Partai Hijau untuk Agenda Lingkungan di Indonesia


Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi secara ekstrim melihat bahwa partai politik hijau sebuah harga mati, sebagai sebuah gerakan massif masyarakat sipil untuk agenda lingkungan. Kendatipun KKI melihat bahwa pendirian partai hijau masih potensial memunculkan konflik kepentingan. Banyak caleg (calon legislative) dan capres (calon presiden) yang mempunyai bisnis, atau minimal dibiayai oleh pemilik perusahaan yang ekstraktif.  “Saya pikir, dalam kurun waktu 10 tahun lagi atau dua kali Pemilu, kita baru bisa mendirikan partai hijau. Karena kondisi sekarang, mendirikan satu partai harus dengan banyak uang. Membangun satu partai, sungguh tidak murah,” Rakhmat Hidayat dari KKI Warsi mengatakan kepada pers (13/3).
 
Partai hijau yang pro lingkungan termasuk kelestarian hutan tidak harus seperti partaimainstream (arus utama). Tetapi partai yang diisi oleh sekelompok orang, yang terus bergerak dan peduli terhadap lingkungan. Partai hijau, kendatipun bukan mayoritas, tetapi bisa menjadi massa yang solid. Mereka bisa menjadi pembanding untuk partai lain di parlemen, termasuk partai yang berkuasa. Partai hijau seperti di Norwegia, Belanda, Australia, Jerman bisa menekan partai lain di parlemen. Sehingga platform partai tidak akan lepas dari pembangunan komitmen terhadap lingkungan. “Tetapi untuk kondisi di Indonesia, 10 tahun lagi.”
 
Tingkat kesulitan pendirian partai hijau di Indonesia adalah factor geografis kependudukan. Kondisi partai politik harus dibarengi dengan tingkat pengaruh terhadap 50 kota besar di 33 provinsi di Indonesia. Selain itu, Indonesia terdiri dari ratusan kabupaten tersebar di seluruh nusantara. “Ini menjadi factor pembatas untuk berkembangnya wacana pendirian partai hijau.”
 
Sehingga KKI dan beberapa aktivitis lingkungan akan membangun beberapa fase persiapan. Fase pertama yaitu penciptaan push factor terhadap gerakan kritis mahasiswa, dan generasi muda yang masih sangat idealis. Gerakan kritis dan idealis akan menjadi satu aliansi yang kuat. Gerakan tersebut bisa menjadi satu komitmen yang pro lingkungan. “Sekarang aktivis lingkungan, termasuk kami di KKI Warsi, istilahnya masih ‘numpang.’ Aktivis masih jalan sendiri-sendiri, dan gerakannya masih sementara. Pendirian partai hijau masih belum menjadi tujuan akhir. Tetapi kami baru sebatas membangun platformlingkungan, isu strategis lingkungan dan masyarakat adat untuk kesadaran politik public.”
 
Komitmen dana Norwegia untuk kegiatan perlindungan hutan di Indonesia sebesar satu milyar USD tidak lepas dari platform partai hijaunya. Komitmen tersebut sudah mulai mengkristal pada kegiatan penurunan emisi, akibat dari kerusakan hutan di Indonesia. Sehingga Norwegia adalah model atau referensi negara yang pas untuk mendorong pendirian partai hijau di Indonesia. Negara lain, seperti Jerman, Australia, Belanda hampir satu listing dengan Norwegia. “Angela Merkel (kanselir Jerman) dan beberapa politisi senior di Australia juga didukung partai hijau. Sehingga ada komitmen untuk agenda lingkungan.”
Norwegia memimpin dukungan perlindungan hutan bagi negara-negara berkembang sejak tahun 2007. Komitmen dana mencapai NOK 3 miliar (US$500 juta) per tahun untuk skema REDD+. Contoh komitmen finansial dari Norwegia sangat penting bagi negara-negara pemilik hutan. Komitmen tersebut memobilisasi dan mempertahankan kemauan politik dan kapasitas negara terhadap REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi). “Norwegia, Australia mendukung Indonesia untuk terus atasi kebakaran hutan. Dukungan tersebut parallel denganplatform partai hijau yang sudah lama eksis. Jerman, Belanda juga sama. Partai hijaunya, walaupun bukan mayoritas di parlemen, tetapi punya bargaining position  (di parlemen). Mereka bisa menekan partai berkuasa untuk menerapkan kebijakan yang pro lingkungan.”
Sementara itu, Badan REDD+ dari Unit Kerja Presiden (UKP) untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melihat upaya kelestarian hutan sebagai program jangka panjang. Berbagai kegiatan terkait dengan permasalahan tata kelola hutan dan lahan merupakan inisiatif yang dimulai 20 tahun lalu. “Kita sudah melakukan yang terbaik,” Heru mengatakan kepada pers.
Pada awalnya, Badan REDD+ dibentuk, ada lima hal signifikan untuk penguatan program hutan Indonesia. Fundamental identifikasi penyebab kerusakan hutan di Indonesia, 20 tahun yang lalu sangat lemah. Pertama, Pemerintah Indonesia masih belum mempunyai kapasitas kuat untuk pembangunan industry yang pro lingkungan. “Niat juga belum kuat pada saat itu. Regulasi dan peraturan terkait dengan persoalan lingkungan sangat lemah. Arah dan sasaran tidak tepat.”
Kedua, para pemangku kepentingan dari berbagai elemen belum mempunyai data dan peta akurat. Sehingga setiap data yang ada selalu lepas dari tanggung-jawab. Sehingga paradigma industry cenderung eksploitatif. Artinya, industry memicu persoalan lingkungan global. “Masyarakat tidak dilibatkan. Lalu setelah Badan REDD dibentuk, kita baru akan mengidentifikasi berbagai penyebab kerusakan hutan.

Persoalan ketiga, pemerintah provinsi (pemprov), kabupaten (pemkab) juga belum punya data dan peta akurat. Mereka menerapkan moratorium hutan, tapi kontradiktif dengan penguasaan beberapa perusahaan besar terhadap daerahnya. Sehingga hutan dan lahan yang menjadi objek moratorium tidak lepas dari kuasa para pemilik perusahaan dan industry. “Ada perusahaan yang punya dua juta hektar. Moratorium (pemprov, pemkab) diterima dengan baik, tetapi masalah yang paling mendasarnya, perusahaan masih menguasai lahan dan hutan.”
Persoalan ke-empat, pemerintah masih menunggu pengesahan Undang Undang Pertanahan. Tata kelola hutan dan lahan bisa efektif kalau dipayungi secara hukum, yaitu Undang Undang. Isu climate change (perubahan iklim) dengan economic development (pembangunan ekonomi) bertumpu pada program Badan REDD+. “Kita tidak bisa hanya bicara masalah karbon. Tapi kita perlu tata kelola. Masyarakat bukan lagi partner yang dianggap mengganggu, teapi harus ikut dan terlibat dalam kegiatan tata kelola. Kita juga harus melibatkan kapasitas lain seperti taman nasional.”
Sementara itu, Faisal Yusuf, aktivis lingkungan dan perubahan iklim, menyayangkan kegagalan pemerintah melindungi lahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh ini. “Lahan disana kan termasuk dalam cagar biosfer yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah, dan lahan ini juga sudah diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Lahan ini adalah milik internasional, dunia mengalami kerugian yang sangat besar dalam hal ketersediaan lingkungan hijau saat ini,” Faisal mengatakan kepada pers.
Kebakaran lahan ini adalah masalah besar. Pemerintah harus bertanggung jawab baik itu dari segi ekonomi dan sisi lingkungannya. “Ini bukan hanya tanggung jawab daerah saja, pusat harus memiliki andil.”
Dampak dari kebakaran hutan di Riau mengancam seluruh lini kegiatan masyarakat. Salah satu kegiatan yang sangat berdampak adalah lumpuhnya penerbangan di Bandara Sultan Syarif Qasim II, sekitar 60% penerbangan dari bandara ini sepanjang kabut asap terjadi terpaksa ditutup. Selain itu, terjadinya penurunan produktivitas usaha, mobilisasi orang dan barang melalui transportasi darat, laut dan darat yang tertunda sampai batas waktu yang belum ditentukan, kerugian untuk ini diperkirakan mencapai Rp 10 triliun.
Pemerintah Provinsi Riau sejak 26 Februari lalu telah menetapkan status tanggap darurat Asap. Semenjak masa tanggap darurat berlangsung, tercatat 30.300 jiwa terkena penyakit ISPA dari total keseluruhan 37.500 yang terkena dampak asap.
Kabut asap yang terjadi di Provinsi Riau, diperkirakan masih mengkhawatirkan. Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Bencana Kabut Asap Riau mencatat masih ada 3.000 hektare lahan terbakar yang tersebar di Indragiri Hulu, Dumai, Bengkalis, Siak, Indragiri Hilir, Kampar, Pelalawan, Meranti dan Rokan Hilir. Selama satu bulan terakhir Satgas mengklaim sudah berhasil memadamkan 11.808 hektare lahan terbakar, semantara saat ini tengah disiapkan 7.000 liter bom air disiapkan untuk memadamkan sisa lahan yang terbakar.
Faktor alam dan manusia diduga menjadi penyebab kebakaran yang ternyata sudah menjadi “agenda tahunan” di Riau sejak tahun 1997. Kondisi cuaca yang tidak normal dan ramalan terjadinya badai El Nino pada tahun ini diperkirakan menjadi salah satu penyebab yang  membuat hutan dan ladang mulai terbakar. Hal itu diperparah dengan kelalaian dan kesengajaan oleh oknum penduduk lokal dan perusahaan tertentu yang membakar ladang demi keuntungan semata. Terkait dengan hal tersebut, 26 orang sudah diamankan karena diduga menjadi pelaku aksi pembakaran hutan, sampai saat ini belum ada laporan pasti 26 orang tersebut apakah komplotan dari perusahaan atau yang terkait dengan korporasi tertentu.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *