Made in Indonesia vs Pakaian Bekas


Saya ingat di tahun 2007, saat KOMPAS menerbitkan edisi khusus 17 Agustus dan berbicara mengenai nasionalisme ada tulisan pendek saya yang terpilih untuk dimuat di sana. Tulisan adalah seperti ini “Saya dan keluarga lebih memilih untuk membeli barang berlabel Made In Indonesia, karena di balik label itu bergantung nasib ribuan buruh beserta keluarganya” . Saya tidak menyangka tulisan pendek itu banyak dikutip di beberapa blog, tentu saja atas nama demokrasi banyak komentar yang setuju maupun tidak setuju dengan pernyataan saya tersebut. Sah-sah saja, saya menghormati keragaman.

Saya jarang pergi ke luar negeri. Makanya ketika saya ditugaskan berkunjung ke Paris dan saat musim dingin lagi, terus terang saya bingung ke mana harus membeli pakaian musim dingin dengan harga yang terjangkau dengan uang jatah dari kantor. Untung ada teman di Jakarta yang bisa dimintai tolong untuk mencarikannya.

Dan saya kaget, karena hanya dengan uang 2 jutaan teman saya berhasil mendapatkan 4 stel pakaian dalam, 2 helai mantel/jubah tebal, 1 sweater, 1 jaket, 1 topi, 2 set kaus kaki dan 1 pasang  kaus tangan. Semuanya didapatkan di Mall Ambasador Jakarta. Ketika sudah sampai di Jakarta dan saya periksa, ternyata semuanya berlabel Made In Indonesia. Hebat. Akhirnya saya melewatkan musim dingin di sana dengan pakaian dingin buatan Indonesia itu, dan masih bisa pulang dengan selamat he..he… Bahkan sebagian dari pakaian dingin itu sudah saya berikan ke anak seorang teman yang berhasil mendapatkan beasiswa ke Belanda.

Seorang teman berniat jalan-jalan di Champ Elysee, tampaknya dia punya janji untuk membelikan oleh-oleh berupa kaus resmi klub sepakbola di sana. Dan benar saja, dia menemukan sebuah toko pakaian olah raga di kawasan terkenal itu. Dan ketemulah apa yang dicari, sebuah kaus resmi klub Arsenal (ini kaus resmi, Bung. Bukan kaus yang biasa dijual di kaki lima kita he..he..). Harganya kalau tidak salah 25 atau 45 Euro. Saat menimbang-nimbang jadi beli atau tidak, eh dia menemukan tulisan Made In Indonesia. Maka diurungkanlah niatnya membeli oleh-oleh kaus Arsenal itu he..he..

Globalisasi memang membuat negara seperti Indonesia, Bangladesh, Equador dan yang lainnya sebagai tempat memproduksi produk garmen dan sepatu merek-merek terkenal untuk diekspor ke luar negeri.  Upah buruh yang murah menjadi salah satu alasannya. Di sisi lain negara kita juga menjadi pasar besar untuk produk-produk serupa dari luar negeri sehingga produk industri kita bersaing keras dengan mereka. Semuanya atas nama globalisasi dan pasar bebas.

Tapi seringkali kita jumpai produk impor lebih murah dibandingkan produk lokal sehingga banyak di antara kita yang lebih memilih produk impor karenanya. Kenapa produk kita lebih mahal ? Beberapa orang pintar beralasan karena tingginya ongkos produksi yang melibatkan biaya siluman (baca: pungli) dan karena upah buruh yang lebih mahal dibandingkan upah buruh di negara-negara semacam Vietnam atau Cina.  Baiklah kita terus paksa pemerintah untuk memerangi korupsi dan biayan siluman yang memberatkan dunia usaha. Tapi tentu saja tidak mungkin kalau kita harus mengurangi upah buruh. Karena itu inilah logika saya, seandainya saja saya membeli produk made in Indonesia, berarti secara tidak langsung saya sudah membantu sesama warga negara yang berprofesi sebagai buruh di industri yang memproduksinya.

Sayangnya di bidang usaha garmen ada gejala lain yang perlu diperhatikan. Sekarang semakin berkembang luas fenomena pakaian bekas yang bisa merusak logika saya di atas. Saya tidak tahu kenapa sejak masa reformasi teman-teman kita lebih memilih membeli pakaian bekas yang banyak dijual bebas di mana-mana. Pakaian bebas itu rata-rata memang masih layak pakai, seringkali berasal dari Singapura atau Malaysia, dan harganya memang murah dibandingkan pakaian baru. Kalau pakaian bekas yang dijual itu misalnya jas atau jaket, saya mungkin masih mau menerima, tapi saya amati pakaian bekas impor itu juga termasuk kemeja, rok dan malahan kaos.

 

Dengan kondisi seperti ini tentu saja produk lokal tidak akan bisa laku di rumah sendiri walaupun harga sudah diturunkan sedemikian rupa (yang otomatis menurunkan kualitas). Yang menjadi efek samping dari fenomena pakaian bekas ini tentu saja berkaitan dengan mental dan perasaan sebagai bangsa yang punya kebanggaan dan harga diri. Masak bangsa sebegini besar, rakyatnya hanya mampu mengenakan pakaian bekas pakai dari orang-orang di negeri tetangga.

Mungkin yang perlu kita tanyakan adalah kenapa pemerintah membiarkan fenomena ini terus berlangsung ?

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *