Nuklir Belum Aman untuk Pemanfaatan di Dalam Negeri Indonesia


Dewan Energi Nasional (DEN) tidak merekomendasikan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) pada KEN (Kebijakan Energi Nasional) 2050 untuk percepatan pemanfaatan di dalam negeri. Penelitian yang masih sangat awal oleh Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional) tidak mengategorikan nuklir sebagai produk tambang. Undang Undang No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran sudah mengamanatkan Batan sebagai badan yang meneliti, menyiapkan berbagai hal untuk PLTN. “Tetapi ternyata nuklir masih belum aman. Kecuali kondisi negara kita statis, artinya tidak ada gempa, tidak ada kesalahan desain, dan tidak ada human error,” anggota DEN Rinaldy Dalimi mengatakan kepada Redaksi (22/8).
Pembangunan PLTN juga sudah tidak efisien, karena ada penambahan harga sebesar 3 cent USD (sekitar Rp 300) untuk produksi. Selain itu, standardisasi juga harus ditingkatkan untuk pemanfaatan tenaga nuklir. Biaya produksi yang tinggi sangat tidak sebanding dengan penggunaan energi fosil ataupun EBT (energi baru terbarukan). Indonesia masih sangat potensial untuk mengembangkan EBT seperti panas bumi, air, tenaga surya, dan bioenergi dan lain sebagainya. “Dulu (nuklir) lebih murah daripada batubara, gas, BBM. Sekarang tidak lagi (murah).”
PLTN juga tidak efektif untuk kondisi Indonesia dalam perspektif penguasaan teknologi. Selama ini, Jepang sudah menguasai teknologi nuklir dari A sampai Z. Kondisi ini terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia. “Kita tidak sedikitpun menguasai.” Kemajuan teknologi nuklir di Jepang sempat alami kondisi paradoks. Pada tahun 2011, karena adanya tsunami dan gempa bumi, serta kegagalan sistem pendingin di PLTN Fukushima I pada bulan Maret 2011, maka pemerintah Jepang mengumumkan keadaan bahaya nuklir. Pernyataan bahya nuklir ini merupakan pernyataan bahaya nuklir pertama kalinya di Jepang. Ada 140.000 orang penduduk yang tinggal di sekitar 20 kilometer dari pembangkit listrik terpaksa mengungsi. “Begitu terjadi bencana Fuskushima, Jepang minta bantuan dunia. Bayangkan, kalau bencana tersebut terjadi di Indonesia. Ibaratnya, kita sudah menyerah pada H plus 1 (satu hari setelah bencana). Jepang sempat mengatasi sendiri, tapi akhirnya menyerah juga, dan minta bantuan dunia.”
Pembangunan PLTN bukan persiapan dalam hitungan hari, tetapi bertahun-tahun. Pengalaman selama ini, untuk kegiatan studi tapak lokasi PLTN saja sudah menguras dana milyaran rupiah. Studi tapak sudah pernah dilaksanakan di pulau Kalimantan dan Bangka. Biaya studi tapak lebih banyak dinikmati oleh konsultan dari luar negeri, terutama Jepang dan Perancis. “Selama kita punya panas bumi, gas, batu bara, dan lain sebagainya. Gas dan batubara masih diekspor. Mendingan, dana (studi tapak) sebesar itu digunakan untuk kegiatan riset.”
Di sisi lain, terkait dengan perwujudan kedaulatan energi nasional, DEN tidak merekomendasikan pengurangan subsidi untuk masyarakat kecil. Sebaliknya, DEN merekomendasikan pengurangan, bahkan penghilangan subsidized pricing (subsidi harga). Pemerintah baru nantinya juga harus menetapkan harga energi melalui pendekatan keekonomian. “Sekarang (rekomendasi DEN) sudah dalam bentuk KEN (Kebijakan Energi Nasional), PP (Peraturan Pemerintah) akan terbit dalam waktu dekat. Secara simultan, pemerintah baru harus memikirkan konsep yang tepat.”
KEN yang segera ditandatangai presiden SBY, akan dijabarkan lagi dalam bentuk RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). DEN akan terus mengkaji, mengawasi penerapan berbagai kebijakan tersebut. Kendatipun demikian, DEN mengakui bahwa fakta di lapangan bukan perkara mudah. Ketahanan energi yang menjadi output dari penerapan KEN sering terbentur dengan masalah harga. “Masalah keterjangkauan harga energi oleh masyarakat, sangat sulit.”
Di tengah keseharian masyarakat, energi merupakan kebutuhan vital. Sehingga KEN yang diproyeksikan sampai tahun 2050 akan memunculkan situasi trade off antara keekonomian energi serta keterjangkauan harga. “Ini tantangan pemerintahan baru, sekaligus arahan DEN untuk perwujudan kedaulatan energi nasional.”
DEN melihat ada beberapa tantangan besar untuk perwujudan kedaulatan energi. Perubahan paradigma, bahwa energi tidak lagi semata-mata menjadi komoditas bisnis dan ekspor. Energi sebagai penggerak pembangunan berkonsekuensi logis dari perubahan paradigma tersebut. Nilai energi tidak bisa lagi diukur dengan Rp (Rupiah) per ton batubara atau per barrel minyak. Sebaliknya, energi diukur dengan seberapa besar value addition (nilai tambah). “Itu nilai energi ke depan.”
Pada saat ini, pemerintah melihat ketersediaan energi dengan take it for granted (sesuatu yang tidak dihargai, karena dianggap sudah selayaknya didapat). Pada saat yang sama, pemerintah menyatakan kebutuhan pertumbuhan ekonomi paralel dengan ketersediaan dana. Alokasi dana dari APBN menjadi jaminan ketersediaan dana untuk pertumbuhan energi tersebut.
 
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi energi, Satya Wirayuda mengatakan bahwa penetapan KEN merupakan keputusan politik bersama pemerintah dan DPR. Produk dari Undang Undang (UU) terkait dengan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mencukupi. Beberapa produk UU antara lain ketenaga-nukliran, panas bumi, minyak dan gas (migas) dan lain sebagainya sudah efektif berjalan. Kendatipun demikian, pelaksanaan dari UU tersebut belum terintegrasi. Setiap UU seakan mengakomodasi sektor tertentu. “Sebetulnya DEN yang bisa membuat kebijakan energi kita terarah, terintegrasi. Pembentukan DEN sesuai dengan amanat dari Undang Undang Energi,” Satya mengatakan kepada Harian Nusantara (22/8).
Selama ini juga, masyarakat masih dicekoki dengan anggapan Indonesia sebagai produsen minyak. Dengan demikian, BBM harus murah. Persepsi ini akhirnya ikut andil mempersulit perwujudan ketahanan dan kedaulatan energi nasional. “Sehingga dalam RUEN, ada upaya pelurusan hal-hal yang keliru di masyarakat. Subsidi semakin jelimet, dan menghambat skenario perwujudan ketahanan energi.”
Masalah subsidi BBM sangat fundamental terutama dikaitkan dengan tahun fiskal 2015. Nota Keuangan yang disampaikan Presiden SBY beberapa hari yang lalu menyebutkan bahwa nilai subsidi secara keseluruhan mencapai Rp 363 triliun. Kalau pola kebijakan subsidi masih melekat pada harga, ruang fiskal semakin sempit. Di setiap badan anggaran, DPR terus mengubah pola kebijakan subsidi. “Subsidized pricing diubah menjadi targeting subsidies. Subsidi tidak hilang, tetapi diubah polanya menjadi subsidi langsung yang diberikan kepada masyarakat. Subsidi bisa langsung tersalurkan, misalkan untuk asuransi kesehatan masyarakat yang kurang mampu. Subsidi juga bisa untuk sekolah gratis. Karena kalau kita gunakan data Kantor Menko Kesra, masih ada kelompok masyarakat miskin, sekitar 71 juta orang. Kita alokasikan subsidized pricing sebesar Rp 336 triliun kepada mereka. Jangan lagi, subsidi dinikmati oleh orang-orang kaya.”
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

9 thoughts on “Nuklir Belum Aman untuk Pemanfaatan di Dalam Negeri Indonesia

  1. pengamat
    August 22, 2014 at 3:00 am

    PLTN aman dibangun di Bangka belitung dan kalimantan. Di daerah sana tidak ada gempa bumi.

  2. James
    August 22, 2014 at 3:59 am

    Indonesia belum memiliki potensi Kemampusn untuk menggunakan Tenaga Nuklir, tidak mudah itubelum memiliki ahli untuk mengatasi bencana yang terjadi seperti di Jepang, Dokter Operasi saja di Indonesia belum sebaik di LN dalam Pemeliharaan setelah Operasi dilakukan, makanya masih banyak terjadi Kegagalan sehingga Mengakibatka Pasien Mati setelah waktu singkat seusai Operasinya, maka lebih banyak WNI yang berobat dan operasi di LN sepert Singapore dan Malaysia karena mereka lebih cerdas dan lebih canggih !!!

    1. fak
      February 14, 2015 at 11:39 am

      hubungannya sama nuklir apa? Dokter sama teknisi nuklir itu beda, sekolahnya juga beda, orangnya beda. Atas dasar apa mengklaim mereka (LN) lebih cerdas? mikir.

      1. James
        February 14, 2015 at 9:12 pm

        FAK kasian deh loe !!! loe kagak tau kalau ada Dokter Specialist Jantung Ahli Jantung yang menggunakan Nuklir yah ??? banyak belajar yah di sekolah, tapi sekolahnya di Luar Negeri yah supaya Cepet Pinter engga bego gitu, sudah jelas dan bukti Dokter dan Rumah Sakit di Malaysia dan Singapore saja jauh lebih canggih dan lebih cerdas dari Indonesia …..kalau Indonesia sudah canggih kaga bakal WNI pada Berobat ke Malaysia dan Singapore, nah itu yang perlu loe Mikir pakai Otak Kepala bukan Otak Dengkul Fak !!! mikir…mikir….mikir….

  3. James
    February 14, 2015 at 9:20 pm

    FAK, kasian deh loe !!! loe kagak tahu kalau ada Dokter Specialist Jantung menggunakan Nuklir sewaktu Operasi yah ??? Specialist Jantung lahir asal Sukabumi dan Lulusan LN bukan Lulusan Indonesia, maka loe Fak sebaiknya lanjutin sekolah tapi sekolah di LN yah …sudah jelas sekali Luar Negeri lebih cerdas dan canggih di Banding Indonesia maka begitu banyak WNI berobat ke Malaysia dan ingapore

  4. James
    February 14, 2015 at 9:24 pm

    mikir loe Fak, sekolah lagi sono tapi sekolahnya di LN yah !!!

  5. James
    February 14, 2015 at 9:30 pm

    FAK, loe kagak tahu kalau ada Specialist Jantung menggunakan Nuklir dalam Operasi dan Perawatan Pasiennya yah ??? Specialist ini berasal dari Sukabumi dan Lulusan LN bukan Lulusan Indonesia, kasian deh loe Fak kagak tahu apa-apa, makanya sekolah di LN supaya cepet pinter kaga bego kaya loe. Jelas LN lebih cerdas dan canggih dari Indonesia maka banyak WNI yang berobat ke Malaysia dan Singapore juga termasuk para Pejabat Indonesia berobat kesana, itu suatu Bukti Nyata bung !!! tidak dapat disangkal lagi

  6. James
    February 14, 2015 at 9:32 pm

    kasian deh loe Fak, kagak tahu kalau ada ialist Jantung menggunakan Nuklir untuk Opreasi dan Perawatan Pasiennya(Specilaist asal ukabumi Lulusan LN tuh !!! bukan Lulusan Indonesia

Leave a Reply to James Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *