Lalu lintas di Indonesia


Kali ini Jos mengambil alih sebagai pengemudi mobil. Di  jalan A 44, di sekitar Wassennar, Jos berkata:”Nampaknya strook jalan bagian luar lebih besar dari strook jalan bagian dalam”. Pemikiran yang sama yang selalu menjadi pertanyaan dalam kepala saya setiap kali melaju di jalan yang sama.

“Pemisah jalannya yang menyebabkan jalanan terlihat kecil”: Jawab saya.  “Pemisah jalan ini harus segera dibangun setelah terjadinya kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Suatu kecelakaan yang telah memakan korban meninggal dunia sekaligus 6 orang.” : Kata Jos melanjutkan. Saya terdiam. Pada saat yang sama pikiran saya melayang ke pengalaman yang telah saya dapatkan ketika saya berkendaraan mobil  baik di Indonesia maupun di Belanda.

Hidup dan tinggal di Belanda berlainan sama sekali dengan di Indonesia. Negaranya, iklimnya, kebiasaannya, budayanya dan ideologinya mempunyai pengaruh yang besar dan penting dalam kehidupan masyarakatnya.  Terutama faktor ideologi orang Belanda yang lebih berdasarkan pada bentuk  “IK” saya,  sedang orang Indonesia lebih menganut pada bentuk “WIJ” kami. Kedua perbedaan ini juga berperan penting dalam kehidupan lalu lintas sehari-harinya.


Lalu lintas di Kemang, Jakarta

Gambaran kehidupan berlalu lintas  di Belanda sangatlah berbeda dengan di Indonesia. Suatu infrastructuur yang baik dan teratur rapih tidak terdapat di Indonesia. Para pejalan kaki, para pengendara sepeda, para mobilist dan kendaraan umum di Belanda mempunyai jalurnya masing-masing. Suatu perbedaan besar dalam berlalulintas di Belanda adalah bahwa para pemakai jalannya menggunakan sisi kanan dalam berkendaraan dan di Indonesia menggunakan jalur kiri.

Di Belanda berkendaraan(abu-abu), bersepeda(merah kecoklatan), berjalan kaki  (trotoir) ada jalurnya masing-masing.

Para pejalan kaki dan pendaki sepeda di Indonesia hampir-hampir tidak memiliki kemungkinan untuk melakukan kegiatannya di jalanan umum. Sesungguhnya ketidakmungkinan itu juga bisa kita mengerti karena dalam sengatan matahari yang begitu menggigit dan keramaian lalu lintas yang hiruk pikuk serta jarak yang sangat berjauhan, sangatlah tidak mungkin  untuk melakukannya.    Dan kalaupun seseorang akan melakukannya dia harus benar-benar lihai dan jeli untuk mencari dan menempatkan diri di antara  “knalpotten”, pipa-pisa saluran yang mengeluarkan gas dari mobil serta bus yang sering membunyikan klaksonnya.

Keadaan lalulintas di Indonesia untuk orang asing kadang menyebabkannya bergeleng-geleng kepala dan menimbulkan rasa khawatir. Belum lagi kalau mereka harus berbagi satu strook jalan  bersamaan dengan kendaraan bermotor roda dua entah di sisi kiri maupun di sisi kanan mobilnya.

Memang di perkotaan ada jalan raya yang terbagi dalam dua atau tiga strook. Secara normal setiap kendaraan seharusnya melaju di strook jalur ini, memanjang seperti yang terlihat di Belanda. Tetapi di Indonesia strook yang ada diisi tidak memanjang mengikuti jalur yang ada tetapi melebar.

“Hoezo in de breedte? (Apa maksud kamu dengan melebar) “: tanya seorang teman dari Belanda. “Strook, jalur jalan itu khan diperuntukkan untuk kamu”: Katanya melanjutkan. Ya, ya, memang kita bisa bereaksi dan berpikir seperti teman Belanda itu. Tetapi dalam berlalu lintas di Indonesia yang diperlukan hanyalah “handig” kemahiran dan kejelian dalam menggunakan dan mengisi ruang jalanan yang sangat minim.

Dan hal ini di manapun sudah diaccepteerd. Setelah sesaat memperhatikan cara berkendaraan orang Indonesia teman saya berkata:” Ternyata para pengendara mobil atau motor di Indonesia walaupun tidak mematuhi aturan, tetapi sangat berhati-hati dan lihai dalam memilih dan mengisi tempat kosong”.  Saya hanya mengiyakan dan tersenyum mendengar komentarnya. “Assertiviteit” dalam berlalu lintas di Indonesia ternyata tidak perlu diterapkan seperti dalam berkendaraan di Belanda dan harus dihindari.

Dan kalau kebetulan pemakai jalan lainnya lebih lihai dalam meliukkan kendaraannya kita tidak perlu marah dan jengkel. Dalam hal ini yang kita perlukan hanyalah berpikir untuk menerima nasibmu dengan tangan terbuka. Menjadi marah dan geïrriteerd ??.  Vergeet het maar, lupakan saja!

Pemandangan yang tidak kita jumpai di Belanda

Di Jakarta untuk beberapa jalan tertentu sudah sejak lama diperlakukan sisteem  “three in one” dalam lalu lintasnya. Tidak sepanjang hari memang, tetapi hanya dalam jam-jam sibuk. Memang di jalan yang dimaksudkan keadaan lalulintasnya menjadi agak lengang. Tetapi untuk jalan alternatiefnya menjadi sering terjadi kemacetan yang berkepanjangan. Lagi pula tidak setiap hari para automobilist pada jam-jam sibuk selalu bepergian dengan tiga orang.

Melihat ramainya orang berjejer di sepanjang jalan sebelum batas “three in one”, saya agak terkesima dan sempat berpikir:”Alangkah pintarnya orang menggunakan kesempatan untuk turut mengais rejeki”. Hanya disayangkan bahwa nampak jajaran memanjang  para penumpang sewaan sekarang semakin panjang dan semakin banyak pesertanya.

Yang juga membuat saya agak trenyuh adalah melihat disertakannya anak-anak yang masih dalam gendongan untuk turut serta mencoba mengais rejeki di antara gas mematikan yang keluar dari knalpot-knalpot kendaraan yang melaju. Karena bayipun dihitung dan dibayar dengan harga  satu penumpang. Sudah sedemikian sulitnyakah untuk mendapatkan pekerjaan guna mencukupi kebutuhan sehari-harinya?

Ketika saya sedang terbengong-bengong melihat padatnya orang yang berjajar di pinggir jalan, adik saya tiba-tiba berkata:”Saya tidak akan pernah melakukannya”. Ketika saya menanyakan:”Kenapa tidak mau?”, adik saya menjawab:”Saya kapok. Saya nggak mau dirampok lagi atau diperas di tengah jalan. Banyak kejadian, para penjahat berpura-pura sebagai anak sekolahan”.

Untuk sesaat saya berpikir:”Memang dari wajah atau figuur seseorang yang sempat kita tangkap hanya dalam bilangan waktu beberapa detik, tidaklah mungkin untuk dapat melihat apakah mereka orang baik-baik atau penjahat”… Dalam hal ini, adik saya lebih baik mengajak pembantu atau anak tetangga. Jadi kedua belah pihak merasa senang karena saling terbantu.

Bercerita tentang rampok, saya teringat ketika berhenti di lampu merah perempatan Senen beberapa tahun yang lalu. Jendela mobil di sisi saya hanya terbuka mungkin 3 sampai 5 cm. Saya lupa sama sekali kalau setelah membeli bensin, dompetnya saya lemparkan di tengah-tengah dashboard. Setelah saya berhenti karena lampu merah, hanya dalam bilangan detik, tiba-tiba ada tangan yang menjulur dari luar jendela saya dan tangan itu berusaha untuk menggapai ke arah tengah dashboard.

Dalam kepanikan yang ada, secara refleks kaki kanan segera lepas dari rem dan segera menekan handel jendela sekuat mungkin. Saya menekan klakson dan menekan sekali dan sekali lagi… Tapi polisi hanya melirik sebentar dan segera melengoskan lagi wajahnya kearah yang berlawanan. Tangan kiri saya meraba-raba di bak kecil di antara tempat duduk supir dan penumpang. Mencoba mencari pisau putih kecil. Pisau putih yang biasa saya pakai untuk mengupas buah kalau saya sedang naik mobil. Saya tidak dapat menemukannya..

Dan saya tahu pasti bahwa pisau itu selalu saya letakan di sana. Tetapi untuk melihat dan mencari pisaunya saya tidak lakukan. Mengapa? Yang terpikirkan saat itu hanyalah:”Saya harus tetap menatap mata si penjahat, agar dia tahu bahwa saya memang tidak takut”. Walaupun sebetulnya saya sangat takut sekali…Saya berusaha untuk tetap menatap mata si pemilik tangan yang menjulur. Dia kelihatan kesakitan, karena saya lihat kaca yang menempel di tangannya mulai memperlihatkan lekukan yang agak dalam di tangannya.

Saya melihat ke arah lampu lalu lintas. Mengharapkan agar lampu jalanan segera berubah menjadi hijau..Saya mengklakson sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi…Tetapi orang hanya melihat tetapi tanpa mau membantu atau mengulurkan tangan menangkap si penjahat. Mobil di sebelah kiri saya turut membunyikan klaksonnya.. Tetapi hasilnya tetap nihil.

Dan aduuuuuuhhhh waktu yang hanya satu setengah menit terasa bagaikan berjam-jam… Sementara semakin lama jantung saya berdetak semakin keras. Dan butiran keringat terasa mengalir dengan derasnya di punggung dan di dahi. Dan saya mulai berpikir tentang apa yang harus saya lakukan. Setidaknya setelah lampu menjadi hijau. Saya juga khawatir kalau nanti si penjahat akan mengikuti saya. Atau kawanan si penjahat akan mengikuti mobil saya dan berbuat jahat. Sambil menunggu lampu hijau saya memutuskan:”OOO ya, di sebelah kiri, tidak jauh dari perempatan ada perkantoran militer. Saya akan membelokkan mobil ke sana”…

Daaaannn, begitu lampu menjadi hijau, kaki kanan saya lepas dari handel jendela dan saya tancap gas…. Saya masih melihat dari kaca luar, si penjahat meloncat ke pinggir jalan dan berhenti sebentar sambil  mengusap/mengelus tangannya…..”Salah siapa”:  Saya pikir.

Saya belokkan mobil kearah perkantoran militer. Saya matikan mesin dan turun dari mobil sambil bergegas lari ke arah pos yang ada. Saya jatuh lemas di kursi yang ada. Tidak bisa berbicara dan menjawab satu patah katapun pertanyaan petugas yang ada. Lemas selemasnya….Baru setelah  saya diberi minuman teh manis, saya agak tenang dan  sesaat kemudian bisa menjelaskan apa yag telah terjadi….

Komentar mereka hanya: ”Waaah, ibu sebaiknya jangan lewat daerah sekitar Senen lah. Tidak aman”. Dalam hati saya hanya berpikir:”Kalau saya tahu betapa rawannya daerah perempatan itu, pastilah saya akan hindari berkendaraan lewat sana.” Dalam perjalanan pulang yang menjadi pertanyaan saya  adalah bagaimana kita bisa selamat kalau toch terpaksa harus lewat di sana.

Pembaca Baltyra, infrastruktur di luar kota-kota besar juga sangat menarik perhatian saya. Seperti di Cadas pangeran, atau dijalan yang menuju kearah Pangalengan. Fasilitas infrastruktur yang serba terbatas yang terdiri dari dua jalur berlawanan, sempit, bertanjakan, dan dilewati mobil-mobil besar yang bersliweran kadang membuat orang segan untuk melaluinya.

Sering di kiri kanannya terlihat jurang yang dalam seolah menanti korbannya. Korban yang terjadi karena kurang sabar atau kurang hati-hati dalam mengendarai mobilnya. Belokan tajam di jalan yang berliku yang diikuti dengan jembatan sempit atau jalan yang menanjak dan kemudian menurun tajam….Hanya dengan kesabaran, tanpa agresiviteit, tetap alert dan cukup banyak pengalaman mengemudikan mobil akan dapat menyelamatkan para pengguna lalu lintas yang ada. Sayangnya tidak semua pengendara mobil mempunyai kompentensi untuk melakukan hal tersebut di atas.

Memang para pengendara yang melewati jalanan itu rata-rata mengingat dengan baik cerita-cerita yang berlaku untuk daerah sana.

Mungkin untuk orang asing akan terdengar agak aneh dan lucu kalau mereka mendengar bahwa para pengendara mobil di beberapa jembatan, jurang, hutan dan tikungan tajam juga harus membayar semacam “Tol”. Hal ini banyak terjadi kalau kita melewati daerah di sebelah selatan pulau Jawa atau di daerah-daerah lam yang indah di Sumatra.

Kalau kita berkendaraan melalui Cadas Pangeran yang terletak tidak jauh dari Sumedang misalnya. Sebelum kita sampai di Cadas Pangeran, biasanya para pengemudi jalan melemparkan uang lima sen ke dalam jurang yang dilewatinya. Diusahakan agar uang jatuh ke dalam jurang yang ada. Tidak jauh dari jurang yang curam itu kita harus melewati belokan yang tajam, dan sebelum belokan ini misalnya, kita harus menekan klakson dua kali. Dan ini diibaratkan sebagai tanda untuk minta ijin lewat dari para penunggu yang ada di sana…..Ini perlu, agar “Pangeran” yang tidak kasat mata member ijin lewat dan menjauhkan kita dari godaannya… Wallahuallam…

Berkendaraan di daerah alami yang masih belum tersentuh tangan, sangatlah menawan hati. Tidak hanya karena alamnya yang indah tetapi juga satwanya yang kadang mau menampilkan dirinya. Karena keadaan ini kadang kita harus berhenti untuk waktu yang cukup lama, menanti sang Harimau sudi meninggalkan jalan yang akan kita lalui. Atau kadang kita bisa melihat dari kejauhan monyet-monyet yang cukup besar sedang menyeberang jalan.

Berkendaraan melintasi daerah seperti tersebut di atas, kadang pengendara mobil bercerita tentang kejadian yang langka, yang untuk banyak orang sangatlah tidak masuk akal. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang pengemudi yang agak kurang ajar karena dia meludah keluar jendela, sementara sudah diperingatkan untuk tidak melakukannya. Dan yang kemudian terjadi adalah bahwa separuh dari lidahnya bergantung di luar mulutnya dalam keadaan kaku….Dan untuk waktu yang lama tidak dapat digerakkan lagi.

Baru setelah disembuhkan oleh seorang “paranormal” yang mempunyai “tenaga dalam dan kepandaian yang tidak terlihat” si pemilik lidah kaku bisa menggerakkan lidahnya dengan normal lagi. Menurut “paranormal” itu, ada seorang “penunggu wanita” yang marah dan menganggap si pengemudi tidak sopan dengan meludahi tempat bermainnya.

Juga ada cerita tentang seorang pengemudi yang berhenti di dekat persimpangan jalan karena ada seorang wanita yang menyetop mobilnya. Dan sesaat kemudian, ketika pengendara mobil ingin berbincang dengan wanita itu, dia tidak melihat seorangpun di belakang tempat duduknya…

Yang dia rasakan, hanya kedinginan yang luar biasa dan tercium bau wangi yang menyengat. Suatu aroma yang dalam dunia paranormal Indonesia dikenal sebagai bau lelembut yang lewat…

Satu cerita berikut juga dialami oleh kakak kandung saya omor dua yang pernah 11 tahun tinggal di  kota A sebagai Direktur Perikanan dan dosent. Cerita ini saya dengar dari ayah alm yang sempat menengok kakak.

Ketika itu ayah saya kebetulan sedang berkunjung menengok kakak di kota A. Untuk membawa ayah mengenali lingkungan dan sekitarnya,  kakak saya menyetir sendiri mobilnya menuju luar kota. Tiba di salah satu jalan kakak saya, menurut ayah, kok menyupir mobilnya tiba-tiba terlihat tegang sekali.

Setiap kali melihat ke sisi kiri dan sisi kanan mobilnya. Dan kakak saya terlihat agak over dalam memainkan kemudi mobilnya. Sementara ayah melihat bahwa di jalanan itu tidak ada mobil yang lainnya. Ayah saya, meminta kakak saya untuk menghentikan mobilnya. Tetapi kakak saya tidak mau karena menurutnya sukar sekali untuk meminggirkan mobilnya.

Lalu ayah, minta untuk segera berhenti begitu ada kesempatan yang pertama. Tidak berapa lama kemudian kebetulan ada mobil datang dari arah yang berlawanan. Mobil itu menyalakan lampu dimnya, lalu kakak saya membalas dengan menyalakan lampu dimnya dan membunyikan klaksonnya. Dan tidak begitu lama kemudian kakak saya menghentikan mobilnya di warung kecil yang menjual pisang. Tanpa ditanya pemilik warung berkata:”Bapak tidak melihat yang aneh-aneh di jalan tadi”. Kakak saya terdiam dan ayah mengatakan:”Tidak”. Pemilik warung hanya berucap lebih lanjut:”Ooo,bapak masih dilindungi oleh Yang Diatas”.

Setelah sampai di rumah, baru kakak menceritakan apa yang terjadi. Ternyata selama perjalanan tadi,  mobilnya “diapit” oleh empat ban mobil besar yang juga ikut melaju ke arah yang sama. Keempat ban besar ini baru hilang setelah mobil yang berpapasan menyalakan lampu dimnya dan membunyikan klakson… Achhhhhh, mau tidak percaya tetapi terjadi di hadapan kita.

Kakak yang sama juga masih mengalami hal yang cukup uniek dalam perjalanan yang berikutnya. Ketika itu di dalam mobil masih ada beberapa teman kantornya yang ikut nebeng. Mereka berkendaraan akan menuju kota lain dan harus melalui daerah yang agak sepi. Setelah memasuki salah satu hutan kecil , entah mengapa kakak saya tiba-tiba sekali mengerem mobilnya dengan sedalam-dalamnya. Ayah dan yang lainnya terbengong-bengong.

Mereka tidak mengerti mengapa kakak menghentikan mobilnya dengan abrubt. Setelah berhenti, tiba-tiba kakak saya hanya minta salah satu penumpang untuk menyingkirkan “pohon kayu besar” yang roboh dan tergeletak melintang di tengah jalan. Menurut ayah, ketika itu semua penumpangnya hampir secara bersamaan bertanya:”Pohon mana yang tumbang di tengah jalan, pak”.

Kakak saya menunjuk ke tengah jalan, di depan mobil. Setelah salah satu teman turun dan melihat ke depan mobil, yang terlihat di tengah jalan ternyata hanyalah ranting kayu kecil… Ranting itu disingkirkan ke tepi jalan. Dan kakak saya mengatakan:”Nah, sekarang kita bisa melanjutkan perjalanan”.

Sampai dirumah kakak bercerita bahwa dia melihat pohon kayu besar yang tiba-tiba tumbang dan roboh ke tengah jalan, menghalangi lajunya mobil. Untunglah dia segera mengerem dan tidak membanting kemudinya ke arah sebelah kiri jalan yang berbatasan dengan jurang curam. Entah apa yang akan terjadi kalau kakak saya tidak dapat mengendalikan laju mobilnya… Thanks God.

Kembali ke Jakarta ayah alm. mengunjungi Oom di Setia Budhi dengan oleh-oleh semua cerita yang sempat dialaminya di kota A. Menurut Oom ada orang yang akan berbuat jahat karena menginginkan kedudukan kakak saya…  Untunglah kakak saya yang satu ini memang sering sekali bermeditasi dan kuat tirakatannya…Sehingga bisa melampaui rintangan yang ada dengan selamat.

Memang Allah itu Maha Kuasa. Tidak lama setelah kejadian itu kemudian kakak saya dikirim ke Rhode Island Amerika untuk mengambil Masternya. Dan dilanjutkan programnya di Univ. of Hawaii untuk mengambil gelar Doktor perikanannya…

Di AS pula pula mbakyu ipar tercinta saya, mbak Yulie, diberi kesempatan untuk mendapatkan dua momongan, setelah belasan tahun menunggunya dengan rasa was was dan penuh cemas di kota A… Rupanya Rhode Island dan Hawaii memberikan ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan setelah kepindahannya bisa mendapatkan berturut-turut dua momongan. Sekarang mereka sudah menjadi Dokter Gigi (Unpad) dan Insinyur Elektro (ITB) .. Saya Panjatkan Puji Syukur kehadapanMu.

**Semoga teman-teman di Baltyra yang mengendarai mobil selalu waspada dan turut memperhatikan serta menghormati apa yang ada dan yang  terjadi di sekelilingnya. Dan semoga kita semua sampai kembali di rumah dengan selamat. Amien. Fijne vakantie. Nu2k

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *