Mengais Rezeki di Berbagai Pameran di Kota Besar
dilaporkan: Liu Setiawan
Jakarta, 3 Agustus 2025/Indonesia Media – Kejamnya Ibu Tiri Tak sekejam ibukota (Jakarta), sebuah pepatah yang mencerminkan keras hidup di Jakarta. Potret bagaimana orang mengais rejeki dengan berbagai cara, mulai dari yang ‘manual’ sampai yang ‘profesional.’ Baik para pendatang maupun penduduk asli, semuanya ingin menikmati hidup yang telah lama jadi impian selama menetap di kota ini. Tak jarang, berbagai tantangan pun kerap hadir. Persaingan pekerjaan, keterbatasan lahan/perumahan, serta dilema-dilema lain masih menjadi momok keseharian setiap orang yang ada di Jakarta. Salah satunya, Yansen Wong (64) yang sering berburu-buru berbagai souvenir di pameran-pameran. Selama ini, ia sering berburu bareng bersama satu, dua orang rekannya. Tujuannya sama, mencari souvenir terutama di pameran bergengsi baik di JIExpo Kemayoran, ICE BSD dan lain sebagainya. “Saya cari kaos, e-money, jam tangan digital. Saya sering dapat e-money yang nilainya mulai Rp 100.000 sampai Rp 150.000,” kata Yansen saat ditemui Redaksi di INAMARINE 2025, pameran maritim dan offshore di JIExpo Kemayoran.
Ia mengaku, kalau pameran skala kecil, biasanya souvenir hanya sebatas gelas, payung, kaos, bolpoin. Sehingga ia tidak bisa memanfaatkan langsung seperti e-money. Ia biasanya hanya bisa menjual souvenir payung kepada teman-teman atau tetangganya. Harga jual souvenir payung, mulai dari Rp 20.000 – Rp 50.000. Kegiatan mengais rezeki di berbagai ajang pameran, tidak melulu berburu souvenir. Kadang ia bisa menikmati makan siang atau snack (makanan ringan). “Waktu saya mau ambil snack dan minuman kopi atau teh di VIP Lounge (JIExpo), ada petugas. Kalau temu petugas yang baik, mereka tidak melarang. Tapi kalau temu yang sebaliknya, mereka sering cegat. Saya juga tahu diri. Maka saya biasanya menikmati snack di sore hari. Ketika sebagian exhibitor dan pengunjung VIP sudah pulang,” kata Yansen.
Dengan berprofesi sebagai pemburu souvenir, ia mengaku cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Ia mengaku tinggal di kos-kosan di bilangan Setiabudi Jakarta Selatan. Ia bayar biaya kos Rp 750.000/bulan. ia merantau dari Surabaya ke Jakarta tahun 2004 yang lalu. Awalnya, ia sempat kerja di resto-resto di bilangan Mangga Besar Jakarta Kota. Tapi karena satu dan lain hal, ia beralih menekuni trading saham. Ia memulai trading saham dengan harga terendah Rp 50 alias gocap. Dengan risiko investasi (saham), ia ragu untuk main Rp 500/saham alias gopek. “Saya berhenti saja main saham. tapi saya pikir-pikir, ketimbang saya menganggur, saya sering datang ke pameran-pameran. Syukur-syukur, bisa dapat souvenir terutama e-money. Bahkan saya juga kadang ikut RUPS (rapat umum pemegang saham), dan kalau beruntung, bisa dapat e-money, makan gratis,” kata Yansen. (LS/IM)