MEMAHAMI GEMPA DAN TSUNAMI MALUKU (2)


Sejarah gempa menjadi sangat penting ketika  kita hidup di atas ancaman sebagaimna telah dipaparka sebelumnya. Berpikir dengan pendekatan sejarah membuat kita menjadi semakin paham dan siap menghapai ancaman.  Kita bisa banding antara gempa Aceh yang menelan korban  sekitar 180 ribu jiwa. Sementara di Sendai Jepang dengan kekuatan gempa relatif sama, bisa mengurangi jumlah korban hanya sekitar 1800 orang.

Pengetahuan gempa bukan monopoli orang berpengetahuan seperti di kota atau di daerah yang tersentuh informsi.  Di Nias, daerah terpencil yang punya kearifan lokal, ketika terjadi gempa Aceh, kearifan lokal membuat mereka lebih siap. Menurut pemahaman mereka, bila terjadi gempa besar, air laut surut, maka harus ke bukit.  Kearifan itu membantu mereka selamat.

Gempa Banda Tahun 1629
Sebenarnya, Belanda memiliki catatan gempa sejak tahun 1608 di Maluku. Namun untuk catatan ini, kami hanya akan membeberkan gempa yang dikategorikan besar. Dari catatan itulah diketahui bahwa terjadi gempa besar disusul tsunami tahun 1629  dan telah memporakporandakan Banda Naira dan Pulau Lonthor. Ketinggian air yang menghantam Benteng Nassau Banda Neira setinggi 15,3 meter dihitung dari titik air pasang tertinggi. Gempa ini terasa hingga Pulau Ambon, tapi lemah.

Gempa Ambon 1674
Catatan yang cukup lengkap adalah gempa pada tanggal 17 Pebruari 1674 yang terjadi dekat Pulau Ambon. Ini adalah gempa dan tsunami terbesar yang melanda Pulau Ambon dan sekitar. Menurut catatan tersebut, tsunami tertinggi terjadi di daerah Leihitu. Ketinggian bervariasi. Puncak tertinggi ada di Negeri Seith. Negeri-negeri sekitar juga mengalami tsunami yang cukup tinggi. Di Benteng Hila bahkan 39 tentara tenggelam. Di Negeri Lima, seorang perempuan dari Benteng terseret air hingga 350 meter karena berpegangan di pohon yang tumbang terbawa tsunami. Benteng di Hitu Lama dan Benteng Midlleburg runtuh. Di hampir seluruh pulau Ambon terjadi rekahan tanah, dan sebagian mengeluarkan lumpur berwarna kebiruan dan bau tak sedap. Menurut laporan tersebut, air pasang juga mencapai Mamala, namun tidak ada korban jiwa di sana.

Gempa dan tsunami yang bervariasi ini terjadi hampir di seluruh pulau sekitar Ambon seperti Pulau Buru, Ambalau, Kelang, Manipa, hingga Saparua. Di Benteng Overberg di Loki, tsunami juga terjadi cukup tinggi namun tidak ada korban jiwa di sana.

Di pusat Kota Ambon, daerah Pecinan (AY Patty dan sekitar) dan Mardika terjadi kerusakan parah.  Benteng Victoria bahkan tidak luput dari kerusakan tersebut. Jumlah korban yang tercatat seluruhnya sebanyak 2243 orang, 31 diantaranya orang Eropa.
Gempa 1852

Pada jam 07.40 pagi tanggal 26 Nopember 1852,  terasa  gempa dahsyat di Banda Naira. Goncangannya vertikal dan makin bertambah kuat Gempa dengan lama guncangan sekitar 5 menit. Ketika gempa, rumah-rumah di Banda Naira sebagian besar runtuh. Sebagian lagi rusak berat. Di Ambon dan beberapa pulau sekitar seperti Lease dan Seram, juga mengalami gempa besar. Di sebagian besar daerah ini kemudian terjadi tsunami dengan variasi ketinggian yang berbeda. Namun yang paling tinggi terjadi di Banda dan Lonthor. Rekahan tanah hampir terjadi di seluruh bagian kedua pulau itu. Setelah gempa, sekitar 10 sampai 15 menit kemudian tsunami menerjang. Guncangan terasa hingga ternate, bahkan Jawa Timur. Pusat gempa terjadi di patahan Banda, atau sekitar tenggara pulau Banda.

Gempa tahun 1899
Gempa ini menimbulkan kerusakan yang cukup besar. Terjadi pada tanggal 30 September dengan pusat gempa di pesisir selatan Pulau Seram. Menurut laporan dan kajian seorang ahli Geologi Belanda, Verbeek, yang pada saat kejadian berada di Pulau Seram, bahwa ada pergeseran permukaan tanah, yang cukup panjang di banyak tempat di Pulau Seram ketika terjadi gempa tersebut.

Walau pusat gempa ini terjadi di selatan Pulau Seram, namun di bagian utara dan barat Pulau Seram juga terjadi kerusakan. Gempa tersebut juga terasa sampai di Ternate, Kei, Kepulauan Sula. Gempa ini juga berakibat daerah Elpaputih seluas panjang 260 meter dan lebar 100 – 150 meter tenggelam. Di beberapa tempat, daerah pesisir mengalami penurunan permukaan yang terjal. Sesudah terjadi gempa, disusul dengan gelombang tsunami.

Di Teluk Piru, tsunami terkuat di Hatusua.  Air menyapu daratan cukup jauh dari bibir pantai. Gempa ini terasa hingga Pulau Banda dan menimbulkan tsunami kecil setinggi 1 meter di Banda.

Kejadian gempa dan tsunami besar tahun 1899 ini adalah gempa besar yang terakhir. Sesudah itu, hingga sekarang tidak ada gempa besar seperti keempat gempa besar disertai tsunami sebagaimana deskripsi singkat di atas.
Gempa Besar Yang Berulang
Penting dipahami bahwa gempa kadang tidak mengikuti alur yang dianalisa manusia. Hal ini terjadi di Jepang dan China. Minimal bencana di Jepang dan Cina menjawab statmen itu. Daerah yang terkena gempa Wenchuan di Cina tahun 2008 dan Sendai di  Jepang tanggal 11 Maret 2011 adalah daerah yang tidak terdeteksi mengandung ancaman gempa besar. Namun, itulah alam, akan bekerja sendiri, bukan karena analisa manusia. Manusia hanya mampu membaca melalui gejala dan sejarah.

Analisa Ron dan ahli geologi lain, bahwa gempa besar akan kembali terjadi berdasar analisis waktu, analisis pergerakan lempengan bumi dan analisis keberadaan gunung api dll. Menurut analisis Ron, pengulangan di beberapa gempa besar itu akan terjadi kisaran 150 hingga 200 tahun atau bahkan di atas 200 tahun.

Berdasar analisis tersebut, maka yang harus diwaspadai adalah pengulangan gempa tahun 1852.  Karena dengan hitungan geolog seperti Ron, kita sedang memasuki masa menunggu. Namun sekali lagi, itu analisis. Prof Ron dan ahli geologi lain sama sekali tidak punya kemampuan memastikan tahun berapa, patahan mana, lokasi mana, kekuatan berapa SR dan lainnya.
Kita Punya Tuhan
Kita semua adalah manusia yang ber-Tuhan. Alam dan manusia adalah ciptaan-Nya. Kehendak Tuhan dapat kita terima dengan berbagai cara. Bagi yang beriman, ancaman gempa dan tsunami adalah cara Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya. Dengan itu, kita lebih mendekatkan diri, pahami betapa kecil manusia dihadapan pencipta.

Sebagai manusia dengan segala keterbatasan, menerima takdir bukan berarti pasrah. Tapi justru menjadikan kita meningkatkan kapasitas kita, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang gejala-gejala alam. Harapannya, sebesar apapun ancaman dan bencana, korban dapat ditekan karena kita siap.
Allahu a’lam bish shawab.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *