Pengadaan uang plastik Rp 100 ribu, terkait dengan tudingan suap


Beberapa bekas pejabat yang mengetahui proyek dipanggil.   Menurut sumber Tempo di BI, tim audit memeriksa Mardiyo, mantan Deputi Direktur Peredaran Uang Bank Indonesia. Besoknya giliran Made Sudana, bekas kepala bagian di Direktorat Peredaran Uang. “Yang diperiksa dari staf hingga direktur,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi. Informasi dan kronologi yang tertera dalam dokumen dicocokkan dengan keterangan mereka.

Tim audit juga sudah memanggil dua nama lainnya. Beberapa sumber Tempo mengatakan, dua bekas pejabat adalah Herman Y. Susmanto, bekas Direktur Peredaran Uang, dan Christian Sudirja, eks Deputi Direktur Peredaran Uang. Empat mantan pejabat yang sudah pensiun tadi bertanggung jawab atas proyek pencetakan uang berbahan baku polimer pecahan Rp 100 ribu pada 1999.

Kisahnya bermula sebelas tahun lalu. Securency dan Note Printing Australia ditunjuk untuk mencetak 500 juta bilyet pecahan Rp 100 ribu bergambar Soekarno-Hatta. Penunjukan anak usaha bank sentral Australia itu diputuskan di level direktur. Nilai kontraknya US$ 55,5 juta. Sebagai makelar proyek, pengusaha Radius Christanto mendapat komisi US$ 3,65 juta. Radius menjadi mediator Reserve Bank of Australia di Jakarta dari 1999 hingga 2006.

IDE mencetak pecahan baru Rp 100 ribu disampaikan Herman Yoseph

Bank Indonesia

Susmanto, Direktur Per edaran Uang ketika itu, dalam sebuah rapat bersama jajaran direksi Bank Indonesia kini namanya Deputi Gubernur Bank Indonesia awal 1999. Direktorat Peredaran Uang beralasan, bank sentral butuh persediaan rupiah untuk mengantisipasi ledakan millennium bug.

Bank sentral waswas, ketika tahun berganti ke 2000, sistem komputerisasi di dunia perbankan kolaps. Fenomena ini dikhawatirkan memicu penarikan dana besar-besaran. “Apalagi trauma di Indonesia akibat rush 1998 belum hilang,” kata Difi A. Johansyah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Bank Indonesia. Otoritas moneter di seluruh dunia ketika itu sepakat menambah stok uang tunai mereka hingga minimal tiga kali lipat.

Bank Indonesia lalu meminta Peruri mendesain gambar pecahan Rp 100 ribu. Setelah desain rampung, BI menunjuk Note Printing Australia untuk mencetak pecahan tertinggi dalam sejarah peredaran uang di Indonesia itu. “Pesanan ke Australia dilakukan karena kapasitas Peruri sudah tidak mencukupi,” kata Toni Pandelaki, Sekretaris Perusahaan Peruri. Sebelumnya, Peruri sudah menggarap proyek mencetak rupiah dengan berbagai nilai nominal sebanyak lima miliar bilyet.

Logo Bank Indonesia

Peruri juga tidak bisa memenuhi permintaan karena pecahan Rp 100 ribu dicetak memakai bahan polimer. “Hingga kini kami tidak memiliki teknologi yang memungkinkan pemakaian polimer dengan teknik cetak intaglio suhu tinggi,” ujar Toni. Kalaupun harus digarap, Peruri butuh investasi untuk membeli mesin coating, sedangkan kebutuhan mencetak uang pada masa itu sudah mendesak.

Kenapa dipilih polimer? Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi, selain bersih dan bentuknya bagus, uang dari polimer lebih awet 2,5 kali lipat. “Setelah ada pembicaraan dengan Dewan Gubernur, diputuskan menggunakan bahan polimer,” kata Budi. Pemakaian uang berbahan polimer ketika itu lagi ngetren. Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam memakai bahan ini.

Pada awal Mei 1999, Radius menyampaikan saran untuk eksekutif Securency yang, menurut pengakuannya, disusun bersama “teman” di Bank Indonesia.

Logo Peruri

Isinya: agar Securency menggelembungkan harga 20 persen pada tawaran pertama. “Teman kita akan membalas bahwa harga itu terlalu tinggi dan minta diturunkan,” kata Radius. Securency lalu diminta mengirim tawaran kedua yang besarnya 15 persen dari nilai kontrak. Radius mengatakan selanjutnya “teman” di bank sentral akan me ngeluarkan tawaran final yang nilainya 5 persen lebih rendah dari tawaran Securency.

Tiga hari setelah itu, Radius mengirim faksimile, menagih komisi US$ 3,65 juta. Tidak berhenti sampai di situ. Faksimile itu juga menjelaskan bahwa Securency sebelumnya sudah setuju membayar US$ 1 juta buat “Mr S” di Bank Indonesia. Ia juga menyarankan agar Securency mengirim sedikitnya US$ 250 ribu buat “Mr M”. Nama yang disebut terakhir ini bertugas menulis estimasi biaya yang mesti dikeluarkan Bank Indonesia pada saat Securency dan Note Printing Australia mengirim hasil cetakan uang.

Akhir Juli tahun itu, cicilan pertama proyek dibayar oleh Bank Indonesia. Radius lalu mengirim faksimile ke Securency, meminta agar jatah komisinya ditransfer ke rekening Bank of New York di Singapura. Dia juga mengingatkan bahwa “teman” di Bank Indonesia selalu menanyakan kapan komisi buat keduanya dibayarkan.

Menurut Radius, teman-temannya di BI berjanji akan meng amankan proyek ini. Para pesaing Securency akan dicegah, sehingga tidak akan menang dalam

Box penyimpan uang Peruri

kontrak pada masa mendatang. Pejabat di Bank Indonesia juga berkomitmen mengakhiri tender uang kertas berbahan kapas untuk pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu, untuk diganti dengan uang plastik. Kenyataannya, kontrak baru pengadaan uang plastik tidak pernah ada.

Belakangan, tidak semua pesanan uang Rp 100 ribu dicetak di Australia. Rupanya, Note Printing Australia ketiban bejibun order. Sekitar 25 persen pesanan dialihkan ke Bank of Thailand. “Ini sesuatu yang tidak lazim karena menyangkut keamanan,” kata seorang pejabat di Kebon Sirih, kantor Bank Indonesia. Pencetakan ma ta uang jenis yang sama di beberapa tempat, kata dia, bisa memicu pemalsuan. Faktanya, setelah dicetak di Australia dan Thailand, kasus pemalsuan uang plastik Rp 100 ribu merebak. Bahan polimer yang diklaim lebih aman ternyata mudah dipalsukan. “Karena tidak ada benang pengaman,” kata pejabat tadi.

Budi Rochadi mengakui soal kelemahan ini. “Pengamanan uang berbahan polimer minim, sehingga gampang dipalsukan,” katanya. Bahan polimer yang katanya awet ternyata tidak cocok dengan iklim tropis berhawa panas. Tiga tahun lalu bank sentral menarik uang plastik Rp 100 ribu, kemudian menggantinya dengan uang kertas berbahan kapas.

Herman Y. Susmanto. Bekas Direktur Peredaran Uang ini mengatakan BI tidak pernah menggunakan jasa Radius. “Kami berhubungan langsung,” katanya, Rabu pekan lalu. Negosiasi dilakukan oleh panitia independen yang diketuai bekas Direktur Bank Indonesia Dono Iskandar Djojosubroto.Ketika menjabat, Herman bertanggung jawab atas pencetakan uang pada saat itu. Namun dia membantah inisial “S” yang dilansir harian The Age adalah “Susmanto” yang tak lain adalah dirinya. “Kita tidak tahu apa ‘S’ itu saya,” katanya. Kebenaran dokumen faksi mile itu, kata Herman, harus dibuktikan terlebih dulu. Namun Herman mengaku kenal Radius. “Setahu saya dia itu agen mesin TNT, mesin hitung uang buatan Jerman,” katanya. Ia menegaskan, selama menjabat, BI tidak pernah membeli alat dari Radius.

Pensiunan bank sentral ini juga mengaku sudah memberikan keterangan ke tim audit internal. “Saya sedang menyelesaikan laporannya,” kata Herman kepada Mahardika Satria Hadi dari Tempo, Jumat sore pekan lalu. Herman yakin, proses percetakan itu tidak ada penyimpangan. Hal itu sudah dibuktikan dari audit laporan keuangan Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut Difi A. Johansyah, juru bicara BI, bila terbukti ada penyelewengan, persoalan ini harus dibawa ke ranah hukum.

(Yandhrie Arvian, Padjar Iswara, Fery Firmansyah, Agus Supriyanto melaporkan dan edited by IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *