Perpres Dicabut, Bagaimana Nasib Subsidi Beli Mobil Pejabat


Penambahan jatah uang muka, alias panjar itu diprotes keras masyarakat

Presiden Joko Widodo memastikan mencabut kebijakannya tentang penambahan jatah uang muka, alias panjar bagi pejabat negara untuk membeli mobil, atau kendaraan pribadi.

Kebijakan yang dimuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tersebut, diprotes keras masyarakat dalam sepekan terakhir.

Presiden, sebagaimana disampaikan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, telah memerintahkan Sekretaris Kabinet untuk menerbitkan Perpres untuk membatalkan Perpres tentang uang panjar membeli mobil para pejabat negara itu.

“Presiden menyampaikan untuk memerintahkan kepada kami, Seskab (Sekretaris Kabinet) dan Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara) untuk mencabut Perpres itu,” kata Pratikno, usai mendampingi Kepala Negara bertemu pimpinan DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 6 April 2015.

Uang apa?

Publik tak banyak tahu keberadaan uang itu –apalagi nilai dan peruntukannya– sampai diberitakan media massa, lalu menuai protes masif dari berbagai kalangan. Sejumlah politikus/legislator partai pendukung Presiden pun mengecam kebijakan itu.

Kebijakan pemberian uang jatah bagi para pejabat penyelenggara negara itu sesungguhnya bukan hal baru. Kebijakan itu sudah ada di masa pemerintahan sebelumnya, tetapi di era pemerintahan Jokowi ditambah, atau ditingkatkan nilainya.

Pada masa sebelumnya, sebanyak Rp116.650.000, atau lebih Rp116 juta, lalu ditambah menjadi Rp210.890.000, atau lebih Rp210 juta.

Uang itu hanya diberikan kepada pejabat negara di luar pemerintah dan tidak berlaku untuk kepala lembaga negara. Mereka yang menerima uang itu antara lain, 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah, 40 Hakim Agung (Mahkamah Agung), sembilan Hakim Konstitusi (Mahkamah Konstitusi), lima angggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan tujuh anggota Komisi Yudisial. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran negara lebih Rp158 miliar untuk kebutuhan itu.

Pimpinan, atau kepala lembaga-lembaga itu tidak menerima, karena mereka telah diberikan mobil dinas yang merupakan fasilitas negara.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, menjelaskan bahwa uang muka itu bukan untuk mobil dinas, melainkan dana untuk perorangan para pejabat untuk membeli mobil pribadi.

Dalam kalimat versi sederhana: pejabat-pejabat itu diberi sejumlah uang oleh negara sebagai uang muka, atau panjar, alias persekot untuk membeli mobil pribadi.

Alasan para pejabat itu difasilitasi, atau dibantu oleh negara untuk membeli mobil. karena mereka tidak mendapatkan mobil dinas, sedangkan mereka bekerja untuk negara, buat rakyat pula. Nilai uang ditambah, karena harga mobil yang meningkat akibat inflasi. Pepres sebelumnya yang menganggarkan Rp116 juta per pejabat disebut tak mempertimbangkan inflasi, sehingga harus direvisi, alias dinaikkan.

“Karena inflasi, harga mobil juga sudah berubah, sehingga ada perbaikan (nilai uang muka),” kata Menteri kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Kamis 2 April 2015.

Uang itu tidak dialokasikan satu satu pos anggaran, melainkan dijatahkan di masing-masing anggaran lembaga negara. Disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (3) Perpres Nomori 39 Tahun 2015: alokasi anggaran dalam rangka pemberian fasilitas uang muka … dibebankan pada anggaran Lembaga Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penetapan penambahan nilai uang muka itu, kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, juga telah mempertimbangkan kemampuan fiskal pemerintah. Bahkan, angka itu sudah dikurangi dari usulan awal DPR.

Khilaf

Presiden memutuskan membatalkan Pepres itu, setelah diprotes banyak kalangan. Protes keras, bahkan dari partai pengusung Jokowi, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Seorang legislator partai itu, TB Hasanuddin, menyebut kebijakan Presiden tak sensitif atas keadaan rakyat. Publik kini terdesak pemenuhan kebutuhan pokok, sedangkan harga-harga melambung. Presiden malah menaikkan fasilitas bagi pejabat.

Timing-nya (waktu) kurang tepat, ketika rakyat sedang terjepit dengan harga-harga sembako akibat naiknya harga BBM (bahan bakar minyak),” kata Hasanuddin, yang juga Ketua PDIP Jawa Barat, melalui keterangan pers pada Minggu 5 April 2015.

Menurut Hasanuddin, Jokowi tak konsisten dengan kebijakannya dalam upaya efisiensi anggaran. Dia, bahkan menyoal juga kendaraan dinas para menteri Kabinet Kerja. “Dulu menteri rencananya mau pakai Innova (kisaran harga Rp300 juta) sebagai koreksi, atau pengganti Camry (Rp550 juta). Eh, yang dibeli, kok malah Lexus yang Rp2,8 miliar. Maungemeng demi rakyat gimana?”

Legislator Partai Golkar yang juga Ketua Komisi XI DPR, Fadel Muhammad, terang-terangan menyebut kebijakan itu “keterlaluan.” Menurutnya, kebijakan itu tak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran yang dikampanyekan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Belakangan, Presiden mengakui ada kelalaian atas kebijakan itu. Presiden tak terang-terangan mengakui kesalahan, melainkan hanya bilang tidak mencermati satu per satu usulan peraturan yang harus ditandatanganinya, termasuk Perpres itu. Dia malah menyalahkan Kementerian Keuangan yang tak menyeleksi kebijakan yang termasuk prioritas dengan yang tidak.

“Tidak semua hal itu saya ketahui seratus persen. Hal seperti itu harusnya di kementerian. Kementerian men-screening (menyeleksi), apakah itu akan berakibat baik, atau tidak baik untuk negara ini,” kata Presiden kepada wartawan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu 5 April 2015.

Jokowi berkilah bahwa tak mungkin seorang Presiden memeriksa satu per satu dan terperinci usulan kebijakan yang harus dia setujui, atau ditolak. Kalau memang harus begitu, tak ada gunanya Presiden memiliki pembantu seperti para menteri.

Presiden menolak disebut kecolongan. Dia hanya menjelaskan bahwa setiap kebijakan yang melibatkan uang negara yang besar seharusnya dibahas dalam rapat terbatas, atau rapat kabinet.

Jokowi juga meminta pers memeriksa bahwa Perpres itu bukan atas inisiatif Presiden, melainkan usulan DPR. Regulasi itu bersifat normatif, sebagaimana berlaku pula dalam pengangkatan pejabat negara yang dipilih melalui mekanisme di DPR, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden.

 

Usulan DPR

Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, yang lebih mengerti teknis urusan Perpres itu mengaku bahwa kebijakan itu berdasarkan permintaan DPR. “Waktu itu, surat dari Ketua DPR tentang permintaan penyesuaian uang muka itu diterima awal Januari. Kalau nggak salah 5 Januari 2015. Kami proses pada Februari, kira-kira pertengahan Februari dapat persetujuan dari Menkeu (Menteri Keuangan),” ujar Andi di Istana Kepresidenan, Kamis 2 April 2015.

Andi menjelaskan, DPR semula mengusulkan kenaikan menjadi Rp250 juta. Namun, setelah dikaji oleh Menteri Keuangan, subsidi uang muka yang disepakati adalah Rp210 juta. “Lalu, kami sampaikan ke Presiden dengan penejalasan bahwa ini rutin dilakukan dan sudah ada permintaan dari Ketua DPR, baru Perpres-nya turun,” ujarnya.

Menkeu Bambang Brodjonegoro memang, kemudian menjelaskan duduk perkara jatah uang panjar itu. Tetapi, dia sebelumnya mengaku tak tahu-menahu. Kala itu, dia bilang: “Saya belum dapat informasi soal itu. Jadi, belum bisa menjelaskan.”

Ketua DPR, Setya Novanto, tak menampik lembaganya memang mengusulkan penambahan besaran uang persekot untuk membeli mobil bagi pejabat negara. Tetapi, dia menolak tudingan bahwa DPR mengusulkan secara diam-diam, karena Perpres itu sudah dibahas cukup lama antara Pemerintah dengan Parlemen.

Novanto menjelaskan dasar, atau latar belakangan kebijakan subsidi untuk para pejabat itu, yakni para pejabat penyelenggara, terutama DPR harus bekerja lebih keras. Dia mencontohkan, anggota Dewan yang dituntut rajin menemui masyarakat untuk mendengarkan aspirasi mereka.

Semua pekerjaan itu, kata Novanto, perlu didukung sarana dan prasarana yang memadai, agar hasilnya optimal. Di antaranya, ialah sarana kendaraan. Anggota DPR tidak mendapatkan fasilitas mobil dinas, sehingga negara perlu menganggarkan uang untuk pembelian kendaraan. Tidak semua, melainkan hanya sebagai uang muka.

“Tentu didasarkan kondisi kebutuhan atas mobilitas kinerja, meski pun kita serahkan kepada kemampuan keuangan negara,” kata Novanto, seraya menambahkan bahwa pimpinan Dewan bisa menuntut anggotanya bekerja lebih giat ketika sarana dan prasarana telah memadai atau mendukung.

Potensi korupsi

Kebijakan pemberian uang panjar untuk membeli mobil bagi pejabat negara itu tak gugur, meski Presiden menerbitkan Perpres untuk membatalkan Perpres Nomor 39 Tahun 2015.

Soalnya, Perpres sebelumnya, yakni Perpres Nomor 68 Tahun 2010 masih berlaku. Perpres yang (akan) dibatalkan Jokowi adalah yang mengamanatkan penambahan nilai uang muka Rp210 juta. Sedangkan Perpres yang mengamanatkan pemberian uang panjar Rp116 juta masih berlaku.

Sebagian kalangan bukan hanya mengkritik kebijakan itu tak selaras dengan semangat penghematan anggaran, melainkan juga berpotensi terjadi tindak pidana korupsi.

Menurut Koordinator Advokasi Investigasi Seknas Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi, pada 2010, uang muka itu tak digunakan sebagaimana mestinya, yakni untuk mobil. Soalnya, para pejabat sudah banyak mempunyai mobil. Peruntukan uang muka itu tidak jelas dan, bahkan tidak ada diaudit.

Kebijakan tersebut juga akan memancing tindak korupsi lain, yakni untuk melunasi sisa pembayaran mobil. “Mereka akan fokus bekerja untuk melunasi mobil, bukan untuk rakyat. Jokowi telah memberikan stimulus pejabat untuk lakukan korupsi,” ujarnya.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, menepis tudingan Fitra. Menurutnya, mekanisme pencairan anggaran itu diserahkan penuh kepada masing-masing lembaga negara. Begitu juga, dengan kriteria yang harus dipenuhi pejabat yang akan menerima fasilitas itu.

Realisasi atau penggunaan anggaran itu pun, katanya, akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit untuk memastikan akuntabilitas penggunaan anggaran.

“Semua ada mekanisme, efisiensi tetep dilakukan. Sekretaris Jenderal DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial sudah menganggarkan, mekanisme penganggaran lima tahun sekali,” tambahnya.

Fitra memiliki tudingan lain, yakni kebijakan itu bertentangan dengan kebijakan besar pemerintahan Jokowi-JK tentang pembangunan sistem transportasi publik. Memfasilitasi pejabat negara untuk membeli mobil pribadi sama dengan menambah kendaraan perorangan memenuhi lalu lintas.

“Memprovokasi (mendorong) masyarakat untuk membeli mobil pribadi dan tidak memakai transportasi publik. Ini kebijakan yang menyimpang,” Apung menambahkan.

Tudingan itu ditanggapi ala kadarnya oleh Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto. Menurutnya, kebijakan itu tidak akan bertentangan dengan niat pemerintah DKI Jakarta yang hendak mengatasi masalah kemacetan.

“Kami membacanya 25 tahun ke depan Jakarta lancar luar biasa. Kalian (media/pers) nariknya terlalu jauh. Ini kendaraan dipakai tiga tahun lagi selesai, mass transport (transportasi publik) baru siap lima tahun,” ujar Andy.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

3 thoughts on “Perpres Dicabut, Bagaimana Nasib Subsidi Beli Mobil Pejabat

  1. James
    April 8, 2015 at 12:27 am

    ya menghemat saja napa susah ? beli mobil biasa kagak usah beli mobil mewah, kan simpel ?

  2. James
    April 8, 2015 at 12:28 am

    jangan Aji Mumpung uang Rakyat !

  3. Pengamat
    April 8, 2015 at 12:36 am

    naik Bemo saja murah meriah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *