Kong Tik Soe Semarang dan Masa Depan Cagar Budayanya


Rumah ibadat Kong Tik Soe Semarang di saat banjir.

Rumah ibadat Kong Tik Soe Semarang di saat banjir.

RUMAH ibadat Kong Tik Soe (KTS) yang terletak di Gang Lombok No 60 Semarang, pada tahun 2001 telah teregister di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng sebagai salah satu bangunan yang diduga cagar budaya, dengan nomor register 11-74/Sem/TB-1.

 

Namun hingga kini, menurut Kapokja Publikasi dan Pemanfaatan BPCB Jateng Wahyu Kristanto, saat dihubungi Rabu (29/1) lalu, belum ada kajian dari BPCB secara khusus perihal rumah ibadat yang didirikan pada penghujung tahun 1845 tersebut. “Kajian untuk Kong Tik Soe seperti yang sudah kami lakukan sebagaimana terhadap rumah bersejarah Gedung Sarekat Islam Semarang, belum ada,” kata dia.

Tahun lalu BPCB Jateng sudah melakukan kajian cagar budaya terhadap rumah bersejarah Gedung SI Semarang (yang dikenal juga dengan sebutan Gedung Rakyat Indonesia atau GRI, sekarang bernama Balai Muslimin Semarang) dan hasil kajian finalnya telah diserahkan ke wali kota Semarang pada tahun lalu, 24 Oktober 2013.

Namun oleh sebab pada saat diserahkan ke wali kota Semarang waktu itu di Pemerintah Kota Semarang belum punya Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), pengesahan Gedung SI Semarang untuk disahkan melalui Keputusan Wali Kota Semarang belum dapat terlaksana. Sebab mengacu Pasal 31 UU Cagar Budaya No 11/2010, mengatur pengesahan benda cagar budaya (BCB) harus melalui rekomendasi TACB, yang TACB itu sendiri harus dibentuk berdasarkan keputusan bupati/wali kota.

Sebagai akibat aturan itu, untuk dapat mengesahkan pencagarbudayaan Gedung SI Semarang maka Pemkot Semarang selanjutnya baru membentuk TACB yang terdiri dari 10 ahli yang saat ini diketuai Widya Wijayanti. TACB Kota Semarang ini telah dilantik Wali kota Semarang Hendrar Prihadi pada 7 Januari 2014 lalu. Dengan sudah adanya TACB di Kota Semarang, rumah bersejarah Gedung Sarekat Islam Semarang kini dapat diproses lebih lanjut untuk disahkan wali kota berdasarkan rekomendasi TACB.

Kembali ke persoalan rumah ibadat Kong Tik Soe, BPCB Jateng telah menyatakan mengirimkan data-data bangunan di Kota Semarang yang pernah teregister ke TACB yang baru terbentuk.

“Ada dari anggota TACB Semarang menanyakan gedung apa saja yang diduga cagar budaya yang pernah teregister di BPCB, dan bahan sudah kami kasihkan, sekitar dua pekan lalu. Salah satu dari bahan itu adalah rumah ibadat kong Tik Soe itu, bahkan yang itu di urutan nomor satu,” ujar Wahyu Kristanto.

Wahyu menjelaskan, bangunan-bangunan yang daftarnya dikirimkan ke anggota TACB tersebut, sifatnya masih baru teregister. “Secara hukum untuk kekuatan hukukmnya menjadi cagar budaya, itu nanti harus disahkan wali kota Semarang. Sebelum disahkan, harus dikaji TACB Kota Semarang, dan mana-mana yang dianggap sebagai cagar budaya direkomendasikan TACB ini ke wali kota,” jelas Wahyu.

Untuk Kong Tik Soe sendiri, jelas Wahyu, dinilainya sangat layak menjadi cagar budaya. Dari kunjungannya ke rumah ibadat tersebut, menurut ia dari segi usia bangunan, arsitektur, sejarah, serta fungsi sosialnya berupa sekolah gratis untuk siswa SD-SMP dan membantu warga miskin, seluruhnya memenuhi persyaratan cagar budaya.

“Ada 4 syarat untuk bisa menjadi cagar budaya, yang jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka ia gagal jadi BCB. Untuk Kong Tik Soe ini, kami anggap empat-empatnya terpenuhi,” jelas ia.

Ia katakan, dirinya dkk berkunjung ke Kong Tik Soe pada pertengahan 2013. Saat itu kebetulan ada undangan dari Pemerintah Kota Semarang berkaitan Kong Tik Soe. Saat itulah ia berjumpa dengan perwakilan dari kong Tik Soe, yakni Eko Wardojo, dan selanjutnya berkunjung meninjau rumah ibadat Kong Tik Soe.

“Waktu itu dari Dinas Tata Kota dan Permukiman (DTKP) Kota Semarang mengundang kami, terkait rencana pengurus Kong Tik Soe yang mau meninggikan bangunan setinggi tiga meter dan memebenahi kerusakan. Agar tidak kesalahan, karena memang bangunan itu dalam dugaan bangunan bernilai cagar budaya, kami dari BPCB diundang,” terangnya.

Adapun alasan pengurus Yayasan Kong Tik Soe ingin meninggikan dan membenahi kerusakan-kerusakan rumah ibadat, disebabkan terdapat ancaman kerusakan karena faktor alam.

“Ancaman itu memang nyata sekali, utamanya akibat banjir dan rob yang masuk sampai ke dalam rumah ibadat. Ada foto-foto dan video kalau situasi banjir rob juga yang ditunjukkan ke kami. Kami pun sudah meninjau langsung ke sana,” kata Wahyu.

Maka ke depan agar gedung itu bisa dibenahi dan tidak menyalahi aturan cagar budaya, menurut Wahyu, Yayasan Kong Tik Soe harus segera menyurati TACB Kota Semarang atau DTKP Kota Semarang, supaya kalau memang itu dinilai cagar budaya, agar dapat segera diproses.

“Nah nanti kalau itu betul sudah disahkan wali kota sebagai cagar budaya, perbaikannya dapat dilakukan, bisa dengan mengambil sumber pendanaan dari berbagai sumber, bisa dari Yayasan kong Tik Soe sendiri, hibah pemerintah, atau sumber-sumber lain,” ucapnya.

Kata Wahyu, dari pengurus Kong Tik Soe sepertinya tidak ada yang keberatan bila rumah ibadat itu dijadikan cagar budaya. “Mereka tampaknya malah senang sekali kalau itu jadi cagar budaya, kemudian di bangunan itu ditempeli penanda cagar budaya dari negara,” tutur Wahyu.

Penghormatan Leluhur

Lukisan rumah ibadat Kong Tik Soe tampak depan.

Lukisan rumah ibadat Kong Tik Soe tampak depan.

Rumah ibadat Kong Tik Soe, menurut Pengawas Yayasan Kong Tik Soe, Eko Wardojo, merupakan rumah ibadat untuk memberikan penghormatan kepada para leluhur. Berdiri pada penghujung tahun 1845, pendirian diprakarsai oleh Luitenant Khouw Giok Soen, Luitenant Tan Hong Yan dan Majoor Be Ing Tjioe

 

Gedung Kong Tik Soe yang berdiri di atas lahan seluas 2.176 m2 itu terbagi menjadi tiga ruangan. Di sebelah barat dahulu merupakan kantor Kong Koan, kini dipergunakan untuk Balai Pengobatan Yayasan Tjie Lam Tjay. Ruang tengah tetap berfungsi sebagai altar penghormatan kepada leluhur, ruang di sebelah timur difungsikan untuk kantor sekretariat Yayasan Kong Tik Soe, Yayasan Tjie Lam Tjay (membidangi layanan perkabungan gratis dan layanan kesehatan murah), dan Yayasan Khong Kauw Hwee (membidangi layanan pendidikan gratis tingkat TK-SD-SMP Kuntjup Melati). Ada juga ruangan yang difungsikan Yayasan Pancaka, yayasan yang mengelola Krematorium Kedungmundu.

Sejak 1935, di gedung Kong Tik Soe inilah Paguyuban Khong Kauw Hwee memulai kegiatannya, kemudian tanggal 1 Januari 1950 digunakan untuk kursus buta huruf yang merupakan cikal bakal TK-SD-SMP Kuncup Melati yang saat ini sekolahnya mencapai 249 siswa.

“Gedung ini adalah simbol kebajikan dan sekaligus sebagai saksi bagi kemajuan pendidikan di Kota Semarang. Di gedung ini ribuan pelajar pernah bersekolah dengan gratis, tanpa dipunggut biaya apa pun. Syarat masuk sekolah sini hanya satu, yakni orang yang ekonominya tidak mampu. Semua kami biaya kecuali dua hal, uang transport dan uang jajan,” kata dia.

“Kami tidak memandang siswa agamanya apa. Di sini siswa-siswanya lintas agama, ada separuh lebih agamanya Islam, lainnya ada Kristen, Hindu, dll,” sambung Eko.

Eko memaparkan, pendidikan gratis di situ dilakukan, sebab memang merupakan warisan nilai dari leluhur. Ia jelaskan, tujuan pendirian Gedung Kong Tik Soe yang besar itu terukir di atas batu pay yang berdiri di ujung kanan dan kiri gedung.

Di antara tujuan-tujuan itu adalah memberi tempat-tempat bermalam kepada para pendatang baru, merawat janda-janda terlantar, merawat anak-anak yatim piatu serta memberi pendidikan kepada anak-anak tersebut serta kepada orang tua yang tidak mampu.

Kemudian, untuk memeringati orang-orang yang telah berjasa kepada masyarakat dengan cara memberi tempat yang terhormat dalam gedung itu pada sin tjie-nya orang tersebut.

“Di sini kemudian orang keliru menyebutnya rumah abu. Sebutan rumah abu itu kan sebetulnya salah kaprah, bener ya ora lumrah. Rumah abu itu kan kesannya abu jenazah, padahal tidak ada jenazah di situ. Yang ada itu tetenger, penanda untuk mengingat kebajikan leluhur,” terangnya.

Semua visi misi pendirian Kong Tik Soe itu, lanjut Eko Wardojo, sudah 169 tahun masih hidup sampai sekarang. “Penilaian cagar budaya itu kan syarat minimalnya usia bangunan 50 tahun, ini sudah tiga kali lipatnya. Ini adalah bangunan China yang ada di Jawa, dan fungsi cagar budayanya pun sebagaimana dalam UU Cagar Budaya 11/2010, mulai dari fungsi ibadat, pendidikan, fungsi sosial, dll, sebagaimana visi misi pendirian Kong Tik Soe, semuanya ada sampai sekarang,” tegasnya.

Eko Wardojo menuturkan, pihaknya memang tidak ada yang keberatan bila rumah ibadat itu dijadikan cagar budaya. Namun, ia akui, ia paling malas kalau berurusan dengan birokrasi.

“Apalagi kalau ini nanti jadi cagar budaya nasional, kami bangga sekali. Tapi ya itu tadi, malas sekali berurusan dengan birokrasi. Tapi ya memang harus diurus, sebab di rumah ibadat ini terdapat ancaman kerusakan karena faktor alam,” ucapnya. (*)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

4 thoughts on “Kong Tik Soe Semarang dan Masa Depan Cagar Budayanya

  1. james
    February 14, 2014 at 3:57 am

    hampir dapat dipastikan tidak bakal Diberikan,Disahkan menjadi Cagar Budaya, paling malas nerhubungan dengan Birokrasi, biasanya berhubungan dengan Uang Pelicin dan Intoleransi lagi, payah memang, gak terdaftar salah, gak bisa di ijinkan, di Daftar ya juga Rumit dan Cenderung Tidak Diberi/Disahkan sebagai Cagar Budaya, Maju Kena Mundur Kena, itulah Indonesiaku

Leave a Reply to james Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *