Analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menilai, Presiden Joko Widodo harus lebih tegas terkait penempatan TNI di jabatan sipil. Dia menilai, hal tersebut dapat melanggar dalam mewujudkan cita-cita reformasi.
“Saya kira ini mesti dihentikan, sebab ini melanggar UU TNI, jadi Presiden Jokowidalam hal ini mestinya bisa lebih tegas. Juga bisa lebih konsisten dalam mewujudkan cita-cita reformasi itu sendiri. Salah satunya tidak lain adalah penghapusan Dwi Fungsi ABRI,” kata Syamsuddin dalam diskusi dengan tema Quo Vadis Reformasi, Kembalinya Militer dalam Urusan Sipil di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (1/3).
Dia juga mengatakan, tidak perlu merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut dia, UU tersebut seharusnya dijalankan sesuai dengan fungsinya.
“Kalau saya berpendapat belum ada kebutuhan itu, sebab revisi UU TNI itu akan membuka yang memungkinkan kembalinya dwi fungsi TNI,” kata Haris.
Haris menjelaskan, TNI bisa masuk dalam instansi sipil tetapi sebelumnya memberikan pensiun dini. Dia menjelaskan, kompetensi TNI tidak akan hilang jika masuk instansi sipil.
“Siapa yang bilang, kompetensinya akan hilang? Tidak akan hilang, kompetensi itu sudah menetap. Jadi saya pikir enggak ada masalah apabila masuk wilayah sipil tapi sebelumnya pensiun. Apa masalahnya?” ungkap Haris.
Sebelumnya, isu TNI masuk lembaga sipil dan menjadi dwifungsi kembali merebak setelah Presiden Jokowi mengumumkan akan menambah 60 pos jabatan baru untuk pati TNI. TNI berencana menambah pos jabatan baru bagi jabatan perwira tinggi di lingkup internal serta di kementerian dan lembaga. Jabatan baru ini salah satunya bertujuan menampung perwira tinggi yang bertumpuk di TNI.
Salah satu usulan adalah restrukturisasi dan merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan revisi UU TNI dianggap perlu karena ratusan perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan struktural ( Mdk / IM )