Melihat SBY, Timur Pradopo, Suryadharma Ali, Ratu Atun, dan Sri Sultan dalam Insiden Ahmadiyah Cikeusik


Apa yang bisa diharapkan dari seorang Presiden SBY ketika pecah kerusuhan berdarah yang menewaskan empat orang jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Minggu, 6 Februari lalu?Beberapa jam

Massa di Cikeusik

setelah kejadian, SBY melakukan rapat koordinasi Polhukam dengan para menterinya. Pada kesempatan itu SBY memerintahkan agar SKB Tiga Menteri tentang Kebebasan Beragama dan Keyakinan segera dievaluasi kembali.

“Evaluasi dilakukan mendasar karena menyangkut keyakinan, kepercayaan seseorang, sekelompok orang, agar tidak bertentangan dengan aturan perundangan yang ada,” titah sang Presiden, seperti yang dikutip Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Santoso.Pada kesempatan

SBY

itu SBY juga memerintahakan agar Kapolri Timur Pradopo dan Menteri Agama Suryadharma Ali segera ke lapangan, dan memberi laporannya apa sebenarnya yang terjadi di sana.

Apa yang juga bisa diharapkan oleh Kapolri Timur Pradopo dan Menteri Agama Suryadharma Ali ini? Jelas bahwa peristiwa kejahatan kemanusiaan yang sangat serius dengan mengatasnamakan agama ini sebenarnya sudah dapat diramalkan cepat atau lambat pasti akan terjadi. Sebagai akibat dari lemahnya pemerintah saat ini yang terus-menerus membiarkan terjadinya anarkisme demi anarkisme yang menindas kaum agama minoritas dengan mengatasnamakan agama itu.

Apa yang bisa diharapkan dari seorang Presiden SBY kalau dalam memberikan titahnya saja dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam dia sudah berubah haluan?Awalnya dia dengan tegas memerintahkan bahwa segera evaluasi SKB Tiga Menteri tentang Kebebasan Beragama dan Keyakinan secara mendasar, seperti yang disinggung di atas. Tetapi belum genap satu hari, seruannya berubah 180 derajat, dengan mengatakan segera kembali ke peraturan yang telah ditetapkan dalam SKB Tiga Menteri tersebut.

Timur Pradopo - Kapolri

Apa yang diharapkan dari seorang Timur Pradopo, yang seorang Kapolri namun ternyata sangat bersimpatik kepada ormas garis keras seperti FPI? Bahkan sobat kental pimpinan FPI itu mengatakan bahwa FPI akan diajak kerjasama untuk menjaga keamanan Republik ini.Apa yang diharapkan dari Kapolri, kalau selama ini polisi yang hadir dalam setiap kerusuhan anarkisme dan kejahatan kemanusiaan atas nama agama itu hanya sebagai penonton konyol semata?

Sudah ratusan kejadian anarkisme yang menindas agama minoritas terjadi di depan mata polisi, tetapi tidak ada satu pun kejadian yang memperlihatkan kemauan dan kemampuan polisi mengatasinya. Dalam semua kejadian itu polisi selalu berada pada “pihak yang kalah,” sehingga warga yang harus dilindungi selalu menjadi korban.

Seperti kejadian terakhir yang menyebabkan tewasnya empat orang jemaat

Suryadharma Ali - Menteri Agama

Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik itu.Dari tayangan TV dan Youtube, kita bisa melihat begitu konyolnya kehadiran polisi di sana. Mereka benar-benar sangat tidak dihargai, tetapi seperti itu bukan masalah bagi mereka.Dan seperti diduga, meskipun telah menetapkan tiga orang tersangka (hanya tiga?), pernyataan resmi polisi pun tak jauh dari yang sudah-sudah: Bahwa kejadian tersebut terjadi karena kesalahan pihak jemaat Ahmadiyah sendiri, yang melakukan provokasi sehingga membuat massa mengamuk dan membantai mereka.

Ratu Atut - Gubernur Banten

Apa yang dimaksud dengan tindakan provokasi itu? Ternyata yang dimaksud dengan tindakan provokasi itu adalah karena beberapa jemaat Ahmadiyah itu datang ke rumah milik pimpinan mereka sendiri, dan ketika diminta polisi untuk keluar dari sana, mereka tidak mau.Pernyataan resmi Polri pun mengatakan bahwa kejadian di Kecamatan Cikeusik tersebut adalah murni kejahatan biasa, bukan masalah agama.

Apa yang diharapkan dari seorang Suryadharma Ali, yang adalah seorang pejabat Menteri Agama yang seharusnya bersikap adil, tetapi mengira dirinya adalah Menteri Agama Khusus Islam, sehingga dengan terang-terangan menyatakan dirinya sebagai antiAhmadiyah, dengan tekad bulatnya untuk membubarkan Ahmadiyah?

Bahkan dalam pernyataan setelah kejadian berdarah di Cikeusik itu

Sultan Hamengkubuwono X _ Sultan Yogyakarta

Suryadharma Ali kembali menyatakan secara tersirat di Tempo Interaktif bahwa warga Ahmadiyah tidak punya hak hidup di negeri ini. Dan melarang mereka untuk menggunakan Al-Quran dalam menjalankan ibadahnya.Dengan sikap seperti ini, apakah tepat Presiden SBY bisa mengandalkannya untuk ikut menyelesaikan masalah ini secara adil?

Presiden dan Menteri sama saja.

Tak kalah konyolnya adalah pernyataan Gubernur Banten Ratu Atut yang menyebutkan bahwa peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan itu merupakan musibah, dan di luar kekuasaan manusia untuk mengatasinya! Tapi barangkali ada benar juga bagian terakhir pernyataannya, yakni “di luar kekuasaan manusia untuk mengatasinya,” karena yang melakukan tersebut memang bukan manusia tetapi iblis. Karena hanya iblis saja yang tega melakukan pembunuhan dengan cara yang sedemikian kejam seperti itu, sementara yang lain dengan tenang mengabadikannya dengan ponsel masing-masing di tangan.

Saking sadisnya aksi pembunuhan tersebut, Youtube pun telah menghapus tayangan tersebut dari situsnya, setelah hanya sehari ditayangkan di sana.

Bahwa ada indikasi kuat sebagian pejabat (tinggi) negara ini yang juga antiAhmadiyah dan (diam-diam) bersimpatik kepada aksi-aksi kekerasan terhadap mereka bisa jadi tercermin dari pernyataan Gubernur Ratu Atun yang lain. Sang Gubernur mengatakan dengan “bijak,” semoga dengan adanya peristiwa di Cikeusik ini, jemaat Ahmadiyah menjadi insyaf dan kembali ke jalan yang benar.

Kita tanya kepada Sang Gubernur: Apakah para pelaku anarkisme dan pembunuhan sadis tersebut tidak perlu insyaf, karena mereka sudah berada di jalan yang benar, Ibu Gubernur? Jauh sekali lebih bijaksana, tegas dan mengayomi, datang dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang sempat disindir Presiden SBY sebagai penganut monarki itu.

Beliau menjamin bahwa semua penganut Ahmadiyah di Yogyakarta tidak perlu takut, karena mereka dilindungi hak-haknya dalam menjalani keyakinannya oleh pemerintah daerah di bawahnya.

“Persoalannya sebetulnya bukan siapa yang mendahului, tetapi bagaimana semua pihak saling menghargai dalam proses kebersamaan sebagai suatu bangsa. Seharusnya siapapun dia, tidak boleh memaksakan kehendak dari salah satu pihak, … Ahmadiyah juga ada di Yogyakarta. Tidak ada masalah dengan mereka, karena semua saling menghargai… ” kata Sri Sultan (VIVAnews, 07/02/20110)

Dari sini kita bisa melihat siapa sebenarnya pimpinan bangsa yang sejati, yang mengayomi semua warganegaranya, yang patuh terhadap apa yang telah diamanahkan oleh konstitusi negara, UUD 1945. Yang di Pusat malah membuat seolah-olah SKB Tiga Menteri lebih tinggi daripada Konstitusi Negara itu.(kompasiana/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *