Nasib Badak Sumatera di Ujung Proyek Panas Bumi


badak-sumatera_20160927_204111RASA prihatin mengiringi peringatan Hari Badak Sedunia yang setiap tahun akan diperingati serentak negara-negara pemilik satwa langka eksotis ini setiap tanggal 22 September.

Indonesia memiliki dua jenis spesies badakL badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang hidup di habitat Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, dan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)di Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung dan Kawasan Ekosistem Leuser, Provinsi Aceh.

Peningkatan populasi badak jawa di Ujung Kulon menunjukkan geliat positif. Sedangkan nasib badak sumatera justru terbalik.

Populasi badak sumatera cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Lebih dari 200 tahun yang lalu diperkirakan populasi badak terkecil di dunia ini masih sekitar 10 ribu individu.

Sejak tahun 1985, populasi terus menurun dari angka sekitar 600 menjadi kurang dari 100 individu saat ini.

Badak sumatera saat ini diperkirakan hanya menempati 237.100 hektar di bentang alam Kawasan Ekosistem Leuser, 63.400 hektar di Taman Nasional Way Kambas dan 82 ribu hektar di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Dari tiga juta hutan yang disurvei, badak sumatera hanya menghuni 13 persen dari total area tersebut.

Di bentang alam Leuser, badak sumatera diketahui menempati juga kawasan di luar batas Taman Nasional Gunung Leuser, yang berarti tingkat keterancaman mamalia besar ini menjadi lebih tinggi, baik dari minimnya upaya perlindungan maupun potensi konversi hutan yang menjadi habitatnya saat ini.(http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0136643).

Situasi mengenaskan ini diperberat pula dengan rencana proyek pembangunan pembangkit listrik panas bumi di zona inti kawasan konservasi terbesar kedua se-Sumatra itu.

Sekitar sebulan lalu, tepatnya 16 Agustus 2016, Gubernur Provinsi Aceh, Zaini Abdullah mengeluarkan surat dukungan proyek panas bumi dan memohon penurunan status zona inti Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Gayo Lues kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pembangunan pembangkit listrik panas bumi tersebut.

Tidak hanya sampai di situ. Saat ini Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan juga berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser.

Pembangunan PLTA ini diproyeksikan akan menghasilkan 180 MW listrik dan diharapkan dapat mengatasi krisis listrik di Aceh Selatan. Meski tidak berada dalam kawasan taman nasional, area ini diketahui menjadi kantung habitat badak terakhir di Sumatra.

Tidak ayal, rencana-rencana tersebut memicu reaksi keras para pegiat lingkungan, baik di Provinsi Aceh maupun nasional.

Apa sebenarnya yang menjadi keberatan pegiat lingkungan?

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser adalah Cagar Biosfer, Asean Heritage Park dan Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera,  kawasan hutan terakhir di dunia sebagai habitat badak sumatera, gajah sumatera (Elephas maximus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), dan orangutan sumatera (Pongo abelii).

Satu-satunya tempat di planet ini yang dihuni keempat megafauna yang menjadi kebanggaan Indonesia dan selalu menjadi ikon iklan pariwisata kita.

Selain berpotensi mengancam langsung keempat satwa kunci tersebut, rencana pemanfaatan panas bumi atau pembangunan infrastruktur lain di dalam kawasan hutan umumnya juga akan diikuti kerusakan habitat, yang dapat berdampak buruk pada peran hutan menjaga kualitas air,menyerap karbon, dan menahan banjir, misalnya.

Di awal bulan ini, konferensi empat tahunan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) di Hawaii, Amerika Serikat, yang dihadiri lebih dari 10 ribu orang pemerhati lingkungan,membahas problem dan mencari solusi terbaik demi masa depan bumi beserta segenap penghuninya.

Beberapa poin penting mengemuka dalam agenda rutin yang dihadiri oleh 170 perwakilan pemerintah, ilmuwan, organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat dan kalangan pengusaha.

Berbagai pokok pikiran penting yang dibahas mengerucut seputar integrasi konservasi ke dalam pembangunan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Usulan penurunan zona inti Taman Nasional Gunung Leuser menuju pemanfaatan sejatinya tidak sesuai dengan semangat kongres IUCN dan akan mengingkari pelaksanaan SDGs yang telah ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2015 lalu.

Mengapa rencana pembangkit listrik panas bumi di Taman Nasional Gunung Leuser mengingkari SDGs? Energi panas bumi dan tenaga air memang merupakan sumber energi hijau, baru, bersih dan terbarukan.

Tetapi yang harus benar-benar diperhatikan adalah akibat dari proses pembangunan akses ke dalam kawasan taman nasional selama proses eksplorasi dan eksploitasi berlangsung.

Selain akan membuat habitat badak serta satwa lain terdesak, kemudahan jalan proyek pembangkit panas bumi bisa disalahgunakan para perambah hutan dan pemburu.

Hal ini dituangkan secara rinci di dalam IUCN Motion No. 026, Protected areas and other areas important for biodiversity in relation to environmentally damaging industrial activities and infrastructure development.

Jika pemerintah Indonesia memilih untuk mengabaikan mosi ini, maka komitmen Indonesia untuk mencapai rencana Strategis Biodiversitas 2011-2020 dan Aichi target, serta UN Sustainable Development Goals, akan sulit tercapai.

Sementara itu, Sasaran Ketahanan Energi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang mengacu pada “Nawa Cita” (Janji Kampanye Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla),memang menetapkan sejumlah sasaran.

Antara lain, menambah kapasitas pembangkitan listrik, memperluas pemanfaatan gas bumi, konsolidasi industri minyak bumi, menata pemanfaatan batubara, memperbesar energi terbarukan, dan pengurangan subsidi energi. (EnergiView, Mei 2015).

Meski pemanfaatan panas bumi termasuk ke dalam sasaran tersebut, sebenarnya masih banyak energi panas bumi yang berada di luar kawasan konservasi yang dapat dimanfaatkan.

Dari 299 titik potensi yang telah diidentifikasi oleh Kementerian ESDM, sekitar 6.000 MW (15%) berada dalam wilayah hutan konservasi dan sekitar 7.000 MW (18%) berada dalam wilayah hutan lindung.

Sedangkan saat ini baru 5% panas bumi di Indonesia yang telah dimanfaatkan. (Renstra Ditjen EBTKE 2015-2019).

Sejatinya tak elok bila upaya pemenuhan listrik harus vis a vis program konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser yang sangat tinggi keanekaragaman hayatinya.

Apakah Pemerintah Provinsi Aceh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Presiden Joko Widodo rela hanya meninggalkan kisah badak sumatera kepada generasi mendatang? Tentu tidak.

Sebab pembangunan berkelanjutan yang manusiawi dan ramah lingkungan tentu bisa seiring sejalan.

Semoga hari badak menjadi momentum bagi pemerintah untuk kembali menelisik komitmennya dalam menjaga kelestarian badak dan satwa terancam lainnya. Selamat memeringati Hari Badak Sedunia 2016.( Trb / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Nasib Badak Sumatera di Ujung Proyek Panas Bumi

  1. Perselingkuhan+Intelek
    June 30, 2017 at 8:47 pm

    Manusia dengan ambisinya, mereka masa bodoh dengan kelanjutan kehidupan Badak, ditembak dibunuh dan dijual Culanya dan lain-lainnya agar mendapatkan Uang dengan sadis serakah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *