dua telapak tangan ke atas dengan mengucapkan:”amin”, ”amin”.

Pada dasarnya semua pidato dari wakil mempelai laki-laki maupun perempuan berupa ucapan terima kasih atas kedatangan para tamu ke upacara pernikahan putera puteri mereka. Sedangkan kata sambutan yang lainnya berupa ucapan selamat kepada dua mempelai dalam membangun rumah tangga dan menempuh kehidupan yang baru.

Yang agak menarik perhatianku, juga tentunya menarik perhatian para undangan lainnya, adalah ketika mau mendengarkan sambutan dari wakil para undangan, pada upacara pernikahan dua mempelai yang sama-sama bertitel sarjana itu. Melalui mikrophun terdengar kata-kata dari panitia: ”Sebagai wakil dari para undangan, kami persilahkan Bapak Kabul menyampaikan sepatah dua patah kata”. Tapi Bapak Kabul yang diminta berpidato itu tidak muncul. Sekali lagi panitia berbicara dengan sopannya melalui mikrophun: ”Sebagai wakil dari para undangan, kami persilahkan Bapak Kabul menyampaikan kata sambutannya”.

Pak Kabul tidak muncul juga. Hanya setelah panggilan ketiga dari panitia baru berdiri seseorang yang berbadan agak tinggi kurus, berkopiah putih dan ternyata duduk di samping sebelah kananku. Sebelumnya kami sudah berjabatan tangan tapi aku tidak mengenal namanya. Bapak Kabul langsung naik ke atas panggung memegang mikrophun mengetuk-ngetuknya dulu dengan telunjuk sampai 3 kali dan berbicara, sesuai dengan permintaan panitia.

Agak berbeda dengan para pemberi kata sambutan sebelumnya yang mengawali kata sambutannya dengan:”Assalamualaikum warrahmatullah hi wabarokatu” sedang Pak Kabul memulai pidatonya tanpa mengucapkan assalamualaikum lebih dulu. Dia langsung saja memulai kata sambutannya dengan kalimat:”Saya ini sudah pernah pergi ke Mekkah, bersama si A, si B, si C”  dan seterusnya. Kemudian diteruskannya dengan ucapan selamat membangun rumah tangga pada mempelai dengan mengatas namakan para undangan.

Dari ucapan Pak Kabul itu para hadirin terutama panitia memahami bahwa Pak Kabul merasa dikecewakan, karena gelar Hajinya tidak disebut ketika panitia mempersilahkannya memberi kata sambutan. Karena itu setelah Pak Kabul selesai dengan pidato singkatnya, panitia segera menyampaikan ucapan terima kasih  dan secara resmi mengucapkan nama  Bapak Haji Kabul.(17 April 2010).

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *