Selama ini umumnya yang diperhatikan para perancang
perkembangan ekonomi adalah masalah GDP, pimpinan
Negara berdaya upaya mencari jalan bagaimana
meningkatkan dan mengukuhkan index dari tahun ke tahun.
Kebijakan pemerintah Singapura senantiasa berusaha
mendorong agar masyarakat tekun belajar, mengupgrade
ketrampilan dalam bidang masing masing, rajin bekerja demi
meningkatkan produksi. Ini telah menjadi mantra kehidupan di
Singapura.
Untuk meningkatkan produksi diperlukan labour force,
sedangkan masyarakat Singapura enggan beranak banyak,
sekalipun telah diberi berbagai fasilitas, birthrate bertahun
tahun tetap rendah. Demographic penduduk semakin menua.
Pemerintah gelisah, terpaksa mengambil tindakan tambal
sulam membuka kesempatan bagi banyak orang asing datang
bekerja dan menjadi PR, dengan perhitungan Singapura
memerlukan tambahan penduduk menjadi 6.9 juta demi
mencapai index GDP yang diinginkan. Sementara banyak
masyarakat lokal terlebih pula kaum pekerja menyangsikan
kebijakan pemerintah mengenai tambahan penduduk hingga
mencapai 6.9 juta. Mereka kuatir kedatangan orang asing
dalam jumlah besar akan lebih meruncingkan kompetisi bidang
employment, antara lain termasuk, perumahan dan penuh
sesak lalu lintas jalan raya.
Berdasarkan kebijakan pemerintah, dengan sendirinya
telah menghasilkan budaya work force oriented dalam
kehidupan masyarakat dimana satu satunya tujuan hidup
adalah bekerja keras demi mengumpulkan material sebanyak
mungkin. Singapura sebuah negeri kecil yang lahannya sangat
terbatas, dan pembelian pasir untuk land reclamation demi
memperluas wilayah sudah menghadapi banyak tantangan
dari negara tetangga, tidak lagi semudah dulu, dengan
demikian, property ownership menjadi tujuan hidup pertama,
diikuti dengan mobil dan branded goods. Orang bekerja keras
agar dapat memiliki property, bukan saja demi jaminan hidup,
mengumpul harta benda juga untuk diwariskan kepada anak
cucu dan seterusnya, agar kehidupan mereka di kemudian hari
turut terjamin, kalau bisa selamanya. Kebiasaan mengumpul
harta benda untuk diwariskan ke anak cucu telah
mengakibatkan terjadinya fenomena yang sering diungkapkan
dalam sebuah kalimat: “First generation made money, second
generation enjoyed it, third generation squandered it.” Suatu
perkembangan kehidupan keluarga yang sama sekali tidak
mendidik, bahkan menyesatkan.
Maka tidak mengherankan diantara masyarakat usia tua
banyak yang menganjurkan, “Kalau masih bisa makan,
makanlah kenyangnya sekarang. Kalau masih bisa jalan, jalan
jalanlah sekarang.” Maksudnya agar orang menikmati
makanan sedap sebanyak mungkin dan jalan jalan sepuas
puas hati sebelum mati, agar tidak merasa sia sia hidupnya,
sebab hanya itulah tujuan hidupnya: makan dan jalan jalan
sebelum mati.
Minggu lalu tanggal 23 September 2013 Ketua opposisi
Myanmar Aung San Suu Kyi dalam kunjungannya ke
Singapura telah menemui PM Singapura Lee Sien Loong.
Terbiasa dengan puja puji para VIP luar negeri ketika datang
berkunjung mengenai kemajuan fisik luar biasa yang berhasil
dicapai oleh Singapura, Lee bertanya, “Apa kesan Anda
terhadap Singapura, dan apa yang Anda ingin ambil sebagai
contoh ( To recreate ) sekembalinya di Myanmar?”
Dengan suara halus dan rangkaian kata kata yang tidak
kurang halusnya Aung Saan Suu Kyi menjawab, “Kalau bicara
“to recreate” saya rasa bukan tujuan kami. Tapi ada beberapa
factor yang patut diperhatikan.” Menurut pengelihatannya,
system pendidikan Singapura sangat focus pada work
oriented, maka telah berhasil mencapai standard kemajuan
hari ini. Standard kemajuan ini yang ingin ia pelajari. Namun
kemajuan tidak berarti hanya focus pada keberhasilan ekonomi
atau keberhasilan menumpuk kekayaan material. Karena
selain material, masyarakat memerlukan adanya rasa saling
peduli, rasa bonding satu sama lain sesama manusia, sadar
akan keperluan kelompok orang orang yang kurang berhasil
dan tertindas. Ada yang mengatakan jawaban Suu Kyi berupa
jawaban satir, karena ketika ia dikenakan sangsi panjang
tahanan rumah oleh penguasa, pemerintah Singapura tidak
pernah menyuarakan protes kepada penguasa militer
Myanmar.
Baru baru ini Global Age Watch yang dibentuk oleh
kelompok advokasi Help Age International dan Badan
Kependudukan PBB membuat laporan tentang kenyamanan
pada hari tua. Laporan memaparkan indeks global pertama
yang mengukur kualitas hidup warga lanjut usia. Dikeluarkan
pada Hari Lansia Internasional, disusun berdasarkan data dari
PBB, Badan Kesehatan Dunia WHO, Bank Dunia dan badan
global lainnya, berdasarkan hasil analisa dalam bidang
pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan lingkungan yang
menunjang kehidupan hari tua di 91 negara. Hasil survei
menempatkan Swedia pada papan paling atas diikuti oleh
beberapa negara Skandinavia lainnya, sedangkan Afghanistan
di tempatkan yang terbawah, sementara negara negara
selebihnya ditempatkan menurut ukuran survey yang tercatat.
Membaca laporan diatas mengingatkan kita kepada
sebuah statistic yang juga pernah disiarluaskan di mass media.
Menurut hasil survei para pakar, perbandingan percentage
berdasarkan jumlah penduduk, angka orang mati terutama
orang lanjut usia bunuh diri tertinggi di seluruh dunia terdapat
di Skandinavia. Jadi, bagaimana kita menyambut dua hasil
survey yang bertantangan? Perlu diketahui, apapun alasan
orang membunuh diri tentunya bukan karena hidup bahagia
dalam lingkungan nyaman.
Hasil survey para pakar seringkali bersimpang siur,
menggunakan ukuran metode yang berlainan, tentunya cukup
membingungkan bagi orang awam jika ingin mengikuti dengan
serius. Maka sebaiknya dianggap sebagai referensi saja, tidak
sebagai fakta yang tidak berubah. Sementara definisi hidup
nyaman dan bahagia itu apa? Apakah dapat ditakar dengan
metode seperti orang menimbang berat badan, misalnya?