Telah menjadi pengertian umum bahwa kebudayaan Nusantara tidak lain merupakan
peleburan budaya dari bangsa-bangsa Hindhu, Tionghoa, Arab dan Eropah yang sudah
ratusan tahun hidup rukun bersama di Indonesia. Dengan demikian membentuk bahasa,
kesenian, busana dan makanan kita. Begitupun dalam perayaan hari-hari besar, selain
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus yang umum, kita masing-masing
merayakan Hari Tahun Baru dari budaya Eropah, Eid al-Fitr atau Lebaran bagi kaum
Muslim, Nyepi bagi kaum Hindhu, dan Sincia bagi kaum Konghucu, yang satu sama
yang lain juga dihormati sebagai Hari Raya bersama dalam kehidupan kita disepanjang
tahun.
Lebih kurang 3000 tahun, Sincia telah dirayakan sebagai penyambutan tibanya musim
Semi oleh bangsa Tionghoa yang awalnya berada diutaranya Sungai Yangtze di Dataran
Sentral atau Tiongkok Semula. Yang mana Sincia bisa diterjemahkan, Cia adalah musim
Semi dan Sin berarti baru. Dengan terjadinya perantauan masal dan transmigrasi yang
berulang sedikit-dikitnya empat kali dari orang yang semula diutara untuk pindah
keselatan Yangtze selama 2000 tahun yang silang, maka budaya Sincia bersama adat
kebiasaan mereka dari utara juga dibawanya keselatan, yang terus menyebar sampai
kedaerah dipesisir tenggara Tiongkok seperti Hokkian. Kemudian orang-orang Tanglang
(keturunan Tionghoa dari Dinasti Tang di Hokkian) secara berbondong-bondong juga
merantau ke Asia Tenggara dan Nusantara dalam waktu dua hingga tiga ratus tahun
terachir ini, maka Sincia pun dirayakan di Indonesia sekarang.
Perayaan Sincia di Indonesia pada umumnya mengikuti adat yang berasal dari Hokkian,
ini sangat berbeda dari tata peradatan ketat yang semula diajarkan oleh para Maha Guru
pra-Qin seperti Konghucu di Tiongkok Utara lebih dari 2500 tahun lalu. Modifikasi
tersebut bisa terjadi dikarenakan perkembangan lebih lanjut setelah orang Tanglang
menyesuaikan diri dengan kehidupan di Tiongkok Selatan, yang dimana cuacanya
jauh lebih hangat daripada diutara sehingga mempengaruhi macamnya hidangan
Sincia, kehidupan diselatan yang lebih makmur dan santai juga bisa mempengaruhi
kemewahan dalam penyelenggaraan Sincia, dan satu faktor penting penyebab pemalihan
cara perayaan Sincia orang Hokkian adalah adanya pembauran orang Tanglang dengan
bangsa-bangsa asing yang datang dari Jalur Sutra Maritim di Teluk Zaitun sejak abad 8.
Lebaran adalah perayaan selesai menjalani pemurnian lahir dan batin dengan berpuasa
demi pendekatan kepada Allah dalam bulan Ramadhan, dan Sincia adalah perayaan
penyambutan mulai musim Semi sebagai hari tahun baru Imlik kalender Tionghoa.
Lebaran merupakan Eid al-Fitr yang chas bangsa Indonesia yang lain daripada
dunia Muslim lainnya, yang dikabarkan berasal dari para Sunan Wali Songo yang
membawakan ajaran Islam di Jawa diabad 15. Perayaan Sincia yang di Asia Tenggara
pada umumnya dan yang di Indonesia pada chususnya mengikuti adat budaya asal
Hokkian yang telah lepas dari keketatan adat Tiongkok Semula diutara. Namun bila
diteliti, ada kedekatan antara tradisi perayaan Lebaran dan perayaan Sincia di Tanah Air
kita, dan kadang kala Sincia-pun disebut Lebaran Cina.
Walau berbeda tetapi ada keserupaan corak yang bisa menggambarkan adanya hibrida
budaya yang dinamik antara perayaan Sincia Tanglang dan Lebaran Indonesia tersebut,
yang bisa coba diperinci sebagai berikut:
1. Pada menit-menit pertama dini hari Sincia, Tanglang membawa keluarganya ke-
klenteng setempat untuk sembahyang Tuhan Allah, bersukur atas berkahan tahun
lampau and meminta tetap sejahtera dan damai ditahun baru. Ini layak Takbiran.
2. Menyalakan lampion-lampion dan lilin-lilin berwarna merah untuk memeriahkan
Sincia, ini seperti menyalakan obor maupun damar Idul Fitri diluar rumah.
3. Sekeluarga mengenakan pakaian dan sepatu baru, setidak-tidaknya yang bersih
bagi yang tak mampu. Biasanya lelaki Tanglang mengenakan pakaian tradisi
tanpa kerah yang berwarna hitam, biru atau merah yang serupa baju koko busana
Muslim.
4. Beramai-ramai me-udik pulang kampung dan balik mudik di Tiongkok yang sama
juga di Indonesia.
5. Pai-cia, yang layaknya sungkem dan halal bi-halal.
6. Serupa Zakat Lebaran juga diselenggarakan oleh organisasi perguyuban marga
Tionghoa diwaktu Sincia, memberi bantuan kepada warga yang butuh dalam
penghidupan.
7. Saku merah Ang-pao berisi sedikit duit yang dibagikan kepada kanak-kanak
setelah so-jia-kui, berlutut dan menyembah pada orang tua adalah serupa
pembagian Uang Lebaran.
8. Buat pengusaha atau juragan untuk membagikan Tunjangan Hari Raya atau
bingkisan Lebaran pada pegawainya, itu seragam dengan Sincia.
9. Makan ketupat dengan lauk opor ayam, rendang, sambal goreng hati, sayur lodeh
dan lemang yang dijelma menjadi lontong cap-go-meh hidangan peranakan
Tionghoa.
10. Menyalakan mercon, petasan dan bunga api yang merupakan salah satu penemuan
Tionghoa.
Bagaimanakah kiranya bisa terjadi seperti begitu? Disini terletak pengaruh Muslim
Tionghoa di Hokkian yang membawa perubahan tradisi Sincia disana dan kemudian
juga membentuk tradisi Lebaran di Jawa. Untuk menjelaskan mungkinnya begitu, perlu
sekedar cerita singkat sejarah kedatangan Islam di Tiongkok dan kejadian migrasi
Muslim Tionghoa yang membawa budaya Lebaran ke Jawa.
Pada awalnya sejak purba telah berdatangan bangsa-bangsa Timur Tengah, India dan
Asia Tengah yang membuka berbagai jalur perniagaan sutra kewilayah yang bangsa
Sogdiana menyebutnya Cin atau Sin di Timur Jauh. Istilah “Cin” ini berasal dari
Sanskrita cinapatta yang artinya pintal sutra produk “Cin” disekarang Tiongkok bagian
barat yaitu di Yunnan dan Sichuan. Ini terjadi beberapa abad pra-Qin, dengan itu istilah
China sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Dinasti singkat Qin yang hanya
ada selama 15 tahun saja, maupun dengan negeri Cheenah di barat laut India purba
yang berulang kali disebut sebagai negeri biadab dalam Kisah Mahabarata. Kedatangan
melalui Jalur Sutra ini berlangsung terus menerus ber-ribuan tahun, mereka yang semula
mundar mandir berniaga kemudian pun menetap, dan menikah dengan wanita Tionghoa
dan berkembang biak disetempat, mereka ini yang menjadikan Tionghoa peranakan
Arab-Persia di Tiongkok.
Konon sabda Rasulullah SAW dalam Hadis kepada Sahabi-Sahabi-Nya: ‘Utlub il ‘ilma
wa law fis-Sin yang maknanya “ Selidikilah ilmu walau sejauh di China” untuk Kalifah
Uthman mengutus Sahabi Sa’d bin Abi Waqqas, Hadramaut dari Madinah, beserta tiga
Sahabi lainnya sebagai duta besar untuk meninjau dan mengajikan Islam ditanah unjuk
Nabi di Cin. Mereka mendarat di Guangzhou pada tahun 651 (72H). Sahabi ke-2 Imam
Urwah bin Abi Uththan melanjutkan misinya ke Yangzhou dan, Sahabi ke-3 Imam Abi
Waqqas bin al-Harith dan ke-4 Imam Waqqas bin Hudhafah keduanya menjadi penyebar
Islam di Teluk Zaitun Hokkian yaitu sekarang Quanzhou Fujian.
Telah jelas jauh sebelum kedatangan Islam, di Kerajaan Dali Yunan dan di Teluk Zaitun
(Quanzhou) Hokkian telah merupakan kawasan pemukiman orang-orang saudagar yang
berasal dari Persia, Arab, India, Yahudi, Armenia, Portugis dan keturunan mereka di
Tiongkok. Bangsa mancanegara dan keturunannya tersebut secara keseluruhan disebut
sebagai orang Semu atau Semaren yang artinya serba ragam orang asing di Tiongkok.
Mereka membawa adat dan budaya maupun agama tua mereka masing-masing, seperti
Kristen Tua berasal dari Iran, juga Hindhu dan Buddha dari India. Setelah kedatangan
Islam diabad 7 yang disebut diatas, Islam menyebar luas dikoloni-koloni Semu karena
kebanyakan mereka telah menjadi mualaf Islam yang menjadikan Muslim Tionghoa
di Tiongkok pada abad 10. Sedikit-dikitnya sejuta Muslim Tionghoa di Dali Yunnan
dan beberapa ratus ribu di Teluk Zaitun Hokkian dizaman Tartar Mongol Yuan, ini
menjadikan bagian-bagian Tiongkok tersebut pusat Islam di Asia Timur diabad 13.
Begitulah datangnya Islam di Tiongkok dan asal muasal Muslim Tionghoa yang
merupakan pangkal dari penyebarannya ke Nusantara dikemudian hari.
Kebubaran koloni-koloni Muslim Tionghoa di Yunnan dan Hokkian tersebut terjadi
karena adanya dua peristiwa pemberontakan disana, yang bersangkutan dengan
kehancuran Dinasti Mongol Yuan diabad 14.
Yang di Teluk Zaitun Hokkian, ada kejadian pergolakan bersenjata oleh keturunan Persia
yang disebut Ispah atau Sepoy yang hendak menjajah wilayah Hokkian. Ini berlangsung
beberapa tahun dan achirnya ditumpas juga oleh pasukan Mongol, akibatnya terjadi
keadaan anarkis dikawasan Semu di Teluk Zaitun sebelum kedatangan dinasti baru
Ming untuk mengatasinya disana, dan karenanya terjadi exodus besar-besaran dari
Muslim Tionghoa meninggalkan kampung halamannya di Teluk Zaitun, mereka menuju
kejurusan barat yang kebanyakan achirnya tiba dan menetap dinegara sisa Srivijaya yaitu
Kerajaan Champa yang letaknya dipertengahan Vietnam sekarang. Setelahnya, keluarlah
mandat Kaisar Ming yang melarang pelayaran keluar laut dan akibatnya, terhenti pula
perniagaan Jalur Sutra Maritim diabad 14.
Yang di Dali Yunnan, kaum Muslim Tionghoa masih menolak dinasti baru Ming yang
telah 13 tahun menggulingkan Mongol Yuan, ini dibawah pimpinan gubernur urusan
Muslim Melchin Shams-ed-Din yaitu ayahnya Cheng Ho. Pada achirnya sisa-sisa
Mongol dimusnahkan juga oleh bala tentara dahsyat Ming dari garison Muslim Shao-
wu Hokkian yang dipimpin oleh tiga jendral besar Muslim Tionghoa (ribuan dari satuan
inilah yang kemudian hari juga mengawal armada Cheng Ho dalam pelayarannya ke
Nusantara sampai Teluk Persia). Tertumpasnya sisa-sisa Mongol membawa banyak
korban Muslim Yunnan, diantaranya Melchin Shamsudin sendiri terbunuh dalam
perang dan anaknya, Mahmud Shamsudin yang masih berusia 10 tahun ditangkap
dan dikebiri. Terjadi pulalah pelarian Muslim Tionghoa Yunnan, ada sebagian yang
ke Burma kemudian menjadi suku Muslim Panthay disana, dan yang kebanyakannya
menjurus keselatan, juga ke Champa. Setelahnya, keluarlah mandat Kaisar Ming yang
mengharuskan kaum keturuan Semu Tionghoa berganti nama dan diberikan nama-nama
marga dalam aliran Tionghoa tertentu, maka itu mengapalah Mahmud Shams-ed-Din
kemudian menjadi Ma He/Zheng He/Cheng Ho, dan juga untuk semua Muslim Tionghoa
berganti nama sejak abad 14.
Setelah Laksamana Mahmud Shamsudin Cheng Ho membuka jalur pelayarannya ke
Nusantara dengan armada raksasa yang setiap kalinya memampiri Kerajaan Champa,
dan yang selama itu perekonomian di Champa juga telah merosot karena terhentinya
Jalur Sutra Maritim dari Teluk Zaitun oleh madat larangan berlayar Kaisar Ming Hong-
wu, ini memicu ribuan maupun puluhan ribu niagawan Muslim Tionghoa yang semula
telah menetap dan berkembang biak lebih dari se-abad lamanya di Champa untuk
meneruskan perantauan mereka ke Nusantara, chususnya ke Samudra-Pasai Aceh,
Srivijaya Palembang dan Majapahit Surabaya diabad 15.
Tidak mengherankan bahwa persilangan budaya antara Tanglang dan Muslim bisa
terjadi, dikarenakan keberadaan bersama mereka yang telah berlangsung ratusan tahun
dan melintasi beberapa generasi di Hokkian dan Yunnan itu, yang kemudian dibawa oleh
diaspora Muslim Tionghoa tersebut ke Indonesia.
Chususnya di Yunnan, dimana Muslim Tionghoa yang masih sangat tersebar dipropensi
bagian barat daya Tiongkok itu tetap melakukan Taraweh dimakam Sunan Sayyid ‘Ajjal
Shams ed-Din Omar al-Bokhari pada Hari Idul Fitri, juga membersihkan semak-semak,
menyiramkan air wewangian menyuci batu nisannya, menaburkan bunga-bunga dan
menyuguhkan hidangan-hidangan manis didepan makamnya secara adat Tionghoa. Adat
ini sangat serupa dengan Ching Bing orang Tanglang pergi menengok dan membersihkan
kuburan leluhur yang jatuhnya disekitar 2 bulan setelah Sincia, yaitu 5 April setiap
tahunnya. Kaum Muslim Indonesia juga bersiarah kemakam dan menyuci batu nisan
sebelum Lebaran. Sayyid ‘Ajjal adalah seorang bangsawan Khwarezmi asal Bukhara
sekarang di Uzbekistan yang dilantik sebagai Gubernur Yunnan di Dali oleh Kublai
Khan, beliau sendiri Hadramaut keturunan ke 26 dari Nabi SAW yang menyebarkan
Islam di Yunnan, dan keturunan ke-6 darinya adalah Mahmud Shamsudin Cheng Ho
sendiri. Sunan Ampel juga diaspora Muslim Tionghoa keturunan Uzbekistani dari
Dikabarkan bahwa Cheng Ho membawa tambur bedug buat Takbiran dari Tiongkok,
yang memang asalnya disana digunakan untuk memberi waktu dipertengahan-
pertengahan kota. Sunan Bonang di Tuban mengajarkan peradaban sungkem, mohon
maaf lahir dan batin dalam rangka Lebaran yang chas Muslim Indonesia, ini layak pai-
cia waktu Sincia. Sunan Kalijaga Gan Si Cang membikin ketupat yang dimakan dengan
hidangan opor dan sambal goreng pada Lebaran, dan ini yang menjadi lontong cap-go-
meh pada perayaan dimalam ke-15 tutup rangka Sincia, yang sudah merupakan hidangan
chas peranakan Tionghoa di Indonesia.
Budaya Tionghoa Sincia yang awalnya dibawa diaspora Tanglang dirayakan di Jawa bisa
jadi telah banyak terpengaruh oleh Muslim Tionghoa yang telah ratusan tahun berada di
Hokkian, dan kemudian meresap kedalam kebudayaan peranakan Tionghoa di Indonesia.
Sedangkan Idul Fitri yang dibawa oleh tak terhitung banyaknya diaspora Muslim
Tionghoa yang diantaranya para Sunan Wali Songo ke-Jawa, bisa jadi merupakan suatu
fenomena perwujudan peleburan budaya antara Islam dan Konghucu yang memberi
bentuk Lebaran chas Muslim Indonesia.
“Sin Cun Kiong Hie” , mohon maaf lahir dan batin, semoga sekeluarga sejahtera dan
damai dalam Tahun Kuda yang akan datang.
Anthony Hocktong Tjio, Diaspora Indonesia kelahiran Surabaya.
Monterey Park, CA. 23 Januari 2014.
Perayaan Imlek itu sama sekali tidak ada hubungan dengan agama Kong Hu Cu. Itu hanya merupakan tradisi Cina utk menyambut musim semi. Hanyalah di Indonesia, segelintir orang mengaku ngaku perayaan ini dikaitkan dengan agama tertentu(Kong Hu Cu). Coba tanyakan dengan orang Tionghoa di Singapore, Hong Kong atau di Australia. Mereka jadi bingung kalo Tahun baru Imlek dikaitkan dengan agama Kong Hu Cu.
Betul tanggapan Andre. Disini memang Sin Cia tidak ada sangkut paut dengan Ajaran Konghucu. Sin Cia adalah perayaan tibanya musim Semi bagi Tionghoa, baik Tionghoa di HK, Singapura, Indonesia maupun Taiwan dan di Tiongkok sendiri yang pada umumnya masih menganut Ajaran Konghucu, sebagai kaum Konghucu. Bukan Kristen, Hindu, maupun Muslim. Konghucu dalam arti Golongan bukan agama. Kamsia.