Peringatan Tragedi Mei’98


 

6b04c201-e984-47e3-9896-cfba6273ba0b (1)Dilaporkan oleh: Dr.Irawan.

Glendora , May 15, 2016 / Indonesia Media

Kali ini Peringatan Tragedi Mei’98 di sponsori oleh UCLA berkat bantuan dari

Prof. Juliana Wijaya dari Center of South East Asian Studies UCLA (CSEAS).

Dengan mendatangkan dua pembicara guru besar dari Indonesia yaitu Prof.DR.

Esther Kuntjara , dari Petra University , Surabaya. Dan satunya lagi Prof.DR. Anita

Lie, mantan dekan dari Fakultas Sastra ,Petra University, Surabaya.

Sebagaimana biasanya acara dibuka oleh ketua Umum ICAA (Indonesian Chinese

American Association), DR.Frits Hong. Yang sekaligus memimpin pengheningan

cipta terhadap korban Tragedi Mei’98. Menurut DR.Hong, peringatan semacam ini

senantiasa tidak boleh pernah dilupakan, karena ini adalah sejarah yang banyak

membawa pelajaran dan inspirasi untuk kita semua demi menuju hari kedepan

yang lebih baik.

Meskipun acara ini bukan digelar pada hari Sabtu, melainkan pada hari Minggu

jam 4:00 sore, rupanya masih memikat audiens untuk datang dari berbagai arah

dikawasan Los Angeles. Kelihatannya acara tahun ini dihadiri lebih banyak

golongan masyarakat, sehingga tempat pertemuannya dirasakan terlalu padat.

Untuk itu panitia akan mengusahakan tempat yang lebih memadai untuk acara

tahun depan.

Materi dari pembicara kedua guru besar ini umumnya adalah sama dengan apa

yang telah disampaikan pada Symposium Indonesian American A Diversity of

Perspectives yang kemarin tanggal 14 Mei, 2016 di UCLA (untuk itu silahkan baca

artikel tersebut di majalah terbitan ini….red). Maka pada laporan ini akan kami

muat hanya tambahannya atau topic yang belum dibahas pada symposium

kemarin di UCLA.

Prof. Esther Kuntjara mengatakan bahwa untuk meningkatkan rasa toleransi

antara Tionghoa Indonesia dengan yang lainnya, perlu mempertimbangkan segala

sesuatu yang kita lakukan, yaitu harus untuk kepentingan orang banyak. Jadi

bukan hanya untuk kepentingan Tionghoa saja. Contohnya phenomena Ahok

sebagai gubernur DKI dalam menata Jakarta dirasakan kegunaannya untuk orang

banyak, bahkan yang namanya “Teman Ahok” itu malah umumnya adalah orang

yang bukan dari golongan Tionghoa.

Rasa kebersamaan dari lintas suku harus dipupuk oleh orang Tionghoa kepada

komunitas disekitarnya agar saling pengertian dan kepedulian antar sesame

warga bisa berkembang lebih baik, dan pada gilirannya akan menurunkan

prasangka rasial di Indonesia. Beliau memberi contoh kecil sehari-hari tentang

bagaimana berinteraksi dalam masyarakat.

Prof. Anita Lie mengatakan selama ini Tionghoa di Indonesia bisa dikatagorikan

diperlakukan sebagai Kelinci Percobaan , sapi Perahan dan terakhir dikambing

hitamkan. Karena orang Tionghoa di Indonesia terkesan tidak berani melawan,

mereka memang terrepresi setelah 1965 dimana Orde Baru mengambil

kekuasaan dari tangan Soekarno. Peraturan ganti nama juga telah menghilangkan

marga sebagian orang Tionghoa, sampai ada yang tidak tahu lagi marganya.

Selama ini juga profesi orang Tionghoa terasa dibatasi. Pekerjaan dibidang PNS

dan tentara masih sangat minim sekali. Padahal bukan sedikit pahlawan perang

dari kaum Tionghoa yang terlibat dalam perang kemerdekaan RI.

Reformasi 1998 merupakan titik balik, dimana pembatasan terhadap Tionghoa

berangsur lebih baik. Sekarang mulai terlihat beberapa orang Tionghoa yang

masuk di tentara dan kepolisian, pejabat sipil pun mulai lebih banyak. Dengan

adanya sepak terjang Ahok dalam membuat Jakarta yang lebih baik, diharapkan

lebih banyak lagi nantinya orang Tionghoa bisa memberikan sumbangsihnya

kepada Negara.

Dalam event peringatan Tragedi Mei ’98 kali ini tercatat beberapa masukan dari

komunitas kami disini, antara lain;

Densy Chandra menghimbau agar umat Katholik Indonesia disini agar membaur

dengan archdiocese dilokal nya masing-masing, untuk menunjukan kebersamaan

dengan masyarakat setempat. Disisi lain masih dirasakan keperluan umat Katholik

yang datang dari Indonesia yang belum terbiasa dengan layanan ibadah dalam

bahasa Inggeris.

Dr.Tjio Hock Tong: Menurutnya masalah Tionghoa sebenarnya tidak perlu dibuat

terlalu kompleks, yang terpenting adalah mengenal identitas mereka, dan

mengenal sejarahnya.

Butce Li : Cucu keturunan Raja Maros (Sulawesi) ini, mencoba menampilkan

busana yang merangkul semua kebudayaan Nusantara, kendati ciri-ciri Ke-

Tionghoa-annya masih terlihat dari nuansa warna nya.

Bob Jokiman : Sudah saatnya kita membicarakan tentang Ahok, karena semakin

menarik sepak terjangnya .

Agus dan Andy Lamendola: Mari kita buat pertemuan untuk bahas phenomena

Ahok. Akan menjadi semakin menarik kepedulian Diaspora Indonesia terhadap

tanah air.( DI / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Peringatan Tragedi Mei’98

  1. Perselingkuhan+Intelek
    May 27, 2016 at 7:51 pm

    peristiwa Mei ’98 akan terukir kuat sekali terutama bagi Keturunan Tionghoa, begitu terpuruknya Keadaan di Idonesia dari masa ke masa tanpa ada hentinya dan akan ulang terulang juga tanpa habisnya, meski Gus Dur sudah berusaha sekuat tenaga menjadi warga keturunan Tionghoa di Indonesia dalah salah satu suku di Indonesia

Leave a Reply to Perselingkuhan+Intelek Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *