Pelibatan TNI Dalam Penanggulangan Terorisme Harus Diatur dengan Jelas


Rencana pemerintah yang akan memberikan peran lebih besar kepada TNI dalam penanggulangan terorisme, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Rencana yang akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres ) itu harus diatur dengan jelas, untuk menghindari potensi pelanggaran HAM. Hal ini mengemuka dalam diskusi dan seminar daring (webinar) yang digelar Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) pada Kamis (19/11).

“Kita mengapresiasi niat baik pemerintah untuk memberantas terorisme. Tetapi jangan sampai hal itu melanggar HAM dan memberangus pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah,” ujar I Gede Widhiana, pakar hukum pidana Unej saat menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.

Potensi permasalahan dalam pelibatan TNI untuk penanganan terorisme, antara lain terjadi pada aspek penanganan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat. Seperti kemungkinan terjadinya kasus salah tangkap atau bahkan hingga meninggal dunia terhadap terduga terorisme. Hal ini bisa menjadi masalah ketika dilakukan oknum aparat militer.

“Peradilan militer kita tahu juga diisi oleh personel militer dengan akses publik yang terbatas. Adapun peradilan koneksitas (melibatkan penegak hukum sipil untuk kasus personel militer) untuk saat ini masih cukup sulit diterapkan. Memang ada wacana penghapusan peradilan militer, tetapi itu sepertinya masih jauh” papar Gede yang juga Ketua Jurusan Pidana FH Unej ini.

Secara umum, terdapat tiga perspektif kebijakan negara yang berkembang di berbagai belahan dunia untuk mengatasi persoalan terorisme. Perspektif pertama, adalah yang menempatkan terorisme sebagai perang (war on terror) sebagaimana yang dipraktikan pemerintahan AS di bawah Presiden George W. Bush. Perspektif kedua, yakni menempatkan penanganan terorisme sebagai sebuah sistem peradilan pidana. Terakhir, perspektif kebijakan yang menempatkan terorisme sebagai akibat dari problem sosial di masyarakat, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan sebagainya.

“Mana yang paling efektif? Sejauh ini memang belum ada riset yang secara khusus karena harus ada tolak ukur yang jelas untuk menyebut keberhasilan penanganan terorisme. Tetapi kita bisa melihat di negara-negara maju yang lebih mengedepankan aspek pencegahan,” ujar peraih PhD dari Queensland University of Technology (QuT), Australia ini.

Gede mencontohkan Selandia Baru yang termasuk negara yang terbilang minim kasus terorisme. Serangan di dua masjid yang terjadi di Christchurch tahun 2019 lalu, menjadi serangan teror yang pertama kali terjadi selama beberapa tahun terakhir di negara Samudera Pasifik tersebut. Minimnya serangan terorisme di Selandia Baru juga berkorelasi dengan keberhasilan pemerintah setempat mengatasi kesenjangan.”Di sana, menjadi miskin itu seperti sebuah pilihan,” ujar Gede setengah berkelakar.

Hal ini berbeda dengan di negara yang terbilang tinggi kasus terorismenya. Pada saat yang sama, tingkat korupsi dan kemiskinan juga tinggi.

“Sehingga ajakan melakukan teror biasanya diiringi dengan tawaran seperti alternatif mengganti sistem negara. Ini memang tidak logis tetapi juga menjadi alat propoganda yang cukup efektif menyasar beberapa kalangan,” tutur Gede yang menulis disertasi tentang deradikalisasi napi terorisme di sejumlah lapas di Indonesia ini.

Karena itu dalam rangka pencegahan terorisme, pemerintah juga disarankan untuk fokus menangkal penyebaran paham radikal. Sebab, pemidanaan merupakan ‘jalan terakhir’ untuk mengatasi terorisme. “Ini PR besar pemerintah. Kalau dalam penanganan Covid, pemerintah menyiapkan vaksin. Maka dalam kebijakan antiterorisme, pemerintah harus menyiapkan vaksin berupa antiradikalisme. Sebab, sifat hukum pidana adalah ultimum remedium atau the last option,” ujar Gede.

Peringatan senada juga disampaikan Amira Paripurna, dosen pidana yang juga peneliti Pusat Studi HAM Unair Surabaya. Rancangan Perpres tentang pelibatan TNI untuk penanganan terorisme yang kini sedang dibahas pemerintah, dinilai Amira masih banyak ketidakjelasan.

“Di dalam Raperpes tersebut, pelibatan TNI hanya atas dasar perintah presiden. Ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI yang harus melalui keputusan politik negara,” tutur Amira.

Potensi permasalahan lain, Raperpres tersebut juga memuat pasal yang membuka ruang untuk pendanaan penanganan terorisme di luar anggaran negara. “Ini bisa menimbulkan masalah. Sumber dana dari mana, karena ini bisa bertentangan UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI,” ujar peraih PhD dari University of Washington, Amerika Serikat.

Potensi masalah juga terjadi ketika TNI diberi kewenangan melakukan penindakan. Seperti ketika TNI diberi kewenangan untuk menangkap orang yang diduga terlibat terorisme.

“Meskipun nantinya tetap saja harus diserahkan ke polisi, tetapi situasi di lapangan bisa berbeda. Misalnya terduga pelaku itu akan ditaruh di tempat tersembunyi milik militer. Ini berpotensi melanggar prinsip free trial. Karena seperti ketika proses di kepolisian, tersangka juga berhak mendapat pendampingan dari pengacara,” papar Amira.

Perbantuan TNI untuk penanganan terorisme sudah dilakukan saat ini dengan pembatasan waktu tertentu. “Pelibatan TNI itu memang bisa dan perlu tetapi jangan sampai ada impunitas. Misalnya dalam prosesnya terjadi pelanggaran hukum oleh personel militer, siapa yang akan menangani. Karena peradilan militer masih tertutup,” papar Amira.

Sementara itu, Mukhamat Liberty Ady Surya, kandidat doktor dalam bidang terorisme di Queensland University of Technology (QuT) menekankan pentingnya keterlibatan lembaga negara lain untuk bersama-sama menangani terorisme.

“Sebenarnya ada lembaga lain yang punya peran penting. Seperti Dirjen Lapas, yang menangani napi terorisme dan juga Kementerian Sosial untuk membantu mantan napiter,” ujar Ady yang juga perwira menengah (pamen) di Mabes Polri ini.

Dari sejumlah penelitian, menurut Ady, hanya empat persen mantan napi terorisme yang kembali mengulangi perbuatannya. Namun Ady menekankan, proses deradikalisasi bersifat sangat individual, tergantung pada masing-masing mantan pelaku teror tersebut. Karena itu, dibutuhkan dukungan dari masyarakat untuk mau menerima kembali mantan terorisme yang ingin berubah.

“Proses deradikalisasi itu bersifat individual sekali. Setelah menyelesaikan masa hukuman, ada yang menjadi tidak radikal, ada yang makin radikal, ada yang tetap radikal tetapi tidak menunjukkan,” tutur alumnus Fakultas Psikologi UI ini.

Para mantan napi terorisme yang kembali bergabung dengan kelompoknya, biasanya dikarenakan tidak ada penerimaan dari masyarakat sekitar.

“Ketika napiter yang sudah meninggalkan idoeloginya itu bisa diterima dengan nayaman di lingkungannya, kecil kemungkinan dia akan kembali menjadi teroris. Mereka yang kembali jadi teroris umumnya karena hanya kelompoknya saja yang mau menerima. Jadi sebaiknya masyarakat jangan takut kepada mereka,” pungkas Ady. [Mdk / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *